Pamit

Semua orang tidak berani melerai cekcok itu, termasuk Fahmi dan Sandi. Terdengar suara Lyana dan Al saling bersahutan di lantai dua. Suara Lyana bergetar dan parau.

"Emang kenapa kalau gue suka lo! Salah! Hah!" ujar Al lantang, sampai di telinga Fahmi.

"Lo enggak boleh suka sama gue. Jangan bikin hidup gue makin banyak masalah, Al. Gara-gara lo, Gea ngejauhin gue. Apalagi setelah denger pernyataan bodoh lo di kampus tadi. Lo enggak kasihan sama gue."

"Justru gue kasihan sama lo, makanya gue bilang sama mereka begitu!"

"Lo enggak mikirin nanti dampaknya apa. Itu bukan solusi terbaik! Mereka akan semakin berpikir macam-macam sama kita!"

"Terus gimana caranya gue bisa bantu lo menutup mulut mereka? Hah! Gimana!" sentak Al keras tepat di depan wajah Lyana, jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter.

Lyana terdiam, dia juga tak tahu. Fahmi dan Sandi yan mendengar pertikaian itu menyimak dari ruang tengah.

"Kalau gitu gue yang mundur. Gue akan berhenti kerja di sini."

"Gue enggak izinin!" sahut Al cepat dan tegas.

"Apa hak lo nahan gue?"

"Gue sedang berkorban buat lo dan gue di sini yang menentukan!"

"Terserah!" Lyana lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

"Ly! Buka pintunya! Gue belum selesai bicara!" pekik Al menggedor pintu kamar itu. "Gue hitung sampai tiga, kalau lo enggak buka pintu, gue dobrak. Satu," ujar Al memberi jeda, "dua," Lyana masih bertahan, dia menangis di balik pintu, "tiga!" Al mengeluarkan seluruh tenaganya.

Dia menubruk pintu itu, tetapi tak sedikitpun goyah. Malah lengannya sakit.

"Ah!" teriak Al sambil menendang pintu. "Terserah lo kalau udah enggak mau diatur!" Lantas Al masuk ke kamarnya.

Dia memuntahkan amarahnya dengan menggapai minuman yang disimpan di bufet. Al menenggaknya, tak peduli perutnya terasa panas. Karena tak bisa lagi menahan sakit di dadanya, Al membanting botol minuman itu ke lantai dan berteriak kencang.

Lyana yang mendengar teriakan depresi Al hanya bisa mengucap maaf sambil menangis terisak-isak.

***

Sengaja Lyana berangkat ke kampus lebih awal. Selain ingin menghindari Al, dia juga akan mengurus sesuatu di ruang kemahasiswaan. Lyana menemui petugas kemahasiswaan, mereka berbincang.

"Yakin dengan keputusanmu?" tanya Septi, wanita berkacamata, usia sekitar 40 tahun yang duduk berhadapan dengan Lyana.

"Yakin, Bu," jawab Lyana sudah membulatkan keputusannya.

"Sayang loh, Ly, satu semester. Harusnya kamu bisa selesai tepat waktu."

"Yaaaa gimana lagi, Bu Septi. Saya harus pulang dulu, kerja buat persiapan skripsi dan ujian akhir."

"Hasil semester ini kamu bagus loh. Kalau kamu ambil cuti satu semester, beasiswa kamu terancam dicabut. Kamu pikir-pikir dulu deh. Selangkah lagi loh, Ly. Sabar, bertahan dulu. Dua semester lagi selesai."

"Iya, Bu. Gimana, ya, saya butuh menenagkan diri dulu. Takutnya kalau saya paksa, malah enggak bisa konsentrasi di pelajaran."

"Ly, namanya hidup pasti ada masalah. Jangan dihindari, hadapi, itu cara Allah menguji untuk mengangkat derajat kita."

"Tapi saya malu, Bu." Lyana menunduk.

"Kenapa malu?"

Bukan maksud mengadu, tetapi Lyana hanya ingin membagi beban yang dipendam sendiri selama ini. Mungkin Septi punya solusi untuknya.

