Resepsi Impian

Pernikahan mereka memasuki usia dua bulan. Al maupun Lyana sibuk menyiapkan resepsi yang akan digelar minggu depan.

"Sayang," seru Al pelan ketika mereka beranjak tidur.

"Hmmm." Lyana bergumam sambil menoleh padanya.

"Mmm ... nganu ...." Al ragu ingin memintanya, libidonya kembali naik. "Enggak jadi deh," ucap Al lalu dia memunggungi Lyana dan memeluk guling erat.

"Apa sih? Ngomong aja. Bikin aku penasaran," ujar Lyana menggoyangkan bahu Al.

"Udah kita tidur aja."

"Enggak bisa tidur kalau masih ada pikiran. Kamu tadi mau ngomong apa?"

"Enggak terlalu penting kok."

"Tuh, kan! Ya dah deh, terserah kamu!" Lyana ngambek, dia memunggungi Al.

Tak ingin membuat sang istri marah, Al membalikkan badan dan memeluknya dari belakang. Bibir Lyana tersenyum tipis.

"Entar kita bulan madu di mana?"

"Mana aja."

"Luar negeri atau dalam negeri?"

"Dalam negeri aja."

"Bali?"

"Maunya Labuan Bajo."

"Oke. Besok aku urus."

Akhirnya mereka memejamkan mata sambil Al memeluk Lyana. Begitulah Al, paling bisa mengembalikan suasana hati istrinya yang sedang tidak baik.

Wanita akan menjadi ratu jika menikah dengan orang yang tepat. Seperti Lyana. Kegigihan dan kerja keras dia terbayar dengan kenikmatan sekarang. Menjadi direktur utama dan menikah dengan pria yang mencintainya.

***

Resepsi impian mereka digelar. Suasana outdoor di tengah tingginya pohon pinus yang hijau. Gunung Pancar di Sentul, Bogor menjadi pilihan tempat mereka. Kedua mempelai mengenakan baju pengantin putih dan para undangan pun dituntut mengenakan pakaian dengan warna senada. Al dan Lyana tak mengundang banyak orang. Hanya keluarga dekat dan teman-teman dekat.

"Ly, ih, jahat. Gue belum puas main sama lo. Udah nikah aja lo!" ujar Gea pura-pura marah, memperlihatkan mimik kesalnya. Padahal dalam hati dia ikut bergembira.

"Makanya nyusul, lo kapan nikah?" 

 "Tahu nih!" Gea menyikut perut Edo yang malam ini keren dengan gaya baru.

Rambutnya tetata rapi, klimis, dan disisir ke belakang. Meski dia berkacamata, justru semakin memperlihatkan karismanya. Hem putih dimasukan ke celana krem. Perubahan Edo tak lepas dari tangan Gea.

"Sabar dong, Sayang. Aku kan, enggak kayak Al yang punya dua perusahaan. Usaha orang tuaku juga enggak sebesar punya Al. Aku masih bantu-bantu di kantor Papa. Aku juga lagi nabung," ujar Edo memelas.

"Uluh, uluh, uluh." Gea mencubit dua pipi Edo dan menggelengkan kepala. "Iya, aku sabar kok nunggu kamu. Kita usaha sama-sama biar bisa bikin pesta begini," sambung Gea melegakan hati Edo.

Al dan Lyana saling pandang dan tersenyum senang melihat gaya pacaran Gea dan Edo. Enaknya pacaran sama teman sendiri, enggak perlu jaim, lebih asyik, dan berantemnya diselingi bercanda. Belum juga Edo dan Gea turun dari pelaminan, Noval dan Bastian menghampiri.

"Wuih, makin keren aja lo, Do" sapa Noval melihat penampilan Edo dari atas hingga bawah.

"Iya, berkat makeover cewek gue," jawab Edo sudah terbiasa dengan Noval, tidak ada dendam di antara mereka.

"Begini dari dulu, kan, keren, Do," timpal Bastian, Edo hanya tersenyum.

"Kalian cuma berdua? Andika mana?" tanya Al.

"Masih OTW. Dia tadi habis ada meeting sama kliennya," jawab Noval.

