Mrs. Cute
Gadis cute yang memiliki postur tubuh mungil, kulit putih, langsing, paras cantik, dan pekerja keras itu hidup mandiri tanpa orang tua di ibu kota. Orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan lalulintas beserta kakak satu-satunya, tinggal adik lelakinya yang masih sekolah menengah pertama di kampung bersama nenek tunggal mereka.
Dia berjuang sendiri melawan kejamnya ibu kota. Margaretha Lyana Firdaus selama ini tinggal di rumah bibinya yang mempunyai rumah makan. Pekerjaan sehari-harinya selain kuliah, dia harus membantu bibinya menjadi pelayan, terkadang dia juga harus membantu memasak. Bibinya wanita yang galak dan sebenarnya Lyana sudah tidak tahan tinggal bersamanya.
"Lyana!" panggil sang bibik saat Lyana sedang melamun di dapur.
"Iya, Biiii," sahut Lyana terkejut dan gelagapan, lantas dia mendekati Tiara yang duduk di kursi kasir. "Ada apa, Bi?" tanya Lyana lembut padahal hatinya sebel.
"Tuh, tawarin makan pengunjung yang baru masuk," perintah Tiara menunjuk salah satu pria yang duduk sendiri.
Lyana mengikuti arah tunjuk Tiara, wajah pria itu tampan dan Lyana langsung terpukau. Matanya hanya tertuju pada orang itu, yang lain tidak dianggap. Dengan senyum lebar, Lyana mendekatinya.
"Selamat sore, mau pesan apa?" tanya Lyana ramah selalu menatap wajah pria itu.
"Saya mau pesan nasi goreng hati ampela sama es jeruk. GPL, ya?" pintanya.
Namun, Lyana tidak menyahut malah memerhatikan setiap lekuk wajah itu. Pria dengan bibir tebal, kedua alis lebat, dan berkacamata. Orang itu mengernyit ketika Lyana senyam-senyum tak meresponsnya.
"Halooooo, Nona." Orang itu melambaikan tangannya di depan wajah Lyana, tetapi Lyana tak kunjung mengakhiri terpesonanya.
Melihat dari tempat duduknya, Tiara menggeleng. Dia berdiri lantas menarik telinga Lyana.
"Aw, aw, aw, aw, sakit," keluh Lyana memegangi tangan Tiara yang menjewernya.
"Tadi aku suruh kamu melayani pelanggan, bukan menatapnya!" sentak Tiara hingga menjadi pusat perhatian.
Beberapa orang mengulum bibir menahan tawa, tetapi ada juga yang cuek tak memedulikan karena itu sering terjadi di warung itu. Kegaduhan dan galaknya pemilik kepada karyawan sudah terkenal, meskipun begitu, tak menyurutkan pelanggan untuk membeli.
"Iya, Bi. Ada pemandangan cakep, sayang disia-siakan," bantah Lyana mengusap telinganya yang terasa panas sampai memerah.
"Sudah, kamu masuk sana!" titah Tiara galak.
Sembari menggerutu, Lyana berjalan masuk ke balik etalase penyajian makanan. Tiara pun memerintah karyawan lain untuk melayani pria tampan berkacamata tadi. Senyum tersungging di bibir pria itu setiap memerhatikan Lyana yang mengerucutkan bibirnya di balik etalase. Tergambar dari raut wajahnya, gadis itu pasti sebal.
***
Hari-harinya tak sekali pun terlepas dari mengomel! Tiara yang memiliki badan gemuk, dandanan menor, dan suaminya bekerja jadi sopir bus antar kota, putri semata wayangnya kuliah di luar kota, mungkin merasa kesepian hanya saja dia meluapkan emosinya dengan mengomel.
Setiap malam setelah warung makannya tutup, Lyana membuang sampah.
"Pst! Hei!"
Setelah Lyana memasukan sampahnya ke tong, ada suara pria seperti memanggilnya. Dia menoleh mencari sumber suara. Mata Lyana mengernyit, dia melihat pria berdiri sendiri di bawah lampu jalan.
"Gue?" Lyana menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, lo. Memang ada orang lain selain kita?" ujar pria itu. "Sini!" Dia melambai supaya Lyana mendekatinya.