"Oh, jadi itu masalah kamu? Mereka termakan hoax. Kalau kamu enggak melakukannya, kenapa malu? Hadapi saja, tunjukan kepada mereka kalau gosip itu tidak benar. Setahu saya, Al itu anak yang pintar. Walaupun jahil dan nakal, tapi dermawan seperti ayahnya. Kalau kampus punya kegiatan, donatur terbesar dia, tanpa boleh ada yang tahu. Dia selalu mengatasnamakan hamba Allah. Maaf, bukannya saya mau baik-baikin dia, cuma itu penilaian saya kepadanya. Ini Ibu bilang cuma sama kamu loh, Ly."

"Iya, saya tahu, Bu."

"Apa liburan semester ini enggak cukup buat kamu menenangkan diri? Siapa tahu setelah liburan gosip itu hilang, mereka sudah lupa. Akan ada hal-hal baru yang menggeser pembahasan mereka. Karena mungkin ini gosip baru, jadi mereka masih hangat membicarakannya."

Lyana kembali menimbang keputusannya. Sangat disayangkan jika dia sampai cuti satu semester, selain akan membuang waktu, dia juga bisa menyia-nyiakan kesempatan beasiswa itu. Kalau sampai beasiswa itu dicabut, bagaimana dia bisa membayar sisa dua semesternya? Apalagi dia akan keluar dari pekerjaannya sekarang. Kalau kerja part time belum tentu gajinya sebesar itu.

"Ya sudah, Bu Septi. Saya tidak jadi ambil cuti. Insyaallah libur semester ini cukup buat menenagkan diri."

"Nah, gitu dong! Kamu harus optimis dan yakin. Semangat!" seru Septi dengan senyuman lebar.

"Iya, Bu. Makasih atas masukannya. Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Bu. Mau masuk kelas."

"Iya, Ly. Silakan."

Setidaknya perasaan Lyana sedikit lega karena sudah membagi masalahnya dengan orang lain. Jika punya masalah, tidak baik dipendam sendiri. Tidak akan mungkin mendapat solusi. Berbagi dengan orang yang tepat, akan mendapatkan solusi yang baik.

***

Di ruangan cukup luas dengan berbagai fasilitas pendukung pekerjaannya dan terdapat satu set sofa untuk menerima tamu, Al melamun. Di kursi kebesarannya sebagai direktur, dia menatap ke luar jendela. Melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit dan padatnya pemukiman ibu kota.

Kenapa dia menghindariku? Apa salahku?

Hampir satu minggu Lyana tak mengajaknya bercanda seperti dulu ketika pertama datang. Aneh bagi Al menerima perubahan sikap Lyana. Setiap diajak ngobrol, gadis itu tak pernah memandangnya, pasti menunduk.

Tuk tuk tuk

Pintu ruang tersebut terketuk, Al terlonjak lalu  menyadarkan diri. Dia menegakkan duduknya dan menyahut lantang, mempersilakan orang di luar masuk. Sandi masuk membawa map merah yang diapit di pinggangnya.

"Tuan Mudah Al memanggil saya?"

"Iya, Pak Sandi. Silakan duduk."
Sandi pun duduk di kursi depan meja kerja Al.

"Ada apa, Tuan Muda?"

"Pak Sandi tahu, kan, kalau kita memenangkan tender tanah di Sumba Besar?"

"Iya, Tuan Muda, tahu."

"Saya minta urus akta tanah itu atas nama Margaretha Lyana Firdaus."

Sandi sangat terkejut. "Kenapa, Tuan Muda?"

"Saya lakukan ini untuk mengembalikan perusahaan kepada orang yang berhak. Sampaikan ke Papi, saya sudah menemukan anaknya Om Firdaus."

"Baik, Tuan Muda. Nanti saya sampaikan. Oh, iya, Kenapa Tuan Muda masih di sini? Karyawan-karyawan sudah pada pulang."

