Pemaksaan
Berdebar jantung mereka saat berpapasan di koridor kampus. Sudah dua minggu lebih mereka tak saling sapa bahkan tidak bertemu. Memendam rindu, gengsi mengungkapkan.
"Bos." Noval menyenggol lengan Al, memberi kode supaya menyapa Lyana.
Sayangnya Al cuek, dia melewati Lyana yang berjalan berdua dengan Edo. Perasaan Lyana perih saat Al lewat di depannya tanpa melirik apalagi memandangnya. Lyana berpikir Al pasti marah padanya karena pergi tanpa pamit.
"Hai, Ly," sapa Andika basa-basi meluluhkan kecanggungan di antara mereka.
"Hai, Dik," balas Lyana mengangguk, lalu ekor matanya melirik Al yang sudah berjalan lumayan jauh.
"Bos!" seru Noval lantas berlari mengejar Al.
"Kami duluan, ya, Ly?" pamit Andika lalu mengejar Noval dan Bastian yang lebih dulu menyusul Al.
Lyana memutar tubuhnya, dia menatap punggung Al yang hampir hilang di tikungan kelas.
Apa dia masih marah? batin Lyana sedih.
"Ayo, Ly. Kasihan Gea nunggu kita lama," ajak Edo yang sebenarnya tak tega jika melihat Lyana sedih.
Lyana mengangguk lalu mereka lanjut berjalan ke perpustakaan menemui Gea yang sudah menunggu di sana.
Noval berusaha menyamakan langkah Al yang lebar. Andika dan Bastian mengekor. Karena wajah Al datar dan tidak membuka mulut, mereka tak berani bertanya. Sampai di kelas Al masih saja membisu.
Sebenarnya Al sedang memikirkan ide bagaimana cara dia bisa kembali dekat dengan Lyana, tanpa menurunkan gengsinya. Lama berpikir akhirnya ide pun muncul.
Siangnya selesai kuliah Edo, Gea, dan Lyana berjalan ke parkiran mendekati Brio silver milik Edo. Rencananya Edo dan Gea ingin main ke rumah baru Lyana yang dibelikan Fahmi. Sementara ini Lyana tinggal sendiri, untuk itu dia meminta Gea menemani.
"Gimana? Jadi, kan, lo nemenin gue?" tanya Lyana kepada Gea sebelum mereka masuk ke mobil.
"Gue belum sempet ngomong sama Papa-Mama. Sorry," sesal Gea menampakkan wajah penyesalan.
"Ck, gue parno tinggal sendiri di rumah segede itu. Apalagi belum banyak barang-barangnya."
"Coba lo ngajak Lisa, sepupu lo itu, Ly," usul Edo diangguki Gea.
"Lisa kan tinggal di asrama. Enggak bisa dong." Lyana menunduk melihat sepatunya yang sudah terlihat lusuh, waktunya ganti, tetapi dia belum ada uang lebih untuk beli.
"Yaaah, gimana dong?" Gea ikut galau.
Tiba-tiba sedan hitam mengkilap berhenti di depan mobil Edo. Seorang pria tampan mengenakan kacamata hitam turun lalu menarik tangan Lyana. Gadis mungil itu yang tadinya sedang menunduk memerhatikan sepatunya terlonjak.
"Ih, apa-apaan sih!" kata Lyana ingin melepas genggaman tangan pria itu.
"Ikut gue," ucap Al tak peduli tatapan bingung Gea dan Edo, dia langsung memasukan Lyana ke mobilnya.
Tanpa mendengar penolakan Lyana, dia mengendarai mobil keluar dari kampus. Gea dan Edo masih mematung.
"Kenapa sih si Al? Kesurupan kali, ya?" gumam Gea keheranan.
"Kenapa? Masih cemburu?" sahut Edo melirik Gea tajam.
Cepat-cepat Gea menoleh padanya. Melihat wajah cemberut Edo bikin Gea geli dan ingin menggoda.
"Ciyeee, ayang-ayangku cemburuuuuu," ujar Gea menowel-nowel pipi Edo.
Edo memalingkan wajah, sok ngambek.
"Kamu ganteng kok, malah gantengan kamu daripada Al." Gea merayu agar Edo tak lagi marah.
"Halah, gombal!"
"Serius! Ayo, aku traktir es krim, biar mood kamu membaik." Gea menarik Edo supaya masuk ke mobil lalu dia menyusul masuk ke sampingnya.
Edo memasangkan sabuk pengaman untuk Gea. Setelah itu dia melajukan mobilnya ke tempat yang Gea arahkan. Edo termasuk pria yang takluk pada wanita dicintainya. Apa pun yang Gea inginkan, Edo akan berusaha mewujudkan.