"Kita foto yuk!" ajak Gea.

Mereka langsung menghapus jarak dan mendekat kepada pengantin. Cekrekan kedua tiba-tiba ada seseorang menyusul.

"Wah, parah kalian! Enggak setia kawan," protes Andika selesai berfoto.

"Lo sih telat. Sok sibuk," ujar Noval disusul kekehan dari semua.

"Gue emang sibuk beneran, Val. Lagi mau cari investor buat perusahaan bokap," papar Andika dengan wajah lesu.

"Ngapain pusing-pusing, Bro. Bos kita aja investor." Bastian melirik Al. Semua menoleh padanya, termasuk Lyana.

"Bos." Noval menaik-turunkan kedua alisnya, memberi kode.

"Iya-iya. Entar gue suntik dana buat perusahaan kalian. Tapi gue harus lihat dulu pendapatan perusahaan kalian kurun waktu tiga tahun ini."

"Alhamduliillah, ya Allah," pekik Andika lalu memeluk Al. "Makasih, Bos," ucapnya girang.

"Ya dah, kita turun yuk! Laper nih." Noval mengajak  teman-teman yang lain.

"Lo mah kalau urusan makan nomor satu, Val," ujar Bastian menonyor kepala Noval.

Mereka lantas turun dari pelaminan, meninggalkan mempelai. Berikutnya Fahmi dan Radit naik didampingi Fahmi dan istrinya. Fahmi berdiri di depan Al, melihat penampilan putranya yang tampan mengenakan baju pengantik, rasa haru menyeruak di dadanya. Senyum terukir di bibir Fahmi. Dia memegang kedua bahu Al.

"Kamu sudah punya tanggung jawab keluarga. Jadilah kepala rumah tangga yang baik. Jangan terlalu sibuk, perhatikan istrimu," nasihat Fahmi menatap kedua mata Al.

"Iya, Pi. Aku akan berusaha adil, bekerja dan mengurus keluarga."

Fahmi lalu memeluk Al, tak terasa air mata Al menetes, dalam hatinya campur aduk. Menyesal karena sempat berprasangka buruk kepada Fahmi sekaligus bahagia kini dia sudah bisa lagi memeluk Fahmi, tetapi justru Fahmi memilih tinggal jauh darinya. Kapan Al punya kesempatan berbakti kepadanya? Tak mungkin dia dan Lyana ikut pindah ke kampung. Bagaimana perusahaan mereka?

Setelah Fahmi melepas pelukan mereka, buru-buru Al menyeka air matanya. Dia malu kalau ketahuan menangis. Fahmi beralih kepada Lyana, dia merentangkan tangan supaya menantu yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri mendekat.  Fahmi mendekap dan sedikit menggoyangkan tubuhnya, seperti menimang.

"Jadilah istri yang baik, berbakti sama suami, dan jangan terlalu sibuk," pesan Fahmi lantas mencium pucuk kepala Lyana.

"Iya, Pi. Aku akan berusaha sebaik mungkin."

Fahmi melepas pelukannya, tersenyum manis kepada Lyana mengelus rambut Lyana pelan. "Cepet kasih Papi cucu, biar enggak kesepian."

Al dan Lyana saling melirik, Lyana tersenyum kikuk sedangkan Al menggaruk tengkuk.

"Iya, Pi. Diusahakan,"  jawab Lyana malu-malu.

Fahmi geser gantian Radit lalu Sandi dan istrinya. Setelah mereka turun dari pelaminan, rangkaian acara demi acara diselesaikan dengan baik. Lyana dan Al hari itu menginap di hotel terdekat sebelum keesokan harinya berangkat ke Labuan Bajo.

***

Tak peduli harus merogoh kocek dalam, Al ingin memberikan kesan terindah untuk hari spesial mereka. Dia menyewa kapal satu minggu untuk mereka bulan madu. Kapal itu hanya ada mereka dan kru. Setelah berkeliling melihat-lihat isi kapal, Al dan Lyana masuk ke kamar pengantin yang sudah disiapkan. Dari kamar itu mereka bisa melihat hamparan air laut biru dan bukit yang mengelilingi laut.

