Perpisahan yang Pedih
Dua bocah usia sekitar 10 tahun itu bermain di sawah dekat dengan rumah. Gadis kecil yang cantik dan imut berada di pinggir jalan memegangi sandal. Selama temannya bermain layangan, dia menjaga sandalnya supaya tidak hilang. Setiap libur sekolah, dia menemani pria kecil tampan, pemberani, dan selalu menjaganya itu bermain layangan.
"Al, ayooo kita berteduh. Panas banget ini. Aku juga haus," pekik Lyana kecil dari pinggir sawah.
"Iya. Kamu duluan ke warung Bu Dhe Nik sana! Nanti aku susul. Aku mau nurunin layangan dulu," jawab pria kecil yang dipanggil Al tadi.
Lyana kecil menurut, dia masuk ke warung sederhana di pinggir jalan dekat dengan sawah. Warung itu milik saudara ibunya Al. Mereka sudah biasa mampir ke warung tersebut setiap main ke sawah.
"Cah Ayu mau minum es teh apa es jeruk?" tanya Menik sesaat setelah Lyana duduk di kursi kayu panjang.
"Es teh saja, Bu Dhe," jawabnya dengan suara khas yang menggemaskan.
"Bu Dhe bikinin dua gelas, ya? Satu buat Al."
"Iya, Bu Dhe."
Dengan sabar Lyana menunggu. Dia meletakkan sandal Al di warung. Setelah es jadi, dia membawa dua gelas plastik berisi es teh itu ke tepi sawah.
"Al! Esnya sudah jadi!" pekik Lyana menurunkan gelas di bawah pohon talok yang rindang.
"Tunggu sebentar." Al masih berusaha menurunkan layangannya.
Meskipun Lyana sudah sangat haus, dia tetap menunggu Al. Dia rela menahan haus agar bisa minum bareng Al. Setelah berusaha keras akhirnya layangan dapat diturunkan. Al menggulung senarnya di kaleng bekas. Setelah itu dia lari di jalan setapak tengah sawah.
"Hati-hati, nanti kamu jatuh!" teriak Lyana yang sudah menunggunya di pinggir sawah.
Benar saja, saking semangatnya lari Al jatuh ke sawah. Lyana tertawa terpingkal-pingkal karena sekujur tubuh Al dipenuhi lumpur, dari kepala hingga kaki. Sampai di depan Lyana, Al memberikan layangannya.
"Nitip dulu. Aku mau bersihin ini."
Al lantas ke belakang warung Menik dan mengguyur tubuhnya di bawah pancuran dari sumber mata air yang masih jernih dan segar. Al sudah biasa mandi di sana, setiap pulang main ke sawah pasti basah-basahan.
Sebenarnya dia banyak teman, tapi Al lebih nyaman bermain dengan Lyana. Pria kecil itu tidak ingin melihat Lyana dinakali teman-temannya. Karena gadis itu cengeng dan lemah, Al selalu ingin menjaganya.
Selesai membersihkan diri, Al menyusul Lyana. Lalu duduk di sebelahnya.
"Kenapa kamu belum minum? Katanya haus?" tanya Al melihat dua gelas es tehnya masih utuh.
"Aku nungguin kamu," jawab Lyana polos. Lalu dia memberikan satu gelas untuk Al.
Mereka meminum esnya bersama. Saking hausnya, Al satu gelas sekali tenggakan habis. Beberapa menit mereka saling diam sambil melihat hamparan sawah yang masih dibajak.
"Ly, besok kalau kita udah dewasa, kamu harus menikah sama aku, ya?" ucap Al polos.
"Kenapa?"
"Soalnya aku pengin sama-sama kamu terus. Kata Mama, kalau mau bareng terus kita harus menikah. Tapi nanti kalau sudah dewasa."
"Aku mau, Al."
"Bener, ya? Janji?"
"Iya. Janji."
Mereka saling menautkan kelingking dan melempar senyum terbaiknya.
"Kita pulang yuk!" Al membantu Lyana berdiri.
Setelah mengembalikan gelas dan mengambil sandal di warung, Al lantas menegakkan sepedanya yang disandarkan pada tembok warung. Lyana duduk di boncengan depan, Al mengayuh sampai depan rumah Lyana.
"Ya ampun, Al. Kenapa bisa basah kuyup begitu?" tegur Saskia, mamanya Lyana yang sedang mengangkat jemuran di depan rumah.
Al cengengesan. "Tadi aku kejebur sawah, Tante."
"Ya sudah, kamu cepet pulang, mandi terus ganti baju biar enggak sakit."
"Siap, Tante!"
Setelah Lyana turun dari boncengan, Al mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Jarak rumah mereka dekat, hanya selisih dua rumah.
"Ayo, Sayang, kita masuk," ajak Saskia kepada Lyana.
Sampai di ruang tengah, Lyana dijahili Edo, kakaknya. Lyana menangis dan Edo justru tertawa.
"Edoooo, udah tahu adiknya cengeng, kok masih aja dijahili sih," tegur Saskia memeluk Lyana.
"Edo enggak ngapa-ngain kok, Ma. Cuma lihatin cicak-cicakan dari karet. Lyana aja yang cengeng."
"Udah, Sayang, maafin Kak Edo, ya? Dia cuma pengin ngajak kamu main. Cup, cup, cup." Saskia menghapus air mata Lyana.
"Maafin Kak Edo, ya, Ily." Edo lalu memeluk Lyana.
Biarpun jahil, tapi Edo berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Aslinya dia sayang banget sama adiknya itu.
Selesai mandi, Al mendengar obrolan mami dan papinya di ruang keluarga. Mereka berencana ingin pindah ke Jakarta. Lalu Al mendekati mereka.