Sedangkan di mobil sedang hitam mengkilap, Al dan Lyana saling membisu. Lyana pasrah, dia percaya Al tak akan berbuat macam-macam padanya. Sampai di depan bangunan kaca tebal dan transparan yang berdiri kukuh di tengah kota, Al memarkirkan mobilnya.
"Ayo!" ajak Al turun lebih dulu sambil melepas kacamata hitamnya.
Hebatnya Al dia bisa menyesuaikan penampilannya. Saat di kantor dia bergaya bos muda yang semi formal. Saat menjadi mahasiswa, dia lebih sering memakai kaus, jins, dan jaket kulit. Ala rok n roll yang keren, tetapi tetap rapi.
"Ngapain kita ke sini?" tanya Lyana bingung melihat bangunan di depannya.
"Beli semen," sahut Al asal. "Udah tahu ini dealer mobil," lanjutnya sok jual mahal. Dalam hati girang karena dia berhasil membawa Lyana bersamanya.
Mereka masuk. Mobil berbagai model dan jenis dipamerkan. Wanita-wanita cantik berpakaian ketat dan mini menyambut kedatangan Al dan Lyana. Namun, wajah Al tetap datar dan cuek, tak sedikit pun menggubris wanita berprofesi SPG tersebut.
"Kita mau beli mobil?" Lyana masih berusaha bertanya sambil menyamakan langkahnya dengan Al, walau pada akhirnya dia keteteran langkahnya pendek, walhasil Lyana justru sedikit berlari kecil mengejar langkah Al yang lebar.
"Ck, emang kalau masuk ke dealer mobil biasanya orang beli seblak?"
"Enggaklah! Maksudnya, ngapain lo ngajak gue ke sini? Buat apa?"
"Pilih mana yang lo suka."
Lyana memutar bola matanya malas, Al bukannya menjawab malah menyuruhnya memilih mobil! Nyebelin!
"Gue enggak ngerti soal mobil, malah ditanya pilih yang mana. Aneh lo!" gumam Lyana terdengar oleh Al.
Namun, Al tak menyahut. Dia berkeliling melihat-lihat mobilnya. Sesekali dia bertanya kepada SPG cantik. Lyana yang mengikutinya sedari tadi bosan setiap SPG itu menjelaskan sambil merayu Al.
"Yang ini saja, Mbak." Al menunjuk sedang merah mengkilap.
"Baik, Mas. Mau kredit atau kes?"
"Kes," sahut Al, tak memandang SPG itu, dia masih memerhatikan bodi mobilnya.
"Silakan, Mas, pembayarannya dan mengurus surat-suratnya di sana." Wanita cantik berambut lurus dan panjang itu menunjuk pria berkacamata yang duduk di balik meja kerja.
"Ya." Al pergi ke tempat itu sedangkan Lyana menunggu sambil melihat-lihat.
"Mbak," panggil Lyana kepada SPG.
"Iya, Mbak, bisa saya bantu?"
"Mobil yang tadi harganya berapa?"
"Tiga ratus duapuluh satu juta tujuh puluh dua ribu, Kak."
Mata Lyana mendelik. "Serius?" Suaranya sedikit meninggi.
"Iya, Mbak. Serius."
"Buat apa dia beli mobil lagi? Bukannya mobil dia masih bagus. Beli mobil kayak beli ciki di warung," gumam Lyana melirik Al tajam yang masih melakukan transaksi. "Ya udah, Mbak, makasih," ucap Lyana lalu dia duduk di kursi besi di tepi ruangan.
Lyana mulai bosan, dia mengeluarkan ponselnya lalu melihat pesan yang masuk. Dia membaca dan membalas satu per satu. Ada pesan dari Fahmi, memberi perhatian kecil kepada gadis yang sudah dia anggap seperti putrinya sendiri.
Om sudah transfer uang jajan Radit sama uang jajan kamu buat sebulan. Nanti sore perlengkapan rumah diantar. Kamu di rumah, ya, biar kurir yang antar tidak menunggu.
Iya, Om. Makasih banyak.
Tak ada lagi balasan dari Fahmi. Lyana patut bersyukur, kebaikan dan kerja keras orang tuanya berbuah manis untuk Radit dan dia. Apalagi Fahmi sangat baik, Lyana merasa punya utang budi padanya.
Gue harus bisa memperbaiki hubungan Al dan Om Fahmi. Tapi, gimana caranya? batin Lyana sambil memasukan ponsel di tas.
"Ayo, pulang!" Tiba-tiba Al berdiri di depannya sambil mengulurkan bukti pembayaran kepada Lyana.
"Buat apa?" tanya Lyana menengadahkan wajah menatap Al bingung.
"Disimpenlah! Ayo ah, gue laper." Al menarik tangan Lyana, menggandengnya keluar dari dealer.
"Gila, ceweknya padahal biasa aja, kok mau, ya, masnya," bisik SPG selepas Al dan Lyana keluar dari delaer tersebut.
