Ngobrol Lebih Dalam

BTW, jangan bingung, ya? Nama neneknya Lyana aku ganti Surti karena ternyata sejak awal namanya memang Surti. Entahlah, kok aku kepiran Tumini🤣✌. Maafkan aku. Sudah aku ganti semua nama Tumini jadi Surti.
***

Jam masih menunjukan pukul 05.30 WIB. Namun, suasana di sawah sudah ramai. Surti dibantu tetangga dan oran-orang yang mencari jerami untuk makan kerbau memanen padi. Radit sekolah dan Lyana sibuk memasak dibantu Gea. Edo datang, setiap malam dia tidur di rumah paman Lyana.

"Pagi, ciwi-ciwi," sapa Edo memakai jaket tebal dan kupluk.

Walaupun dia terlihat culun karena memakai kacamata, sebenarnya Edo tampan. Tubuhnya tegap meskipun tidak kekar. Andai Edo mau membuka diri dan sedikit mengubah penampilannya agar mengikuti gaya masa kini, pasti banyak wanita naksir.

"Baru bangun lo, Do?" tanya Lyana sembari meletakkan gorengan di piring.

Gea berusaha bersikap biasa saja supaya Edo tidak mencurigai bahwa sebenarnya dia menyukainya. Gea sok sibuk mengiris bawang putih dan bawang merah. Sebenarnya jantung Gea selalu berdebar kencang saat dekat dengan Edo. Hanya saja dia pintar menyikapi dengan sikap santai.

"Mau bikin apa ini?" tanya Edo berdiri di sebelah Gea.

"Buat sarapanlah! Lo doyan tumis buncis enggak?" tanya Gea tanpa menoleh Edo.

"Doyan dong. Asal jangan pare, gue enggak suka. Pahit."

"Hidup lebih pahit, Do," sahut Lyana memasukan lagi adonan tepung yang sudah dicampur toge, wortel, dan kolbis ke minyak panas.

Gea dan Edo pun terkekeh. Terdengar orang lain masuk ke rumah. Ternyata Tiara dan Fahmi diikuti Lisa, putri satu-satunya Tiara yang berusia enam belas tahun. Suami Tiara tidak ikut pulang kampung karena kerja. Dia sopir truk, enggak tentu pulangnya.

"Waaah, lagi masak-masak apa nih?" tanya Fahmi menghampiri Lyana yang berdiri di depan kompor.

"Ini, Pak ..."

"Panggil Om saja. Papa juga boleh. Anggaplah saya pengganti papamu, Ly," sahut Fahmi dengan senyum terbaiknya.

Hati Lyana tersentuh, dia tersenyum lebar lalu melanjutkan ucapannya, "Bikin bakwan sayur, Om. Sama mau nyayur tumis buncis. Itu bumbunya sedang Gea iris."

Fahmi menoleh Gea yang dibantu Edo menyiapkan bumbu. Mereka duduk di tepi amben.

"Gea emang bisa masak?" tanya Fahmi dengan senyum ramah.

"Hehehe, enggak, Om. Cuma bantuin Lyana. Kalau cuma iris-iris bisa sih. Kalau masak belum," jawab Gea cengingisan, malu.

"Ya sudah, saya duduk di depan saja. Takutnya ganggu kalian."

"Iya, Om. Nanti kalau sudah matang kita sarapan bersama," ujar Lyana.

Fahmi mengangguk lantas ke ruang tamu, duduk di kursi kayu bersama Sandi yang setia menemaninya. Selama di kampung, Fahmi tinggal di rumahnya yang masih terawat karena rutin dibersihkan seseorang yang dipercaya Fahmi menjaga rumahnya.

Rumah Fahmi beda RT dengan Surti, jaraknya juga lumayan jauh. Sekitar sepuluh menit kalau jalan kaki. Rumah Firdaus sudah dirubuhkan karena tidak ada yang menempati, bangunan pun sudah lapuk. Sekarang jadi kebun kopi.

Tiara yang sedari tadi seperti mencari sesuatu lalu bertanya kepada Lyana, "Ly, Mae ke mana?"

"Mbah di sawah, Bi."

"Lagi panen, ya?" Tiara mengambil bakwan yang sudah matang lalu memakannya, tak peduli itu masih panas.

"Iya. Kenapa?"

"Om Fahmi mau bicara penting sama kamu, Mae, dan Radit."

"Ngomong apa?"

"Mana Bibi tahu!"

"Radit, kan, sekolah."

"Nunggu Radit pulanglah! Bibi mau ke pasar, kamu nitip apa?"

"Enggak, Bi. Aku lagi hemat. Enggak ada pemasukan selama di kampung."

"Ya sudah. Ayo Lisa!"

"Iya, Ma." Lisa langsung mengikuti Tiara pergi dari dapur.

Sebenarnya Tiara baik, Lyana menyadari itu. Hanya saja pembawaannya memang galak dan penginnya semua cepat. Pekerjaan sempurna.

***

Sore saat mereka semua bersantai di ruang tamu, Fahmi dan Sandi yang menunggu mereka berkumpul sejak pagi pun tak menyia-nyiakan kesempatan.

Karena kursi terbatas, Edo, Gea, Radit, dan Lisa duduk di lantai beralas tikar. Sedangkan Lyana duduk bersebelahan dengan Surti. Fahmi duduk di samping Sandi, Tiara duduk sendiri di kursi single.

