Pacaran Enggak Nih?
Hening, di mobil itu hanya ada Al dan Lyana. Dari Kafe Gemilang, Al mengantar Lyana pulang. Namun, selama perjalanan tidak ada obrolan di antara mereka. Al bingung mau bicara apa, sedangkan Lyana masih malas bicara dengan Al. Sampai akhirnya mobil Al berhenti di depan rumah Lyana.
"Makasih," ucap Lyana lirih langsung ingin turun, tetapi Al mencegah pergelangan tangannya.
"Tunggu sebentar, gue mau bicara."
Lyana kembali duduk, dengan wajah datar dia mendengarkan Al sambil bersedekap.
"Lo mau lulus cepet enggak sih?"
"Iyalah! Gue lagi pengajuan ganti dosen pembimbing."
"Emang kenapa sama Bu Dona?"
"Gue enggak suka aja."
"Alasan enggak suka?"
"Dia genit, gue risih lihatnya."
"Apa karena genitnya sama gue, terus lo cemburu?" Al mengerling, sedikit menggoda Lyana.
"Idih, PD amat sih!" elak Lyana, padahal benar.
"Ly, dalam pikiran gue cuma ada tiga hal. Satu cepet lulus kuliah, dua menata masa depan biar lebih baik, dan ketiga hidup sama lo. Udah, enggak ada yang lain."
"Terus Om Fahmi enggak lo pikirin?"
"Ck, dia udah bisa memikirkan hidupnya sendiri. Semua bisa dia lakukan sendiri."
"Kalau dia bisa sendiri, enggak mungkin Om Fahmi memperkerjakan Pak Sandi, Al. Lo yang terlalu menutup hati. Sama bokap lo aja enggak bisa terbuka, apalagi nanti kalau lo nikahi gue? Al, kunci semua hubungan itu komunikasi yang baik, saling menghargai, dan percaya. Sekarang gue tanya sama lo, apa lo bisa menghargai Om Fahmi?"
Al memutar bola mata malas, dia paling tidak suka membahas hubungannya dengan sang papi. Al menarik napas panjang, dia menyandarkan tubuhnya lalu meraup wajah dan membuang napas kasar.
"Terus apa mau lo?"
"Sebelum lo hidup sama gue, sebaiknya perbaiki dulu hubungan lo sama Om Fahmi. Gue enggak mau punya suami yang musuhin papinya sendiri."
"Caranya?"
"Lo harus minta maaf."
"Gue enggak bisa."
"Kenapa? Lo kegedean gengsi tahu enggak? Itu bokap lo, Al, bukan orang lain. Ngapain jaga image? Dia udah tahu baik buruknya lo. Udah, enggak perlu gengsi dan jaim."
Terdiam, suasana di mobil itu menjadi hening. Al pusing dengan permintaan Lyana. Sebenarnya dia juga ingin memperbaiki hubungannya dengan Fahmi, tetapi bagaimana memulainya? Apa yang akan Al bicarakan pertama kali dengannya? Ah, memikirkan itu membuat kepala Al semakin kalut.
"Apa permintaan gue terlalu sulit? Gue enggak minta rumah loh, enggak minta mobil, enggak minta berlian, yang gue minta cuma satu, perbaiki hubungan lo sama Om Fahmi. Itu doang."
"Iya, tapi bagi gue permintaan lo itu sulit. Mending lo minta beliin rumah, mobil, itu lebih mudah gue wujudkan."
"Tapi gue enggak mau itu, Al. Om Fahmi udah ngasih gue rumah, lo juga udah ngasih gue mobil, terus kapan kalian ngasih gue kehangatan keluarga? Lo tahu, kan, gue udah enggak punya orang tua. Jauh dari adik sama nenek satu-satunya. Bibi Tiara? Lo tahu sendiri sifat bibi gue gimana. Gue cuma pengin bahagia di tengah kehangatan keluarga. Cuma itu, Al." Suara Lyana bergetar, dia siap menangis.
Hati Al terenyuh, dia menatap Lyana yang matanya sudah merah dan berkaca-kaca. Tak tega melihat itu Al lalu menarik Lyana ke dalam pelukannya. Dia mengelus rambut Lyana, membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya.
"Maafin gue, ya? Gue akan usahakan."
"Bener, ya?" Lyana menengadahkan wajahnya yang basah air mata untuk menatap Al.
"Iya. Tapi bantuin."
"Iya. Besok gue bantu."
