Momen yang Dinanti

Al tak pernah melakukan ini sebelumnya. Berkutat di dapur, memegang panci, dan mengiris bumbu. Kalau tidak demi menuruti permintaan Lyana, siang ini Al lebih memilih menyelesaikan pekerjaan di kantor ketimbang membantunya masak.

"Ini apa lagi?" tanya Al selesai mengiris bawang merah dan bawang putih.

"Cabai rawit dipotongi juga," sahut Lyana yang sedang menggoreng ayam sambil masak sop.

"Berapa?"

"Lima aja."

Al menurut, setelah mencuci cabainya, dia potong-potong menyerong jadi tiga. Terlihat lucu memang, direktur utama sebuah perusahaan besar dan tampan membantu di dapur. Masih mengenakan kemeja biru awan, kancingnya dibuka dua memperlihatkan kaus dalamnya yang putih, bagian lengan disingsingkan, penampilannya terlalu rapi untuk memasak.

"Kerjaan lo di kantor udah selesai?" tanya Lyana setelah mengangkat ayam goreng yang sudah matang dan mematikan kompor karena supnya pun matang.

"Udah. Tapi nanti habis makan siang ada pertemuan sama klien di restoran Jepang."

"Sama Pak Sandi?" tanya Lyana mengambil bumbu yang sudah Al potongi. Kali ini Lyana membuat tumis tempe kecap, kesukaan Fahmi.

"Enggak. Sama sekretaris gue," jawab Al mencuci tangannya dengan sabun lalu mengelap dengan kain kering.

"Sekretaris lo cewek apa cowok?"

"Cowok. Kenapa?"

"Enggak apa-apa, cuma tanya."

"Tadinya sih pengin cari cewek yang seksi," ujar Al melirik Lyana, mau tahu reaksi pujaan hatinya itu.

"Kenapa enggak?"

"Takut khilaf."

"Heleh! Emang semua cowok dasarnya sama, mata keranjang!" ujar Lyana ketus sambil menumis bumbu.

Al terkikih, dia berdiri di samping Lyana dan berkata, "Bercanda. Gue sengaja cari cowok, biar bisa fokus kerja. Terus juga jaga-jaga, takut ada yang cemburu kalau gue punya sekretaris cewek, seksi lagi!"

Otomatis Lyana mesem dan gede rasa. Dia merasa Al melakukan itu untuknya. Namun, memang benar, Al lakukan itu untuk menjaga perasaan Lyana.

"Gue mau lihat pekerja di belakang dulu," ujar Al berjalan tegap, tetapi santai, ke belakang rumah.

Entahlah, Lyana merasa seperti terhipnotis setiap bicara dengan Al. Biarpun terkadang menyebalkan dan bikin Lyana marah, Al sebenarnya pria yang dewasa, berpikir rasional, dan penyayang.

Setelah semua masakan selesai, Lyana memasukannya ke rantang merah. Dia pergi ke kamar membersihkan diri.

Penampilan Lyana tak ada yang berubah, tetap menjadi wanita sederhana yang suka memakai jins dan kaus atau hem kotak-kotak yang kedodoran. Tanpa polesan make up, rambut hanya diikat biasa. Sangat simpel.

Kali ini Lyana sedikit rapi, memakai jins biru panjang, atasan kaus putih, rambut yang panjangnya kini melebihi bahu diikat satu.

"Al, ayo! Gue udah siap!" pekik Lyana menyampirkan tas cangklongnya ke bahu kanan.

"Iya!" sahut Al yang sedang mengawasi pekerja di samping rumah, melihat perkembangan pembuatan kolam ikan.

Dia masuk ke rumah, melihat Lyana berpenampilan sederhana seperti itu kadang menggugah hati Al ingin mengajak Lyana belanja dan menyesuaikan penampilannya seperti gadis seusia dia. Agar Lyana bisa memantaskan kostum dan tempat yang akan mereka kunjungi.

"Ly, mampir ke butik dulu, ya? Sekalian ke salon."

"Kenapa?"

"Enggak apa-apa."

"Enggak usah aneh-aneh. Ini udah jam sebelas. Bentar lagi jam makan siang. Lo juga nanti mau ada meeting, kan, habis makan siang. Jangan buang waktu buat hal enggak penting. Ayo!" Lyana menarik tangan Al. Dia sudah menjinjing rantang yang tadi sudah disiapkan.