"Saya mau menenagkan diri dulu, Pak Sandi. Kalau saya pulang sekarang dan bertemu Lyana, pikiran saya kacau."

Sandi mengangguk paham, lantas dia pamit keluar dari ruangan direktur muda itu. Jam menunjukan pukul 17.00 WIB, Al masih setia duduk di kursi kebesarannya.

Sedangkan di rumah, ketika Fahmi sedang bersantai di ruang tengah, seperti biasa, Lyana menghampiri.

"Selamat sore, Pak Fahmi."

Fahmi langsung menoleh sambil tersenyum ramah. "Selamat sore, Ly."

"Pak, boleh saya bicara sebentar?"

Fahmi yang sedang menonton televisi langsung mengecilkan volumenya.

"Boleh. Silakan duduk."

Setelah Lyana duduk lalu menarik napas dalam, mengumpulkan keberaniannya. Dia sudah memikirkan matang-matang keputusannya itu.

"Pak, maaf jika selama ini pekerjaan saya masih banyak kekurangan. Saya mohon izin berhenti, Pak."

"Berhenti? Maksudnya kamu sudah tidak mau mengurus Al lagi?"

"Maaf, Pak Fahmi. Selama ini Bapak sudah sangat baik kepada saya. Orang-orang di sini juga baik. Tapi ada satu hal yang membuat saya harus keluar dari sini."

"Apa karena pertengkaran kemarin? Jangan diambil hati, Al memang begitu kalau sedang marah. Saya bertahun-tahun menghadapi sikapnya yang keras kepala itu. Kuncinya sabar, Ly. Al orangnya emang tidak bisa dipaksa. Biarkan dia semaunya sendiri, dia tahu mana yang baik untuknya."

"Iya, Pak Fahmi. Tapi bukan itu masalahnya."

"Coba jelaskan sama saya, apa yang membuat kamu mau keluar? Saya cocok sama kamu. Kamu telaten menghadapi Al. Bisa mengatur semua keperluan dia. Selama ini saya mencarikan asisten pribadi buat Al, enggak ada yang betah, bahkan baru beberapa hari mereka sudah minta pulang."

"Saya enggak enak, Pak."

"Enggak enak kenapa?"

"Saya takut Bapak sama orang-orang di rumah ini berpikir macam-macam tentang saya."

"Macam-macam bagaimana? Saya sama sekali tidak berpikir negatif tentang kamu. Di setiap sudut rumah ini saya pasang CCTV, kalau ada yang mencuri, saya tahu."

"Bukan itu, Pak."

"Lalu?"

"Soal saya sering ketiduran di kamar Tuan Muda."

Fahmi justru tertawa. "Kenapa memangnya? Saya kenal betul Al. Dia tidak mungkin macam-macam. Dia sangat menghormati wanita, Ly. Maminya sejak dulu mengajari Al untuk menjaga kehormatan wanita. Al sangat mencintai maminya dan seorang di masa lalu, dia enggak akan melakukan hal kelewat batas. Kalau mabok, itu biasa, jangan kaget. Saya anggap Al hanya ingin menghilangkan pikiran yang mengganggunya."

"Tapi, waktu itu Gea menyampaikan kepada saya kalau Pak Fahmi dan orang-orang di rumah ini risih melihat saya sering ketiduran di kamar Tuan Muda."

"Saya tidak pernah bilang seperti itu. Cuma saya mengatakan kepada mereka, kalau kamu kecapean membantu pekerjaan Al sering ketiduran di kamarnya. Itu benar, kan?"

Ya Allah, kenapa Gea bisa mengada-ada seperti itu? Tega banget menambah ucapan seseorang, batin Lyana menyesali perbuatan Gea yang sudah memfitnahnya.

"Oh, iya, Ly. Kemarin saya dengar perdebatan kalian."

Lyana membuyarkan lamunannya dan kembali fokus pada obrolannya dengan Fahmi.

"Saya minta maaf, Pak, atas ketidaksopanan dan kelancangan saya kepada Tuan Muda Al."