Mata Lyana melirik kanan dan kiri, keadaan sekitar sudah sepi karena area situ termasuk perkampungan. Meskipun ragu, tetapi Lyana sangat penasaran dengan pria yang memanggilnya itu. Dia seperti mengenali postur tubuh dan ciri-ciri orang itu. Badannya berisi, tinggi, dan berkacamata.
"Lo?" Setelah dekat, pandangan Lyana kepada orang itu semakin jelas.
"Iya, ini gue," jawab pria itu cengengesan.
"Ngapain di sini?" tanya Lyana mencurigainya.
"Gue sengaja nungguin lo."
"Hah! Nungguin gue?" Langsung Lyana besar kepala dan gede rasa. Hatinya berbunga-bunga, dia senang ada lelaki yang rela menunggunya hingga larut malam seperti itu.
"Mau apa nungguin gue? Bukannya lo itu cowok yang tadi sore makan di warung Bibi?" tanya Lyana memastikan, takutnya dia salah orang.
"Memang benar. Gue nungguin lo, ada yang mau gue obrolin sama."
Di bawah lampu jalan yang remang, Lyana mesam-mesem kesenengan.
"Mau ngobrol apa sampai dibelain nunggu begini?" tanya Lyana malu-malu.
"Kenalan dulu, tak kenal maka tak sayang." Pria tadi mengulurkan tangannya.
Sebelum menjabat tangan pria tadi, Lyana membersihkan tangannya, dia menggosokkan tangannya di celana.
"Edo."
"Lyana."
"Sebenarnya kita satu angkatan di kampus," ujar Edo setelah melepas jabatan mereka.
"Oh, iya? Kok gue enggak pernah lihat lo sih."
"Gue pemalu, enggak percaya diri."
"Kenapa? Lo lumayan ganteng kok. Ups!" Lyana langsung menutup mulutnya. "Maksud gue, lo enggak jelek-jelek amat, hehehehe."
"Iya, tapi gue minder."
"Oh, iya, tadi lo mau ngomong apa sama gue?" Karena takut dicari Tiara, Lyana pun kembali ke topik awal yang membuat Edo menunggunya sampai selarut itu.
"Lo kan, temen deketnya Gea ...."
"Iya, kenapa?"
"Gue sejak SMP naksir Gea, sampai ngikutin dia masuk ke kampus yang sama. Berharap dia bisa memandang keberadaan gue. Tapi, kenyataannya gue enggak pernah terlihat di matanya."
Mendengar cerita singkat Edo, Lyana menjadi iba. Apalagi saat bercerita, wajah Edo sedih dan menunduk.
"Oh, gitu? Terus gue bisa bantuin lo apa?"
"Gue pengin deket sama dia. Tolongin gue," pinta Edo mengiba kepada Lyana.
Sebelum menjawab, Lyana menarik napasnya panjang. Sedikit ada rasa kecewa. Dia pikir Edo bakalan pendekatan dengannya, ternyata Edo hanya ingin memperalat dirinya.
"Imbalannya apa buat gue?" Lyana tak ingin usahanya cuma-cuma.
Baginya, tenaga dan keringat yang keluar darinya harus terbayar. Bukan Lyana mata duitan, tetapi memang dia butuh uang untuk biaya hidup di Jakarta dan mengirim ke nenek dan adiknya di kampung. Lyana satu-satunya harapan mereka, dia tulang punggung keluarga.
Lyana bisa di Jakarta karena mendapatkan beasiswa atas prestasinya di SMA dulu. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, kuliah adalah jalan lain untuk mencapai cita-citanya yang ingin bekerja di kantoran.
"Mmm ... setiap hari lo boleh makan di kantin kampus maksimal 50 ribu, gue yang bayar. Gimana?"
Diam, Lyana memikirkan tawaran itu. Lumayan, setiap hari dia bisa hemat makan siang dan uang makan siangnya masih utuh bisa dia tabung untuk hal lain.
"Okay."
"Deal!" Edo mengulurkan tangannya.
"Deal!" Lyana menjabat, tanda kesepakatan.