"Jadi, begini Mak Sur, Lyana sama Radit sudah aku anggap seperti anakku. Mak Sur juga sudah aku anggap seperti ibuku. Kalau Mak Sur mau, aku pengin ngajak kalian pindah ke Jakarta. Soal rumah sudah aku siapkan. Jangan khawatir, sesampainya Lyana besok di Jakarta, aku akan menyerahkan jabatan Al sebagai direktur PT Hunian Sejahtera kepada Lyana."

Lyana terkejut, dia menatap Fahmi berkaca-kaca. Bibirnya kelu, dia tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis seperti itu. Selama ini Lyana berpikir setelah lulus paling kerja di kantor sebagai pegawai biasa, bukan direktur.

"Mak Sur menghargai penawaran kamu, Le. Cuma Mak Sur kalau suruh ikut ke Jakarta tidak bisa. Biar anak-anak saja yang ikut." Surti menatap Radit dan Lyana.

Radit menunduk, seperti sedang menimbang keputusannya. Sedangkan Lyana juga menatap Radit, meminta persetujuan adik satu-satunya itu.

"Sebenarnya aku juga pengin ke Jakarta, Om. Tapi kalau Mbak di Jakarta terus aku juga di sana, Mbah sama siapa? Sementara aku selesaikan dulu sekolah di sini, biar Mbak aja yang di Jakarta," ujar Radit bijak. Dia tidak tega meninggalkan Surti sendiri.

"Iya, enggak apa-apa. Sementara Radit nemenin Mak Sur di sini dulu. Lyana gimana?" tanya Fahmi mengalihkan pandangannya kepada Lyana.

"Aku bingung, Om," tukas Lyana menyapu pandangannya ke wajah semua orang yang ada di ruang itu.

"Bingung kenapa?" tanya Fahmi mengerutkan dahi.

"Kalau aku gantiin Al, terus Al gimana?"

"Kamu jangan pikirkan itu, Ly. Al bisa bantu Om di PT Permata Indah. Toh juga Om sudah tua, waktunya pensiun."

Lyana tak langsung menyetujui, dia menatap Tiara. Bibinya itu mengangguk, menandakan supaya Lyana menerima tawaran Fahmi. Namun, dia belum yakin. Lyana menatap Surti.

"Mbah, gimana?" tanya Lyana lirih.

"Kalau kamu merasa sanggup, ambillah, kesempatan tidak datang dua kali. Ini sudah takdirmu, Nduk," ucap Surti mengelus rambut Lyana.

Lalu dia menatap Fahmi yang menunggu jawabannya.

"Om, boleh enggak kalau aku minta waktu buat nyelesaiin kuliah dulu? Sebentar lagi skripsi dan ujian. Pasti aku akan sibuk kuliah. Apalagi aku juga butuh belajar tentang bisnis properti dan mengenal perusahaan."

"Tentu saja boleh, Ly. Kapan pun kamu siap, Om akan menggeser Al."

Semua tersenyum bahagia. Inilah waktunya mengubah nasib Lyana. Kerja kerasnya bertahun-tahun akan terbayar.

***

Al yang siang itu sedang makan di restoran sendiri, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia hentikan mengunyah dan melihat si penelepon lalu mengangkatnya.

"Ya, Pak Sandi. Ada kabar apa?" tanya Al datar.

Walau dia di Jakarta, tampak tak peduli dengan urusan Lyana dan Fahmi, sebenarnya Al selalu memantau perkembangannya melalui Sandi. Apa pun yang Fahmi rencanakan untuk Lyana, Al ingin tahu supaya dia bisa mempersiapkan diri.

Sandi menyampaikan semua informasi yang diperlukan Al. Selesai menerima telepon, Al kembali menyantap makanannya sambil berpikir. Dia menyusun rencana. Setelah itu dia menelepon seseorang.

"Kalau bisa dipercepat prosesnya, ya?"

Setelah selesai berbicara dengan seseorang itu, dia meletakkan kembali ponselnya di meja. Al ingin urusannya beres sebelum Fahmi menyerahkan jabatan yang memang seharusnya Lyana tempati.

Al beranjak ke kasir membayar makanannya. Buru-buru dia kembali ke kantor. Sesampainya di pelataran kantor, direktur muda nan tampan yang memakai setelan jas hitam, kemeja putih yang kancing bagian kerah tidak dikancing, tanpa dasi, dan celana kain hitam itu keluar dari mobil sambil melepas kacamata hitamnya.

Rambut ditata klimis denga gayanya yang stay cool Al masuk ke kantor. Dia langsung menuju lift yang biasa digunakan direksi, petingi-petinggi perusahaan, untuk menuju ke ruang kerjanya.

Sampai di sana Al memerintah Erwin, sekretarisnya, untuk menyiapkan meeting dadakan dengan dewan direksi. Al akan memperkuat tim pemasaran dan tim produksi sebelum Lyana memimpin. Dia lakukan itu semata-mata ingin membuat wanita yang dicintainya memiliki tim kerja andal dan kuat.

#####

Ah, CEO Al emang the best! Dia rela kerja keras buat Lyana. Makasih Bebeb Al.

Kalian masih menungguku, kan? Makasih buat vote dan komennya, ya?❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top