Saat Lyana sedang berdiri di depan pintu kaca labar menikmati pemandangan, Al memeluknya dari belakang. Mata Lyana terpejam saat Al mengecup bahu kanannya. Disusul desahan ketika tangan Al mulai nakal.

"Sudah waktunya, Sayang," bisik Al membuat sekujur tubuh Lyana merinding.

Sadar hal itu Lyana pun membalikkan badan lalu mengalungkan tangannya  di tengkuk Al. Dia tersenyum manis dan mengangguk. Al melepas pelukan mereka dan menutup semua gorden di kamar itu.

***

Rasanya sudah tertidur lama. Lyana membuka mata. Merasakan kehangatan pelukan dari belakang tercipta senyuman manis. Bayangan kejadian siang tadi mencumbui otaknya. Begitu agresif dia hingga mencapai kepuasan bersama. Lyana tersenyum sendiri, malu jika mengingat hal itu. Apalagi keadaannya dan Al sekarang tak memakai sehelai  benang pun, tubuh mereka tertutup selimut putih yang tebal. Lyana melihat jam di kamar itu, sudah lewat Magrib.

"Al, bangun," ucap Lyana mengguncang tubuh Al.

"Hmmm ...," gumam Al masih enggan membuka mata, dia kelelahan.

"Kita kelewatan salat Magrib."

Tak ada sahutan, sepertinya Al  masih cape, Lyana membiarkannya tidur. Sedangkan dia bangun dan membersihan diri. Keluar dari kamar mandi, Lyana melihat Al sudah bangun dan bersandar di kepala ranjang.

"Malam ini kita makan apa? Aku laper banget," tanya Al lesu, sepertinya tenaganya sudah terkuras.

"Aku lihat dulu, kokinya masak apa. Kamu mandi sana."

"Iya." Al bangkit dan masuk ke  kamar mandi dengan lemas.

Selesai berpakaian lengkap Lyana keluar melihat  makan malam mereka. Tak disangka, mereka sudah disiapkan meja dan kursi untuk dinner romantis di haluan kapal. Beratapkan langit yang malam ini mendukung, banyak bintang.

"Halo, Nona Lyana," sapa nakhoda kapal menyambut ramah kedatangan Lyana. "Kami siapkan tempat makan malam Anda dan Tuan Al. Meskipun apa adanya, semoga kalian suka."

"Terima kasih, Kapten Rio. Wah, saya takjub dengan persiapan ini," kata Lyana berbinar, dia merasa diperlakukan spesial.

"Ini hadiah dari kami atas pernikahan Nona Lyana dan Tuan Al."

"Terima kasih, Kapten dan semua yang sudah membantu," ucap Lyana memberikan senyum terbaik.

"Sama-sama, Non," sahut kru kapal yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia.

"Mau disiapkan sekarang makan malamnya?" tanya koki sudah lengkap dengan baju putih kebesarannya.

"Iya, boleh-boleh."

"Baik." Koki itupun dibantu dua asistennya menyiapkan hidangan spesial.

Sedangkan nakhoda dan kru yang bertugas kembali ke posisi masing-masing. Al datang mengenakan pakaian santai, kaus putih dan celana selutut. Begitupun pakaian Lyana, dia hanya memakai celana jins tiga per empat dan kaus.

"Wah, kok enggak bilang sih kalau disiapin dinner begini? Tahu gitu, kan, kita pakai pakaian yang menyesuaikan," kata Al melihat dua kursi dan meja bulat di atasnya ada lilin, dua gelas kosong, dua piring beserta sendok, garpu, dan pisau daging.

"Ini hadiah buat kita, Sayang, dari kru kapal," jawab Lyana memeluk perut Al dari samping.

"Mantap!" Al menarik kursi depannya. "Silakan duduk," ucapnya tersenyum manis pada Lyana.

Setelah Lyana duduk, Al pun duduk di kursi depannya. Sambil menunggu koki menyiapkan hidangan, Al dan Lyana membahas masa depan mereka. Koki dan asistennya melayani mereka dengan baik. Sampai keduanya puas dan kenyang. Setelah duduk sebentar mereka kembali ke kamar.