"Eh, jas gue ketinggalan," pekik Al teringat jasnya ketika sampai di teras.

Dia kembali masuk ke rumah mengambil jasnya, sedangkan Lyana lebih dulu masuk ke mobil Al. Menunggu beberapa menit akhirnya Al masuk ke mobil sudah rapi dengan jas yang tidak dikancingkan, semi formal.

"Udah telepon Papi?" tanya Al sebelum menginjak gasnya.

"Udah, lo tenang aja. Ayo, ah! Keburu macet nanti." Lyana memasang sabuk pengamannya.

Mobil pun melaju keluar dari pelataran rumah itu. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, mereka sampai di depan gedung pencakar langit yang memiliki dua puluh lantai. Al menghentikan mobilnya di depan lobi, dua orang berseragam hitam mendekat lalu membukakan pintunya. Al dan Lyana turun, lantas mereka masuk ke kantor itu.

Agak jomplang penampilan mereka. Al yang tampan dengan setelan jas semi formal dan kacamata hitam keren, sedangkan Lyana hanya memakai kaus dan jins panjang sambil menjinjing rantang.

Kedatangan mereka disambut senyum ramah oleh Sandi yang sengaja menunggu. Saat Al berjalan mendampingi Lyana, hampir semua pasang mata menatapnya kagum, apalagi para perempuan, mereka tak berkedip memanfaatkan pandangan indah ciptaan Tuhan Itu.

"Papi lagi sibuk enggak, Pak Sandi?" tanya Al ketika mereka menunggu lift.

"Tadi habis meeting, tapi sekarang sudah di ruangannya. Biasa kalau sibuk mah, Tuan Muda juga tahu itu, kan? Bagaimana sibuknya jadi pimpinan," papar Sandi diangguki Al.

Selentingan sayup-sayup Al, Lyana, dan Sandi dengar. Dua wanita yang duduk di sofa dekat jendela kaca tebal sedang ngerumpi.

"Ih, cewek itu siapa sih? Kok bisa bareng sama Pak Al?" bisik perempuan memakai blus merah dan celana kain hitam, rambut pirang digerai dan ujungnya bergelombang.

"Enggak tahu. Pacarnya mungkin," sahut wanita lain memakai baju biru.

"Ih, masa sih selera Pak Al kampungan banget. Enggak mungkinlah! Pak Al keren begitu, pacarnya masa kuper kayak enggak terawat begitu sih?" sahut si wanita berbaju merah.

Lyana insecure, dia menunduk. Dalam hati membenarkan ucapan wanita-wanita itu. Dibandingkan dengan penampilan mereka, jauh. Al melirik Lyana yang berdiri di sebelahnya. Tiba-tiba Al mendekati dua wanita itu.

"Apa kalian digaji buat menggosip? Pekerjaan kalian bukan infotainment, juga bukan wartawan," sungut Al tegas hingga dua wanita itu menunduk menahan malu dan takut.

Lyana dan Sandi langsung mendekati Al. Lyana menitipkan rantangnya kepada Sandi, dia langsung menahan lengan Al. Semua orang di sekitar itu langsung menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arah mereka.

"Al, udah, jangan bikin keributan," ujar Lyana pelan, sekilas melirik dua wanita yang tak berani menegakkan kepalanya.

"Tahu enggak, tadi mereka ngehi---"

"Ssssst, sudah. Biarin aja. Mereka enggak tahu."

"Makanya itu mereka biar tahu siapa lo. Biar mereka enggak kebiasaan merendahkan orang lain."

"Al ..."

"Ly ...."

Tadinya Lyana ingin menyanggah ucapan Al, tetapi keburu Al memotong dan menatapnya lembut. Sorotan mata Al yang tajam, tetapi justru menghipnotis Lyana, hingga beberapa detik netra mereka saling menatap dan terkunci.

"Gue cuma enggak mau ada yang ngerendahin lo." Al menangkup pipi kiri Lyana dengan tangan kanannya. Lalu Al menoleh kedua wanita itu lagi dan berucap, "Jangan menilai seseorang dari luarnya. Kalau dia calon istri saya, memang kenapa? Masalah buat kalian? Apa penampilan itu nomor satu?" Al menggenggam tangan Lyana erat.