"Ya dah, jangan nangis lagi." Al menyeka air mata Lyana dengan tangannya. "Dasar cengeng!" Dia menarik hidung mancung Lyana.
"Sakit," ujar Lyana manja sambil mengelus hidungnya dan bibirnya manyun.
"Lihat yang sakit." Sengaja Al mengangkat dagu Lyana agar wajah cantik yang masih polos tanpa make up itu dapat jelas dipandang. Al mengecup ujung hidung Lyana.
Kedua mata Lyana melebar, pipinya memanas, menahan malu. Bisa-bisanya Al melakukan itu. Tubuh Lyana sulit digerakan, terasa seperti patung.
"Udah enggak sakit, kan?" kata Al dengan senyum sangat manis.
"Iiiiih, lancang!" Lyana mencubit perut Al lalu menyembunyikan wajah malunya di dada kekar itu.
Al malah tertawa dan mendekapnya semakin erat. Lyana nyaman dalam dekapan Al, seperti tak mau dilepas.
"Besok mobilnya gue antar ke sini, ya?" ujar Al masih enggan melepas Lyana dari pelukannya.
"Enggak usah."
"Kenapa?"
"Lo aja yang jemput gue."
"Idih, gue enggak pasti. Kadang gue ada meeting pagi. Makanya gue nginep di kantor biar enggak cape wira-wiri. Di kantor juga lebih nyaman, tenang, ngerjain apa-apa fokus dan cepet selesai."
"Ya dah."
"Besok pagi ada meeting sama direksi. Pak Sandi aja, ya, gue suruh antar?"
"Terserah."
"Kok terserah sih?"
"Terus gue bisa protes apa? Lo sibuk, kan?"
"Kalau enggak, habis meeting deh gue antar sekalian mau lihat pekerjaan kolam ikan sama kolam renang. Udah sampai mana pekerjaannya?"
"Mana gue tahu? Kan itu rencana lo, bukan gue. Jadi, gue enggak tahu."
"Ck, dasar! Itu kan, rumah lo. Dicek dong."
"Iya. Tapi yang punya acara bikin begitu siapa? Lo, kan?" Lyana menengadahkan wajahnya, menatap Al yang menunduk.
"Ya dah, besok gue cek. Lo besok ngampus jam berapa?"
"Sebenarnya gue mau konsultasi soal judul sama materi skripsi. Cuma nunggu dosen yang pas."
"Emang kenapa sih sama Bu Dona? Kalau lo aktif, sebenarnya enak kok orangnya. Emang kalau sama cewek agak sensi dia. Takut tersaingi mungkin."
"Lo suka amat dapat pembimbing Bu Dona." Lyana mulai curiga dan cemberut.
"Cemburu?" Al menowel dagu Lyana. "Masa gue suka tante-tante sih. Bukan selera gue."
"Terus apa selera lo?"
"Indomie, selera sejuta umat."
Lyana tak jadi ngambek, dia malah terkikih dan memukul pelan dada Al.
"Besok konsultasi sama gue. Tenang saja, Bu Dona udah takluk sama gue."
"Lo apain dia?"
"Setiap konsultasi gue ajak ketemuan di restoran, gue traktir, kalau gue ke rumahnya, gue bawain martabak, kalau enggak kue kesukaan anaknya, pokoknya gue ambil hati dia biar prosesnya lancar."
"Lo mah enak. Lah gue? Dia sensi kalau sama cewek."
"Makanya lo dekati aja dia. Basa-basi, puji-puji dia, baik-baikin dia. Berkorban beliin dia makanan untuk buah tangan."
"Iya deh, besok gue coba. Tapi temenin, ya?"
"Iya, Kucing! Dah, masuk sana." Walau sebenarnya tak rela, tetapi Al melepas dekapannya.
Lyana menegakkan tubuh, dia mencangklong tas salempangnya. Saat ingin membuka pintu mobil, lagi-lagi Al menahannya. Lyana menoleh, tanpa izin Al mencium kening Lyana, hingga tubuh gadis itu menegang.
"Selamat malam, pacar kecil. Jangan lupa mimpiin gue."
Lyana mesem. "Sejak kapan gue jadi pacar lo?"
"Sejak kita kecil lo udah jadi pacar gue. Sekarang masih jadi pacar gue."
"Idiiiiiih, gue enggak ngerasa tuh! Kapan kita berkomitmen?"