***

Sebelum berangkat ke kantor, Lyana menyempatkan diri membuatkan jus buah untuk Al. Satu bulan setelah mereka pulang dari bulan madu, Al maupun Lyana kembali disibukkan dengan pekerjaan. Sari dan anak buahnya menyiapkan sarapan di meja makan. Al sudah rapi dengan setelah jasnya, dia mendekati Lyana.

"Kamu enggak usah ke kantor dulu deh," kata Al mengecek kening Lyana yang hangat. Wajahnya sedikit pucat.

"Hari ini aku banyak meeting, Sayang, enggak bisa."

"Aku wakilin meeting-nya. Jangan bandel, kalau disuruh suami itu nurut. Itu juga buat kebaikan kamu." 

"Iya sudah. Bahan meeting sudah dibawa Pak Sandi."

"Nanti sambil jalan ke kantor aku pelajari. Kamu istirahat aja sana. Nanti sore kalau masih pusing kita ke dokter."

"Iya. Habis sarapan aku ke kamar," ujar Lyana sambil memberikan jus alpokat kepada Al.

"Makasih," ucap Al lalu meminum jusnya.

Setelah mereka sarapan, Lyana mengantar Al sampai teras. Ketika mobil sudah tak terlihat lagi, dia kembali ke kamar mengganti busana kantornya dengan daster agar lebih leluasa. Tubuhnya lunglai, pusing, dan lelah. Lyana berbaring  lalu tidur, berharap setelah bangun keadaannya akan lebih baik.

Jam menunjukan pukul 14.20 WIB. Lyana terbangun, pusingnya tak kunjung hilang, malah semakin parah, kali ini disertai mual. Ingin muntah, tetapi tak bisa. Tengkuknya terasa berat. Dia menelepon Sari, memintanya membawakan jeruk hangat tanpa gula. Beberapa menit kemudian Sari masuk ke kamar.

"Bu Sari, tolong minta sopir nyiapin mobil, ya? Aku mau ke rumah sakit," titah Lyana setelah minum jeruk hangat tawar itu.

"Iya, Non. Mau ditemani?"

"Boleh. Aku ganti baju dulu."

Sambil sempoyongan Lyana mengganti baju, Sari pergi mencari sopir. Takut jika Lyana pingsan karena wajahnya sangat pucat, Sari bergegas kembali ke kamar setelah meminta sopir menyiapkan mobil. Setelah Lyana siap, mereka berangkat ke rumah sakit. Melewati antrean panjang, akhirnya giliran Lyana. Serangkaian tes Lyana jalani. 

Bibir keduanya tersungging senyum bahagia. Sari dan Lyana tak bisa menutupi kebahagiaan setelah menunggu hasil tes keluar.

"Sayang, kamu di mana?" tanya Lyana menelepon Al ketika dia dan Sari sudah masuk mobil.

"Di kantor Permata Indah. Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"

"Aku ke situ, ya?"

"Kamu udah baikan?"

"Udah lumayan kok. Kamu udah makan belum?"

"Belum sempet."

"Ya dah, aku bawain makanan, ya?"

"Oke."

Setelah itu panggilan berakhir. Lyana menoleh Sari, dia tersenyum lebar. Saking bahagianya, Lyana bersandar di bahu Sari.

"Makasih, ya, Bu Sari, udah nemenin aku."

"Iya, sama-sama. Jangan terlalu cape, ya?"

"Iya, Bu Sari."

Sebelum sampai di kantor Al, mereka mampir ke restoran membelikan makan siang. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Sampai di depan lobi Lyana turun.

"Non, beneran enggak diantar?" tanya Sari mengkhawatirkan Lyana.

"Iya, Bu Sari. Ya dah, aku masuk dulu, ya?"

"Iya. Hati-hati."

Setelah Lyana masuk kantor, mobil hitam itupun melaju keluar dari pelataran. Saat Lyana berjalan di lobi, sapaan demi sapaan dia balas dengan senyum ramah. Sampai di depan pintu kerja Al, dia mengetuk lalu membukanya sedikit.