"Maaf, Pak Al, bukan maksud kami seperti itu," ujar wanita berbaju merah, masih tetap menunduk.

"Minta maaf sama dia," titah Al dengan tampang tegas.

"Mbak, kami minta maaf," ucap wanita berbaju biru mewakili.

"Iya," ujar Lyana, dia bingung harus berkata apa selain menyahut itu.

"Pak Sandi, turunkan SP tiga buat mereka. Biar menjadi pelajaran dan enggak kebiasaan merendahkan orang lain," titah Al mengambil rantang dari Sandi lalu menggandeng Lyana menuju lift.

Ketika lift sudah tertutup, Sandi menghela napas dan menggeleng ke arah dua wanita itu.

"Tahu enggak cewek tadi yang kalian hina?" tanya Sandi gantian menatap dua wanita yang masih menunduk di depannya.

"Maaf, Pak, kami enggak tahu," sahut wanita baju merah.

"Dia CEO di PT Hunian Sejahtera. Calon menantu Pak Fahmi," papar Sandi mengejutkan semua orang yang memerhatikan mereka. "Hanya karena penampilan dia sederhana, kalian bisa seperti itu, ya?"

"Maafkan kami, Pak Fahmi. Tapi serius, kami tidak bermaksud menghina," ujar si wanita berbaju merah, wajahnya sudah pucat, takut dipecat.

"Tunggu saja surat SP-nya di meja kalian." Setelah berucap Sandi pergi, tak menggubris kepanikan kedua wanita tadi.

Wajah Lyana masih tertekuk, sedih, senyum yang biasa mengembang sirna saat itu. Dia kepikiran ucapan dua wanita tadi. Sampai di depan ruang kerja Fahmi, Lyana masih saja menunduk.

"Kak Tiara, Papi ada?" tanya Al kepada wanita cantik, usia sekitar 30 tahun, berhijab, dan memakai kacamata yang duduk di belakang meja depan ruang CEO sekaligus pemilik perusahaan tersebut.

Tiara sudah lama menjadi sekretaris Fahmi. Sejak dia baru lulus kuliah sampai sekarang sudah punya suami dan anak. Al sering bertemu Tiara.

"Ada, Tuan Muda. Mari saya antar," sahut Tiara beranjak dari tempat duduknya lalu mengetukkan pintu. Tiara membuka pintunya sedikit setelah mendapat sahutan dari Fahmi. "Maaf, Pak, mengganggu. Di luar ada Tuan Muda Al."

Fahmi yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya langsung meletakkan pulpen dan wajahnya yang tadi tampak lesu berubah sumringah.

"Langsung suruh masuk saja, Tiara. Saya sudah menunggu sejak tadi."

Hati Al terenyuh mendengar suara kebahagiaan Fahmi. Ternyata kedatangannya sudah sangat dinantikan Fahmi. Padahal Al hanya ingin mengajaknya makan siang di kantor, itu bukan hal spesial, kan? Kenapa Fahmi sampai bahagia seperti itu?

Bibir Al tertarik seulas senyum tipis, dia baru sadar, dengan hal kecil yang sederhana ternyata bisa membuat orang lain bahagia. Mungkin bagi kita biasa, ternyata bagi orang lain itu luar biasa.

"Silakan masuk, Tuan Muda Al." Tiara membuka pintu ruangan Fahmi lebar.

Terpampang Fahmi yang sudah berdiri di depan pintu menyambut Al dan Lyana dengan senyum lebar. Namun, ada yang mengganggu pandangan Fahmi, dia mengerutkan dahi ketika melihat Lyana menunduk. Al mengikuti arah pandang Fahmi.

"Kenapa anak gadis Om kelihatannya sedih begitu? Apa Al menyakitimu, Nak?" tanya Fahmi mendekati Lyana lalu merangkulnya.

Lyana hanya menggeleng. Al menghela napas dalam.

"Itu tadi ada karyawan Papi gosipin dia," sahut Al berjalan cuek masuk ke ruangan Fahmi lalu meletakkan rantang di meja satu set dengan sofa yang biasa Fahmi gunakan menerima tamu di ruangannya.

"Gosipin apa?" tanya Fahmi mengajak Lyana masuk lalu mereka duduk di sofa itu.