***
Kursi ditarik, Lyana mendaratkan pantatnya di samping Gea. Di meja depan Lyana duduk, sudah tersaji semangkuk soto ayam dan es teh. Sedangkan di depan Gea ada mi ayam dan es jeruk. Lyana celingukan mencari seseorang, Gea bingung melihat wajah cemas Lyana, dia pun ikut celingukan.
"Ly, cari siapa sih dari tadi celingak-celinguk," tegur Gea.
"Nah, itu dia orangnya." Lyana menunjuk Edo yang baru masuk kantin.
Dari tempat Edo berdiri, dia melihat Lyana duduk bersebelahan dengan Gea. Melihat Gea dari jauh saja, jantung Edo berdetak cepat. Lututnya terasa lemas, sangat sulit melangkah. Karena terlalu lama, Lyana pun mendekati Edo dan menarik tangannya agar bergabung bersama mereka.
"Ha-ha-hai, Gea." Edo gelagapan menyapa Gea.
"Hai, Do." Sikap Gea biasa saja, karena bagi Gea, Edo tak spesial.
Namun, keadaan seperti ini bagi Edo sangatlah spesial. Bisa duduk satu meja dengan pujaan hati dan dekat dengannya.
"Do, lo mau pesan makan apa?" tanya Lyana menawari Edo sebelum memakan sotonya.
"Gampang, Ly. Nanti gue pesan sendiri," jawab Edo, padahal kakinya masih gemetar dan terasa lemas seperti tak mampu berjalan.
"Kalian kenal di mana?" tanya Gea melirik Edo dan Lyana bergantian. "Kan, kita beda jurusan sama Edo, Ly."
"Kemarin Edo makan di warung Bibi. Yaaaa ... gitu deh!"
"Hah! Seriusan? Edo ... makan di warung bibi lo?" Gea melirik Edo sekilas lalu menatap Lyana tak yakin.
"Iya. Emang kenapa?" Sambil mengunyah, Lyana bersikap cuek.
"Emggak sih, cuma yang gue tahu, Edo ini anak mami dan enggak suka makan di warung kecil begitu, Ly. Iya, kan, Do?" Gea menanti jawaban Edo.
Yang ditanya hanya menunduk tak berani menatap Gea. Lyana menghentikan makannya dan menunggu jawaban dari Edo.
"Ah, mungkin Edo sudah berubah, Ge. Soal begini saja dibahas. Tahun kapan lo tahu Edo begitu?" sahut Lyana menyelamatkan image Edo.
"Waktu SMP. Kami sejak SMP satu sekolahan, Ly. Iya, kan, Do?" Lagi-lagi Gea meminta persetujuan Edo.
"I-i-i-iya, Ly," jawab Edo gaguk.
"Sejak kapan lo gaguk, Do?" tanya Gea heran.
"Sejak hari ini karena mungkin ada lo, Ge. Hahahaha," sahut Lyana asal.
Plak!
Gea menampar lengan Lyana. "Dijaga mulutnya."
"Iya, entar gue cari satpam buat jaga mulut gue."
Malu-malu Edo menyembunyikan kikihan kecilnya. Gea dan Lyana saling memandang, lalu mereka terbahak lepas mendengar kikihan Edo yang lucu.
"Hahahaha, Edo, Edo, lo kalau mau ketawa jangan ditahan. Tertawa saja, jangan jaim. Malah kayak suara curut kejepit pintu kalau ketawa ditahan. Untung enggak kentut lo!" tukas Gea menampar lengan Edo.
Rasanya darah Edo berdesir dari ujung kepala sampai ujung kaki ketika tangan lembut Gea menyentuh kulitnya. Seluruh badan Edo merinding. Begitulah jika jatuh cinta diam-diam, hal sekecil apa pun yang dilakukan pujaan hati kepada kita, rasanya sangat spesial.
#######
Diketik : Rex Delmora
Alhamdulillah, akhirnya update chapter satu. Semoga kalian suka, ya?
Terima kasih untuk vote dan komentar. Tunggu update chapter dua, ya?
Banyuwangi, 6 Maret 2019
Pukul : 09.05 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top