Perjalanan Bisnis
Selama Lyana belum bisa memahami konsep dan visi misi perusahaan PT Hunian Sejahtera, Fahmi menugaskan Al mendampinginya. Pagi ini mereka akan pergi ke Jepang untuk melakukan perjalanan bisnis.
Rencananya tanah yang dulu Al memenangkan tender di Sumbawa Besar---sudah atas nama Lyana---ingin dibangun vila. Lyana ingin menggabungkan konsep minka---rumah tradisional Jepang---dengan dalam loka---rumah tradisional asli Sumbawa. Tujuan mereka ke Jepang selain menemui investor yang akan mendukung rencana itu juga mencari arsitek terpercaya yang sudah berpengalaman di bidang pembangunan minka.
"Kalian ini lama-lama bikin Papi khawatir," ujar Fahmi ketika Al menunggu Lyana di ruang tengah.
Sandi sedang menjemput Lyana, mereka akan bertolak ke bandara dari rumah Fahmi karena ada yang perlu dibicarakan terlebih dulu dengan pemilik perusahaan.
"Apa sih, Pi?" sahut Al sudah rapi dengan setelan jins hitam, kaus putih yang dirangkap dengan tuksido hitam, menampilkan ciri khasnya yang semi formal.
"Sejak lamaran itu kamu sering nginep di rumah Lyana, kan?"
"Iya. Tapi kami enggak ngelakuin apa-apa, Pi."
"Papi percaya sama kalian. Tapi, dilihat tetangga itu loh, Al. Enggak enak."
"Bentar lagi juga nikah. Enggak usah ngurusi omongan tetangga, bikin pusing."
Fahmi menghela napas dalam, sifat keras kepala Al tetap saja tak berubah. Fahmi pun mengalah dariapada terjadi ketegangan lagi.
Sandi datang bersama Lyana yang cantik mengenakan celana kain hitam, blus putih lengan panjang bergaris hitam vertikal, pada bagian leher ada pemanis tali, rambut digerai. Sejak di-makeover Fahmi, sekarang Lyana mulai menjaga penampilannya.
"Selamat siang, Om," sapa Lyana dengan senyum ceria. Dia menyalami Fahmi dan tak lupa mencium punggung tangannya.
"Kamu cuma bawa koper segitu?" tanya Fahmi melihat koper Lyana berukuran sedang.
"Iya, Om. Kan cuma seminggu di sana. Ngapain bawa besar-besar? Boros di bagasi," ucap Lyana sambil mendaratkan pantat di sofa, sebelah Al.
"Kamu enggak pengin belanja pakaian di sana?"
"Ah, itu mah gampang, Om. Tujuan ke sana bukan liburan, tapi soal bisnis. Beda konteks, Om."
"Benar." Fahmi manggut-manggut. "Oh, iya, Ly. Ada hal lain yang mau Om bicarakan."
"Apa, Om?"
Al dan Lyana menatap Fahmi serius. Mereka sangat penasaran.
"Nanti setelah kamu bisa menjalakan perusahaan sendiri, Al akan pindah ke PT Permata Indah dan Om mau tinggal di kampung saja. Menikmati hari tua di sana."
"Terus kalau Om tinggal di sana, Pak Sandi ikut?" tanya Lyana dengan wajah polos.
"Enggaklah! Pak Sandi di sini, kan punya keluarga," sahut Al cepat.
"Nanti Pak Sandi tetap di sini, membantu kalian," ujar Fahmi menatap Al dan Lyana bergantian. "Tapi, jangan hanya mengandalkan Pak Sandi. Kalian harus mencari tangan kanan yang bisa dipercaya," imbuhnya.
"Aku boleh cari asisten pribadi yang seksi enggak, Pi?" gurau Al melirik Lyana.
"Boleh kok, boleh banget! Tapi kamu juga harus izinin aku cari asisten ganteng, pinter, dan badannya atletis. Gimana?" sahut Lyana cepat melirik Al tajam.
"Jangan dong." Al memeluk Lyana, merayu agar tidak marah.
Fahmi dan Sandi terkikih, hanya Lyana yang bisa menaklukkan keras kepalanya Al.
"Ya sudah, berangkat gih! Keburu jam makan siang, macet nanti."
"Iya, Pi. Kalau gitu kami berangkat dulu, ya?" Al menyalami Fahmi dan mencium tangannya. Disusul Lyana juga melakukan hal yang sama.
Fahmi mengantar mereka sampai teras. Mereka diantar Sandi sampai bandara.
***
Sebelum besok melakukan presentasi di depan para investor, Lyana mematangkan konsep yang sudah dia susun. Dia mengajak Al berdiskusi di sofa, kaki ranjang, mereka saling berhadapan.
"Aku tuh pengin konsep vilanya nanti menyatu sama alam gitu loh. Kan arsitektur minka identik sama bahan bangunan dari tanah, kayu, batu, dan tempatnya pun biasanya di daerah pegunungan atau hutan-hutan. Cocok sama konsep rumah dalam loka," papar Lyana.