"Halo, jagoan Papi," sapa Fahmi mengelus kepala Al yang sudah rapi lalu merangkul agar duduk di sebelahnya.
"Bagaimana hari ini? Apakah menyenangkan?" tanya Fahmi dengan senyum lebar.
"Ah, Papi kayak enggak tahu Al saja. Kalau sudah main sama Lyana, pasti menyenangkan. Bukan begitu?" tanya Rina merapikan kerah baju Al.
"Soalnya dia lucu, Mi. Anaknya cengeng. Kena bola sedikit aja nangis."
"Hahahaha." Fahmi tertawa sambil mengelus kepala Al. "Wajar dong, kan dia cewek. Makanya, jagain dia biar enggak dinakali teman-temannya."
"Aku selalu jagain dia kok, Pi. Kalau ada yang nakal sama Lyana, aku tantang mereka lari."
"Terus siapa yang menang?" tanya Rina tersenyum bahagia melihat kepolosan Al yang antusias menceritakan teman gadisnya itu.
"Aku dong, Mi," sahut Al bangga.
"Pinter anak Papi. Tapi ingat, ya? Enggak boleh berantem dan enggak boleh kasar sama teman," ujar Fahmi selalu mewanti-wanti.
"Aku selalu ingat pesan Papi kok."
***
Malam itupun tiba. Merasa sudah seperti keluarga, Fahmi mengundang keluarga Firdaus ke rumahnya untuk makan malam sebagai tanda perpisahan sebelum besok mereka pindah ke Jakarta.
"Besok kalau usahaku sudah berkembang di Jakarta, aku mau membantu usahamu, Fir," ucap Fahmi sambil mengupas jeruk.
Mereka sudah selesai makan malam.
"Terima kasih, Fahmi. Aku doakan semoga bisnis furniturmu berkembang di kota."
"Aamiin," sahut mereka semua bersamaan.
"Aku berdoa juga untuk bisnis propertimu. Kita bisa saling mengisi. Nanti kalau rencananya berjalan, aku teman pertama yang harus kamu hubungi," ujar Fahmi tak main-main.
Dia sangat ingin membantu sahabat baiknya itu. Fahmi mau maju bersama bersama Firdaus. Sejak kecil mereka main bareng sampai kuliah pun lulus bareng. Kalau bisa sukses pun bareng, pikir Fahmi.
"Tentu itu, Fahmi. Jelas sekali, pasti kamu yang aku ajak kerja sama pertama."
Berbeda dengan orang tua mereka yang bahagia ingin menyambut masa depan cerah, Al dan Lyana malah tampak sedih. Mereka saling pandang, wajah Lyana cemberut. Al menjadi tak tega untuk meninggalkannya.
Rina memerhatikan Lyana dan Al, mereka saling diam dan menunduk. Lalu dia berinisiatif mengajaknya keluar rumah. Rani duduk di teras belakang rumah.
"Sini, Ly, duduk di pangkuan Tante," pinta Rani menepuk pahanya.
Lyana kecil yang masih polos Lalu menurut. Entahlah, hatinya sangat sedih tahu kalau Al besok akan pindah. Tiba-tiba Lyana memeluk Rani dan menangis terisak. Al yang berdiri di ambang pintu kasihan kepada Lyana. Air matanya menggantung, lalu dia berlari memeluk Rani dan Lyana. Rani memberikan dua bocah itu menangis dalam pelukannya.
"Kenapa Papi ngajak kita pindah, Mi? Aku masih mau di sini," ucap Al yang belum paham mengenai rencana bisnis orang tuanya.
"Papi perlu mengembangkan usahanya. Kalau kita tetap di sini, usaha Papi banyak kendala. Suatu hari pasti kamu mengerti." Rani berusaha memberikan penjelasan.
Al melepaskan pelukannya, dia menarik lengan Lyana supaya mau melihatnya. Namun, Lyana menolak, dia masih setia memeluk dan menyembunyikan wajahnya di dada Rani.
"Sayang, Al enggak akan meninggalkan kamu kok. Nanti kalau kalian liburan sekolah, kamu bisa main ke Jakarta sama Mama, Papa. Atau enggak Al yang akan main ke sini." Rani berusaha meredam kesedihan Lyana.
"Ly, jangan ngambek dong. Jangan nangis lagi," ujar Al ingin Lyana melihatnya.
"Enggak mau!" tolak Lyana semakin erat memeluk Rani.
Rani menghela napas dalam. Dia menegakkan tubuh mungil Lyana. Rani menatapnya lembut sambil tersenyum manis.
"Lyana sayang sama Al?" tanya Rani lembut.
Lyan mengangguk lemah.
"Al juga sayang sama Lyana. Suatu hari saat kalian sudah dewasa, Tante berharap Tuhan menjodohkan kalian, biar kalian tetap bersama sampai kakek nenek."
"Tapi Al mau pergi. Aku enggak punya teman lagi, Tante."
"Al pergi sebentar, Sayang. Dia pasti akan kembali."
Lyana menoleh Al yang berdiri di sebelahnya. Dengan wajah sedih dia bertanya, "Bener kamu bakalan kembali?"
"Iya. Aku pasti kembali jemput kamu."
"Janji." Lyana menaikkan kelingkingnya.
"Iya, aku janji." Al menautkan kelingnya di kelingking Lyana. Lalu dia memeluk Lyana, menempelkan keningnya di pipi Lyana.
Rani tersenyum melihat itu, dalam hati Rani berdoa, semoga suatu saat ketika mereka sudag dewasa dan mengenal cinta, takdir akan mempertemukan mereka lagi.
#####
Begitulah cerita masa kecil mereka. Apa yang menyebabkan Lyana lupa Al? Hayooo, kita pecahkan bersama. Hehehehe.
Terima kasih, ya, vote dan komentarnya. Semoga kalian enggak bosan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top