"Namanya juga cinta. Enggak kenal fisik," sahut yang lain.
Al dan Lyana pun meninggalkan tempat itu lantas membeli makan dan dibungkus. Mereka makan di rumah Lyana.
Al duduk di kursi mini bar yang menjadi penyekat dapur dengan ruang makan. Di rumah itu belum banyak perabotan, ada tiga kamar, dua di lantai atas, satu di bawah. Cukup luas, cat tembok putih, rumah itu terkesan bersih dan elegan.
"Lo enggak mau belanja barang-barang buat isi rumah?" tanya Al menunggu Lyana memindahkan makanan ke piring dan mangkuk.
"Tadi kata Om Fahmi entar ada kurir yang antar barang-barang ke sini. Mau lihat dulu, kalau ada yang kurang baru beli."
"Yang penting-penting aja dulu."
"Iya, tahu."
"Jangan boros, harus hemat. Dulukan yang jadi kewajiban kamu."
"Iya, iya. Gue tahu."
Lyana meletakkan dua piring nasi di meja bar lalu mengambil mangkuk berisi gulai sapi. Dia duduk di sebelah Al. Mereka menikmati makan siang itu.
"Bagaimana kabar Bu Sari?"
"Enggak tahu. Gue enggak pernah pulang."
"Loh, kenapa?"
"Males."
"Terus selama ini lo tinggal di mana?"
"Kantor."
"Ish, dasar semaunya sendiri. Enggak kasihan Om Fahmi apa kamu nih?"
"Emang Papi kasihan sama gue?"
"Iyalah! Kalau enggak kasihan, mana dia berbuat sebanyak itu buat lo. Bangun perusahaan, nyekolahin lo, nguliahin lo, beliin barang-barang kebutuhan lo."
"Udah, enggak usah banyak ngomong. Makan aja."
"Ih, nyebelin! Dasar keras kepala, susah dibilangin!"
Lyana mengalah, dia menghabiskan makanannya. Selesai itu dia merapikan meja bar dan mencuci piring dan mangkuknya. Al pindah duduk di ruang tengah, boleh ada TV, baru satu set sofa.
"Cing, bikinin gue es dong," pekik Al.
Siang yang panas seperti saat ini memang lengkap kalau ada minuman dingin. Apalagi setelah makan yang berkuah, sedikit pedas, dan bersantan. Mantap!
"Gue belum punya apa-apa, Curut! Belum sempet belanja. Air es aja, ya?"
"Ya dah, terserah! Habis ini kita belanja, ngisi bahan di dapur lo. Jadi, setiap hari lo bisa masakin gue."
"Idih, enak banget lo! Gue udah enggak kerja sama lo, ya."
Lyana datang membawakan Al air putih dingin. Dia duduk di sebelah Al dan memberikan air itu. Sekali tenggukan air tersisa setengah gelas. Al meletakkan gelas itu di meja.
"Waktu itu kenapa lo pergi enggak bilang-bilang, hm?" tanya Al dengan suara kalem.
"Lo nyebelin sih!"
"Nyebelin gimana?"
"Semaunya sendiri."
"Ya maaf, gue kan cuma mau bantu bersihin nama baik lo. Terus kenapa si Gea bisa baikan lagi sama lo. Jangan pura-pura amnesia dengan yang sudah dia perbuat ke lo."
"Lo tuh yang enggak peka! Namanya juga cemburu buta. Emosi sesaatnya. Gue lebih kenal Gea daripada lo. Sebenarnya dia baik, emang kalau lagi marah ngomong suka ngasal, enggak bisa menyembunyikan perasaannya. Mau benci kek, suka kek, ya sudah, ditunjukan. Bagusnya dia tuh enggak bicarain orang lain di belakang, di depannya langsung."
"Tapi gue masih males sama dia."
"Ih, lo emang, ya, pendendam. Males lama-lama sama lo!"
"Pendendam gimana? Gue kan bilang, males, bukan benci."
"Iya, dari males lo itu bikin hubungan antar manusia enggak baik. Contohnya lo males sama Om Fahmi, hubungan lo sama bokap lo jadi enggak harmonis, kan? Jangan-jangan kalau lo udah males sama gue, terus lo jauhin gue. Gitu, ya?"
"Enggaklah!"
"Terus, kenapa sama bokap lo begitu?"
"Beda konteksnya. Udah ah, yuk, kita ke supermarket." Al berdiri memakai jaketnya.
"Kalau kurirnya datang gimana?"
"Entar juga telepon lo. Ayo ah, jangan lelet."
"Iya, bawel lo!" Lyana mengambil tasnya yang diletakkan di dapur lalu menyusul Al ke luar rumah.
#####
Ah, mau dong punya pacar kayak Al. Jadi cemburu aku sama Lyana. Hahahaha
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top