Al tampak berpikir keras. "Jadi, mau kamu itu konsepnya terbuka sama alam?"
"Iya. Biarpun kita adopsi arsitektur dari Jepang aku tetep mau ada sentuhan tradisional khas Sumbawa."
"Sayang, kalau konsepnya begitu, pulang dari Jepang aku ajak kamu ke salah satu kampung di Lombok, Desa Sade namanya. Masyarakat yang tinggal di sana masih asli suku sasak dan rumahnya juga masih tradisional. Kamu bisa pelajari nanti."
"Oke kalau gitu. Aku mau. Terus untuk sasaran pasar kita bagaimana?"
"Kalau konsep kamu seperti itu, sasaran jualmu orang-orang berduit. Soalnya menuju ke daerah yang mau kita bangun vila saja harus naik pesawat dua kali dan menempuh perjalanan dua sampai tiga jam dari bandara kedua. Selain tempat yang unik, kita juga menjual pemandangan yang indah. Lokasi kita di bukit yang dekat dengan pantai. Cocok buat orang-orang yang memang mencari lokasi privat dan bersantai. Jauh dari keramaian, benar-benar tenang."
"Iya, benar juga katamu."
Setelah itu keadaan menjadi hening. Lyana sibuk berpikir, Al malah asyik memandangi wajahnya yang sekarang tampak cerah, bersih, dan terawat. Lantas Al mendekat, menghapus jarak di antara mereka.
"Gimana soal pernikahan kita?" tanya Al menarik Lyana ke dalam pelukannya.
Sangat nyaman saat Lyana bersandar di dadanya dan Al mengelus rambut dia pelan.
"Apa kita enggak terlalu cepet mengambil keputusan ini?"
"Enggak dong. Buat apa lama-lama pacaran kalau enggak ada kepastian. Yang pasti-pasti aja."
"Oh, iya, terus kalau Om Fahmi tinggal di kampung, setelah kita menikah tinggal di rumahku atau rumah kamu?"
"Rumahku. Di sana, kan, banyak pegawai, kasihan kalau diberhentiin. Ada Bi Sari dan lainnya yang masih membutuhkan kita."
"Iya sih. Terus rumahku gimana?"
"Biar sementara kosong. Nanti kalau Radit mau diajak ke Jakarta, biar dia yang tempati. Sekalian cari pengawas buat dia."
Lyana manggut-manggut, dia meringkuk dalam dekapan Al. Tubuhnya yang mungil seperti amblas dalam tubuh gagah Al. Hening, hanya terdengar jarum jam berputar. Embusan napas Lyana teratur, Al melihatnya. Senyum tipis terukir di bibir merah Al, dia mencium pucuk kepala Lyana lalu memindahkan ke tempat tidur. Al berbaring di sebelahnya.
"Aku janji enggak akan mencium bibirmu sampai kamu halah bagiku." Al mengusap bibir Lyana dengan jempolnya.
Lantas Al memeluknya dan memejamkan mata. Sekali merasakan itu, pasti akan ketagihan. Al sangat menyadarinya, dia tak mau merusak gadis yang sudah dijaganya selama ini. Gadis yang dia nantikan bertahun-tahun. Gadis yang membuatnya menutup hati untuk wanita lain. Gadis yang sudah menyita seluruh ruang hatinya. Gadis yang sudah membuat Al kelimpungan dan balik jungkir kalau tidak bertemu. Dialah Margaretha Lyana Firdaus.
***
Wajah Al tak seperti biasa, terlihat panik dan buru-buru, dia menggenggam tangan Lyana sambil berjalan cepat di lorong boarding bandara. Wajah Lyana merah, kedua matanya sembap. Berulang kali Al menenangkannya. Lima menit lagi pintu pesawat ditutup. Al menarik tangan Lyana supaya mereka tidak ketinggalan pesawat.
"Ayo, dong, Sayang," ucap Al menoleh ke belakang, lagi-lagi Lyana menangis hingga sesenggukan, tanpa bersuara.
Al lantas merangkulnya dan memapah dia melewati pintu pesawat. Setelah mendapat tempatnya, mereka duduk. Lyana duduk di sebelah jendela.
"Sayang, udah, jangan nangis terus. Entar dipikir aku nyakitin kamu." Al menghapus air mata Lyana, sayangnya air mata itu tak pernah kering, malah semakin banjir.
Beberapa orang meperhatikan mereka. Al sedikit tidak nyaman ditatap curiga. Dia menarik kepala Lyana agar bersandar di dadanya. Sambil mengelus lembut kepala Lyana, Al berucap, "Yang tabah, ya? Aku akan selalu menemanimu. Jangan takut sendiri."
Meskipun hatinya sedikit tenang setelah mendengar ucapan Al, tetapi Lyana belum bisa lega. Dia ingin sekali segera sampai di rumah.
Kabar duka menghampiri saat Al dan Lyana meeting di kantor pagi tadi. Setelah pulang dua hari lalu dari Jepang, rencana Al dan Lyana yang ingin melanjutkan perjalanan bisnis ke Lombok dan Sumbawa pun tertunda. Mereka harus pulang ke Salatiga saat itu juga.