"Ya dah, enggak usah pacaran. Langsung nikah aja. Sabar, ya? Habis lulus gue lamar."
"Ogah!" sahut Lyana sambil mesem lalu keluar dari mobil. Sebelum menutup pintu Lyana membungkuk, menyembulkan kepalanya sambil berkata, "Ingat permintaan gue. Sebelum lo ngelamar gue, lo udah baikan sama Om Fahmi."
"Iya, Kucing. Gue usahain!" jawab Al tegas dan mantap.
"Ya dah, pulang sana. Dadah, Curut." Lyana melambai, dia lantas menutup pintunya.
Setelah memastikan Lyana masuk rumah, Al meninggalkan tempat itu. Dia melajukan mobilnya ke kantor dengan perasaan bahagia.
***
Sebenarnya Lyana kurang suka keadaan ini, harus pura-pura baik di depan Dona. Senyum palsu yang dipaksa kadang membuatnya bosan.
"Bagus! Begini dong," ujar Dona meletakkan map Lyana di meja setelah mengecek judul dan rencana konsep skripsinya. "Siapa pengusaha yang mau kamu kulik, Ly?" tanya Dona menatap Lyana dengan wajah judes.
"Pacar saya, Bu."
"Oh, pacar kamu pengusaha?" Mata Dona membulat, dia tak menyangka ternyata Al selama ini pengusaha muda--setahu Dona, Al dan Lyana sudah pacaran. Yang dilirik hanya tersenyum bahagia, secara tak langsung dia sudah Lyana akui sebagai kekasihnya.
"Iya, Bu. Pengusaha muda yang ganteng, pinter, tapi nyebelin." Lyana berucap sambil melirik Al yang duduk di sebelahnya.
Dona langsung memahami itu, dia tersenyum tipis saat Al pura-pura tidak mendengar, justru melihat keadaan sekitar yang cukup ramai karena mereka saat ini berada di restoran.
"Ibu berharap kalian bisa saling membantu. Al yang bener ngasih informasi, ini menyangkut skripsi pacarmu. Kalian harus bisa profesional, jangan campur adukan urusan pribadi sama belajar," nasihat Dona menatap Al dan Lyana bergantian.
"Siap, Bu!" sahut Lyana mulai berusaha membiasakan diri dengan Dona.
Biarpun dosen ini genit dan centil, tetapi sebenarnya baik. Dia juga bisa profesional, hanya saja kalau dengan mahasiswa tampan yang menarik perhatiannya, sikapnya over. Setelah Dona tahu Al dan Lyana punya hubungan spesial, dia bisa menempatkan diri. Dona tak lagi terlalu genit kepada Al, walaupun kadang masih sering menggoda dengan candaan.
"Ya sudah, Ibu pulang duluan. Soalnya mau jemput anak les. Kalian kalau masih mau di sini terserah." Dona memasukan ponsel ke tas jinjingnya.
"Iya, Bu. Terima kasih waktunya. Langsung tinggal saja, Bu. Makan siangnya saya yang bayar," ucap Al berdiri diikuti Lyana, tanda mereka menghargai Dona yang siap melangkah.
"Terima kasih, Bu Dona," timpal Lyana tersenyum lebar, sekadar basa-basi.
"Iya, sama-sama. Saya duluan, ya? Makasih traktirannya, Al." Lantas Dona melenggang pergi.
Lyana dan Al kembali duduk. Al sudah tak tahan ingin segera menggoda Lyana.
"Jadi, udah ngakuin gue pacar nih?" ujar Al mengerling.
"Enggak! Tadi cuma mau ngode Bu Dona, biar enggak centil aja," elak Lyana sok-sokan sibuk melanjutkan makannya.
Al mengacak rambut Lyana sambil terkikih. Lyana yang malu hanya diam menghabiskan makanannya.
Begini rasanya menemukan cinta lama. Sahabat rasa pacar, ujar Lyana dalam hati lalu bibirnya tersenyum tipis.
"Gue bayar dulu," kata Al beranjak pergi ke kasir.
Gue beruntung dicintai lo, Al. Biarpun lo nyebelin, tapi setiap bareng lo, gue happy, nyaman, dan lo tahu apa yang seharusnya lo lakuin buat gue, tanpa gue bilang, batin Lyana sambil memperhatikan Al sedang membayar.
#####
Yang kemarin berpikir negatif tentang Bu Dona, dosa kalian. Dia emang centil, genit, seksi, tapi dia enggak murahan. Hehehehe
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top