"Mohon maaf, apa Direktur Utama Al ada?" goda Lyana padahal di ruangan itu hanya ada suaminya yang sedang fokus kerja.

Bibir Al tersungging senyum lebar. Lyana masuk dan Al beranjak dari kursi kebesarannya.

"Kok kamu malah ke sini sih?" tanya Al memeluk Lyana dan mencium pelipisnya.

"Enggak boleh?"

"Boleh. Tapi kamu kan lagi sakit."

"Udah mendingan kok. Tadi udah dari dokter dan dikasih vitamin."

"Sama siapa?"

"Bu Sari. Makan yuk! Aku beliin beef teriyaki."

Mereka duduk di sofa. Lyana mengeluarkan kotak makanannya. Dengan sabar Al menunggunya.

"Sayang, kamu pengin punya anak cewek apa cowok?" tanya Lyana sembari memberikan kotak makan untuk Al.

"Cowok boleh, cewek juga boleh. Sama aja. Kalau kamu?"

"Sama."

"Kenapa tanya begitu? Mau program hamil?" Setelah bertanya Al menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Menurutmu?"

"Terserah kamu. Kan yang hamil kamu. Kalau kamu sudah siap hamil, ya enggak apa-apa."

"Kamu percaya enggak kalau aku udah hamil?" ujar Lyana melirik Al.

Tadinya Al ingin memasukan suapan ke mulut, tetapi dia urungkan. Dia menatap Lyana seperti menuntut penjelasan.

"Serius enggak nih? Jangan bercanda. Entar aku udah kesenengan ternyata kamu nge-prank."

Lyana tersenyum lantas mengambil hasil tes dari dokter tadi. Dia berikan kepada Al.

"Nih, baca sendiri."

Al menurunkan makanannya lalu mengambil kertas itu, membacanya serius. Dia berulang kali menatap Lyana dan kertas itu bergantian.

"Ini serius?"

"Iya. Serius, Sayang. Masa aku bohong sih?"

"Wow, top cer juga aku, ya?" ujar Al percaya diri.

Lyana tertawa keras lalu Al memeluknya erat. Pancaran kebahagiaan tak dapat ditutupi dari wajah keduanya.

"Papi harus tahu ini." Bergegas Al mengambil ponselnya di meja kerja lalu menelepon Fahmi.

Setelah memberi tahu Fahmi, tak sabar dia ingin memberi tahu ke semua orang jika sebentar lagi dia akan menjadi ayah.

"Aku akan traktir semua orang di kantor ini," ujar Al kepada Lyana.

"Apa?" pekik Lyana terkejut.

"Kenapa?"

"Jangan boros."

"Ini bentuk syukur aku karena kita sebentar lagi jadi orang tua, Sayang. Ini bukan boros, tapi bentuk syukur."

Tak memedulikan larangan Lyana, segera Al menelepon dan  memerintah Sandi agar mendata seluruh karyawan di kantor itu dan memesan makan siang untuk besok.

Lyana tersenyum bahagia, meski sifat Al kadang menyebalkan, tetapi pikirannya dewasa dan murah hati. Dia mendekati Al dan memeluknya.

"Makasih kamu sudah memilihku," ucap Lyana mengeratkan pelukannya.

Al membalas pelukan Lyana dan mencium pucuk kepalanya.

"Enggak ada wanita yang lebih baik darimu di mataku. I love you, Sayang."

Lyana mendongak, dia tersenyum dan menjawab, "I love you too."

Al menarik dagu Lyana dan mencium lembut bibir ranum itu. Lyana yang menikmati setiap pagutan Al hingga memejamkan mata.

Tak ada yang tahu nasib masa depan. Tuhan terlalu murah hati hingga memberikan kebahagian untuk mereka yang berusaha. Tinggal bagaimana kita berusaha agar hasilnya sebanding.

The End

######

Ah, legaaaaaaa. Cerita yang tertunda lebih satu tahun akhirnya selesai juga. Terima kasih buat teman-teman yang sudah mau menunggu. Kalian luar biasa.

Makasih dukungannya, vote, dan komentarnya.

Mau extra part?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top