Sampai di rumah, tetangga, sanak saudara Lyana berkumpul. Kursi plastik hijau berjejer di teras, tenda hitam terpasang depan rumah. Lutut Lyana seperti tak mampu berjalan. Al tak pernah melepas rangkulannya di pinggang ramping itu. Wajah Lyana sudah kacau, hidung merah, mata sembap, dan air mata seperti tak ada habisnya, terus mengalir.
"Mbah," seru Lyana sambil memecah tangis masuk ke rumah.
Dia bersimpuh di bawah kaki Surti yang sudah membujur kaku. Radit duduk bengong di samping jenazah neneknya, melihat Lyana sangat lemah, Radit kembali menangis. Tiara memeluknya. Al jongkok di belakang Lyana sambil memegang kedua bahunya.
"Al, Papi mau bicara," ujar Fahmi menepuk bahu Al dan mengajaknya keluar.
Di teras sudah ada RT, RW, kepala desa, dan pemuka agama di kampung itu. Fahmi meminta Al duduk di kursi yang kosong, bergabung bersama mereka.
"Ada apa, Pi?" tanya Al bingung.
"Sebentar, tunggu Radit dulu," ujar Fahmi, tak berapa lama Radit datang dan duduk di sebelah Al. "Radit, yang tabah, ya, Nak," ucap Fahmi mengelus kepala Radit.
Al merangkulnya, berharap dengan sedikit perhatian bisa menenagkan Radit.
"Kamu harus kuat, demi Mbak, ya?" ujar Al menepuk pundak Radit.
"Iya, Mas. Insyaallah aku ikhlas," jawab Radit berusaha tabah.
"Radit, kamu tahu, kan, kalau Mas Al sama Mbak Lyana sudah berencana untuk menikah?" tanya Fahmi pelan-pelan dan sangat hati-hati.
"Iya, Om. Radit tahu itu. Rencana lamaran jadi terhambat karena musibah ini."
"Tadi Om Fahmi sudah musyawarah bersama Pak RT, Pak RW, Pak Kadus, dan Pak Ustad. Kalau seandainya sebelum Mbah diberangkatkan ke makam, Mas Al sama Mbak Lyana kita nikahkan secara agama dulu di samping Mbah, apa kamu mengizinkan? Karena permintaan terakhir Mbah, dia pengin melihat Mbak Lyana menikah," papar Fahmi mengejutkan Al. Pasalnya Fahmi belum membicarakan ini dengannya.
"Boleh, Om. Saya siap menikahkan Mbak Lyana," jawab Radit tegas dan mantap. "Tapi, bagaimana dengan Mas Al? Apa Mas Al sudah siap menikah dengan Mbak Lyana sekarang?" tanya Radit menatap Al penuh harapan.
Sejujurnya Al tak ada persiapan sama sekali, ini sangat mendadak. Namun, setelah dipikir-pikir, menikah nanti dan sekarang sama saja. Toh pada akhirnya nanti dia bakalan menikah dengan Lyana, bukan?
"Insyaallah, Mas Al sudah siap!" jawab Al mantap.
"Alhamdulillah," ucap mereka serentak.
"Kalau begitu kita siapkan keperluannya. Radit di sini dulu sama Mas Al. Om mau ngasih tahu yang lain dulu, biar menjadi saksi ijabnya, ya?" ujar Fahmi kepada Radit.
"Iya, Om." Radit mengangguk.
Fahmi memberi tahu Tiara mengenai hal tersebut. Saat itu juga Tiara menyampaikan kepada Lyana, jika pernikahannya akan dilakukan saat itu juga.
"Ini permintaan Mbah yang terakhir sebelum meninggal, Ly. Dia pengin lihat kamu menikah," bujuk Tiara kepada Lyana ketika mereka di kamar.
"Ya sudah, Bi. Sekarang atau besok sama saja. Dilakukan cepat lebih baik," jawab Lyana legowo menerima keputusan itu.
Tiara membantu Lyana merapikan diri. Dia mengganti pakaiannya dengan gamis yang dipunya. Memakai kerudung putih senada dengan gamisnya. Tetangga dan seluruh orang yang berada di sana menjadi saksi. Tanpa kebaya, tanpa dekorasi, dan tanpa pesta mewah, ijab kabul Al dan Lyana terjadi di samping jenazah Surti. Uang tunai yang ada di dompet Al sebagai mas kawinnya, hanya ada satu juta. Ijab kabul yang sangat sederhana, bukan?
Sekali tarikan napas, Al mengucap kabul dengan lancar. Setelah dinyatakan sah oleh saksi, kini resmilah Lyana sebagai istri Al di mata agama. Besok tinggal mengurus dokumen mereka yang akan diajukan ke KUA agar pernikahan sah diakui negara.
#####
Akhirnya sah, walau di suasana duka. Selamat Al, Lyana. Semoga langgeng.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top