Tiara masih satia berdiri di samping pintu yang sekarang terbuka lebar sambil memerhatikan mereka.

"Ngatain kalau penampilan Lyana kampungan," sahut Al melepas jasnya lalu disampirkan di sandaran sofa.

Al membongkar rantang itu, dia menurunkan satu per satu di meja.

"Sudah, enggak perlu sedih. Nanti Om tegur mereka, ya?" ujar Fahmi menenangkan perasaan Lyana.

"Udah aku suruh Pak Sandi SP tiga mereka, Pi. Biar attitude-nya dijaga. Malu kalau sampai mereka seperti itu di luar. Entar dikira kita memperkerjakan orang yang enggak punya attitude. Pinter kalau attitude enggak dijaga, sama aja bohong," ujar Al yang sebenarnya masih sedikit kesal mengingat ucapan mereka.

"Ya sudah, kita mending makan siang dulu. Kamu tadi yang masak?" tanya Fahmi berusaha mengalihkan kesedihan Lyana.

"Iya, Om. Dibantu Al," jawab Lyana berusaha tersenyum meski dalam hati masih ada perasaan mengganjal tentang ucapan wanita tadi.

"Wah, Al turun tangan? Enak enggak nih?" Fahmi menggoda Al, dia masih berusaha meluluhkan kerasnya hati sang putra.

"Enaklah! Yang masak ganteng, masa enggak enak sih,"

Tiara tersenyum manis, pemandangan itu baru pertama ini terjadi. Al duduk santai di ruangan itu bersama Fahmi, sekarang ditambah anggota baru, Lyana. Tidak ada suara tinggi yang biasa Al lontarkan kepada Fahmi setiap datang ke kantor itu. Tiara keluar dari ruangan lalu menutup pintunya.

Al lebih dulu mengambilkan nasi, lauk, dan sayur untuk Fahmi. Ini kali pertama Al melakukannya. Fahmi tertegun saat menerima piring pemberian Al.

"Buat Papi dulu, yang lebih tua," ujar Al menciptakan gelak tawa Fahmi.

"Biarpun Papi tua, semangat Papi masih seperti anak muda."

"Iya, tapi awas aja sampai puber kedua," sahut Al memasang wajah sok galak sambil melirik Fahmi.

"Yeeee, biarin dong. Om Fahmi berhak bahagia," sela Lyana tak setuju dengan pendapat Al.

"Kebahagian Om sudah di depan mata, Ly. Kamu di tengah-tengah kami dan Al duduk di sini, kita makan bersama. Ini sudah sangat cukup," sahut Fahmi menatap Al dan Lyana bergantian.

Hati Al tersentuh, dia tersenyum sangat manis kepada Fahmi, dibalas Fahmi dengan senyuman tak kalah manisnya.

"Aaah, Om, aku terharu," ucap Lyana lalu mendekati Fahmi dan memeluknya.

Fahmi meletakkan piringnya di meja, dia balas pelukan Lyana.

"Jadi, anak Papi sekarang ganti cewek?" ujar Al memasang wajah sok cemburu kepada Lyana.

"Iyalah! Siapa suruh enggak nganggap Om Fahmi papi. Jadi, gue sekarang anak Om Fahmi." Lyana sengaja memanasi Al dengan melendot di dada Fahmi, seperti anak gadis yang manja kepada ayahnya.

"Enak aja lo! Gue anak kandungnya." Al menarik Lyana agar menjauhi Fahmi.

"Ogah! Lo yang jauh-jauh sana!" Lyana berusaha menjauhkan Al darinya dah Fahmi.

"Ya dah kalau gitu." Al langsung memeluk mereka berdua, Lyana terhimpit di tengah, dia memekik.

Fahmi tertawa lepas, dia merasa seperti dejavu, diperebutkan Al dan Lyana. Dulu mereka masih kecil, sekarang sudah dewasa, hanya saja sikap mereka masih seperti anak kecil.

Tak perlu mengucap maaf, setiap orang tua sudah bisa memaafkan kesalahan anaknya. Memang terkadang sulit mengucap maaf, tetapi jika kita salah, sebaiknya harus diucapkan. Bukan begitu?

#####

Uwuuuuu, yeaaa! Bentar lagi ending dooooong. Enggak terasa, ya? Cerita ini penuh perjuangan, hahaha. Sempat kepending setahun loh.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top