"Saya mengerti. Jangan diambil hati. Bukan maksud saya menghancurkan harapan kamu, cuma saya mau menyampaikan saja, jangan langsung menarik kesimpulan dengan kata suka yang Al lontarkan kepadamu."

"Iya, Pak. Saya tidak mengambil hati soal itu kok," ucap Lyana mendustai perasaannya. Padahal dalam hati dia mengharapkan Al benar-benar membalas cintanya.

"Yang saya tahu, sampai sekarang Al menutup hatinya untuk siapa pun. Ada masa lalu yang sampai sekarang dia cari. Saya juga kehilangan kontak sama keluarganya. Ini kesalahan saya."

"Maksudnya, Pak?"

Fahmi pun menceritakan kepada Lyana masa kecil Al saat di kampung sampai akhirnya Al membencinya seperti sekarang. Dadanya sesak, beberapa kali terdengar helaan napas berat Fahmi. Bagaimanapun Fahmi menjelaskan, Lyana tak akan mungkin mengingatnya. Dia sudah kehilangan memori masa kecilnya secara permanen.

"Saya berdoa, semoga Pak Fahmi segera menemukan keluarga mereka, ya?" ujar Lyana menahan sakit di hatinya.

Dia berpikir cintanya tidak akan dibalas Al setelah mendengar penjelasan Fahmi. Mungkin Al merasa cinta sesaat kepadanya.

"Amin. Saya khawatir sama kehidupan keluarga mereka, Ly. Tiba-tiba tidak ada kabar, empat tahun lalu saya membeli perusahaan sahabat baik saya dari tangan orang lain. Terus di mana keluarga mereka sekarang? Saya menyewa intel untuk mencari keluarga mereka, tapi tidak bisa ditemukan," ujar Fahmi berat hati, suaranya tertahan dan parau. "Saya memikirkan nasib anak-anaknya," imbuh Fahmi.

"Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja, ya, Pak. Pasti bisa bertemu kalau Allah memberikan jalan. Yang penting jangan putus asa dan jangan menyerah mencari."

"Iya, Ly. Sampai sekarang saya masih mencari mereka. Al pun seperti itu. Diam-diam dia mencarinya juga."

Beberapa menit tak ada obrolan, Lyana memberi waktu Fahmi untuk menenagkan diri. Setelah dilihat suasana hati Fahmi sudah lebih baik, Lyana mengingatkan awal topik pembicaraan mereka.

"Ya sudah kalau itu keputusanmu, Ly. Saya tidak punya hak menahanmu. Kamu mau keluar kapan?"

"Kalau boleh besok pagi, Pak."

"Kok mendadak?" sahut Fahmi terkejut.

"Iya, Pak. Saya mau pulang kampung. Nenek saya sakit," ujar Lyana beralasan.

"Oooh, begitu? Ya sudah kalau begitu. Saya akan transfer gaji kamu bulan ini sekalian pesangon kamu. Rawat nenek sama adik kamu baik-baik, ya? Saya bangga sama kamu, Ly. Selain pintar, kamu juga pekerja keras."

"Iya, Pak. Keadaannya memang seperti ini. Kalau bukan saya, siapa yang akan memenuhi kebutuhan mereka?"

"Iya, benar. Ya sudah, kamu siap-siap dulu. Tapi, kamu sudah bicara sama Al, kan?"

"Sudah, Pak."

Memang benar kemarin dia sudah bilang sama Al kalau akan keluar, tetapi Al tidak mengizinkannya.

"Ya sudah kalau begitu."

"Terima kasih, Pak Fahmi. Jaga kesehatan, ya, Pak."

"Iya, Ly. Makasih selama ini sudah membantu saya merawat Al."

"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."

"Iya, silakan."

Selepas Lyana pergi, Fahmi mematikan televisi lalu ke kamarnya untuk bersiap salat Magrib.

######

Pak Fahmi aslinya baik loooh. Cuma Al yang terlalu menyalahkan papinya.
Semangat, Al, Ly! Pasti kalian bisa melewati masalah ini.

Makasih, ya, untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top