Menyesal
Buru-buru Al berlari masuk ke terminal. Dia bertanya kepada salah satu petugas dishub, bus tujuan ke Solo. Sayang sekali, Al terlambat, bus itu sudah berangkat 30 menit yang lalu. Kesal dan sangat marah. Al berjalan gontai kembali ke parkiran, lantas dia masuk ke mobilnya. Al menumpahkan sesak di dadanya, menelungkupkan wajah di setir sambil menangis.
"Lo tega banget sih, Ly, ninggalin gue," ucap Al lirih di tengah isakkannya. "Gue puluhan tahun cari lo, setelah gue dapat, kenapa lo lupain gue? Sekarang lo ninggalin gue! Kenapa?" pekik Al kesal memukul setir mobilnya sambil menangis dan menahan geram.
Wajahnya basah, tak peduli dengan air mata yang tumpah membasahi pipinya, kenyataannya memang sekarang hatinya sangat sakit.
Bus antar kota itu melaju melewati tol, Lyana melihat ke luar jendela. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Haruskah dia melupakan perasaannya kepada Al?
"Lo lagi apa sekarang, Curut? Pasti udah pulang kerja, ya?" Lyana mengkhawatirkan keadaan Al saat dia tahu dirinya tak lagi di rumah itu. Bayangan Lyana, pasti Al ngamuk atau enggak menyalahkan Fahmi.
Tak terasa air matanya tumpah, cepet-cepat dia menyekanya. Lyana mengambil ponsel di tas cangklongnya. Dia melihat foto yang dijadikan wallpaper, fotonya bersama Al yang menggunakan faceapp kucing. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum tipis.
"Gue sayang sama lo, Curut. Lo jangan jadi orang nyebelin, biar gue tetep sayang lo."
Lyana menghela napas panjang untuk sedikit mengurangi sesak di dadanya. Dia lantas mengirim pesan kepada Sari, mengingatkan agar menyiapkan air hangat untuk Al mandi. Sejujurnya Lyana berat meninggalkan Al, tetapi keputusan sudah diambil. Risikonya dia harus menahan sakit hati.
Sampai di rumah, Al berjalan lemas menaiki tangga sambil melamun. Keadaannya tampak kacau, rambut acak-acakan, kancing hem terbuka setengah, wajahnya kusam, dan matanya sembap. Dia tak langsung masuk ke kamarnya, melainkan membuka pintu kamar yang Lyana tempati. Matanya menangkap kotak kaca transparan di nakas. Al melihat dua kura-kura kecil hijau. Dia mengambil salah satu dan diletakkan di telapak tangannya.
"Beruntungnya kalian masih bisa bersatu. Enggak seperti gue yang selalu dipisahkan oleh keadaan. Haruskah gue menyerah dengan keadaan ini?"
***
Di salah satu kafe ibu kota, Gea mengajak Edo makan siang sambil bercengkrama.
"Do, menurut lo, gue keterlaluan enggak sih sama Lyana?" tanya Gea setelah memikirkan ucapan Al waktu itu dan teman-temannya.
"Kalau menurut lo gimana?"
"Entahlah, gue bingung."
"Kok bingung?"
"Mungkin gue terlalu cemburu lihat dia bisa deket sama Al, padahal dia baru saja kenal, sedangkan gue udah lama naksir Al, boro-boro deket, dilirik aja udah seneng."
"Lo terlalu fokus sama perasaan lo sendiri, Ge. Sampai lo enggak memikirkan perasaan orang lain. Contohnya lo terlalu sibuk dengan obsesi pengin dapetin Al. Lo lupa ada perasaan sahabat yang selama ini sudah sangat baik sama lo," ujar Edo menatap Gea yang tampak sedang berpikir. Termasuk perasaan gue, Ge. Gue tahu rasanya di posisi lo. Memang sakit. Bedanya gue bisa mengontrol perasaan ini dan rela berkorban buat lo tanpa gue minta balasan.
"Gitu, ya, Do?"
"Iya. Menurut gue begitu."
"Percuma juga gue ngejar-ngejar Al, ternyata dia enggak pernah suka sama gue." Gea sebal sampai menusuk-nusukkan sedotan ke es kopinya.
Edo hanya terkikih melihat bibir manyun Gea. "Makanya jangan merindukan bulan. Yang pasti-pasti aja. Kayak gue." Dengan cepat Edo menutup mulutnya.
"Maksud lo?"
"Maksud gue itu, yang pasti selalu ada jadi teman lo saat suka maupun susah. Sahabat, kan, begitu," kata Edo mencari alasan. Hampir saja gue keceplosan, lanjutnya dalam hati.
"Iya jelas dong. Lo emang setia kawan, Do. Tahu kalau lo begini, sudah sejak SMA, ya, kita deket. Lo sih, cupu, enggak mau main."
"Bukan maksud enggak mau main, Ge. Cuma takut mereka enggak suka gue."
"Semua berawal dari pikiran. Makanya, mikir itu yang positif."
"Iya, iya, Bu Guru Gea."
Gea tertawa lepas, suasana hatinya yang kacau, ketika mendapat hiburan dari Edo, sedikit demi sedikit membaik. Terang-terangan mendapat penolakan dari Al beberapa hari kemarin membuat Gea sedih dan agak murung. Untung Edo selalu bisa mengalihkan pikirannya dengan mengajak nonton, jalan ke mal, dan melakukan aktivitas lainnya supaya Gea tidak terlalu memikirkan Al.
"BTW, kalau misalkan gue minta maaf sama Lyana, apa dia bakalan maafin gue, ya, Do?"
"Gue yakin, Lyana bukan orang pendendam. Pasti dia mau maafin lo."
"Hmmm ... tapi gue malu."
"Mau kenapa?"
"Gue udah ngatain dia enggak sopan."
"Makanya punya mulut itu dijaga, jangan lemes kayak admin Lambe Turah."
"Ya maaf, waktu itu gue kecewa banget sama dia. Tanpa cerita ke kita, tahu-tahu gue lihat di rumah Al, mesra lagi mereka!"
"Kita tahu, kan, Ge, kalau Lyana itu harus kerja keras buat mencukupi kebutuhan nenek sama adiknya di kampung. Untuk kedekatan dia sama Al, sebenarnya gue udah lama perhatiin gerak-gerik mereka. Ada something yang mereka sembunyikan dari publik."
"Iya, gue juga baru kepikiran kemarin waktu Pingkan ngomong."
"Nah, lo juga nyadar itu, kan? Coba diingat lagi, Al kayak nurut banget, kan, sama Lyana? Waktu gue dikerjain Noval, pas Lyana bela gue, Al cuma diem dan ngelepasin kita gitu aja. Kalau orang lain, pasti ikutan dikerjain."
"Iya, bener juga kata lo. Kalau Lyana enggak spesial mana mungkin Al diem gitu."
"Terus nih, waktu di kantin, gue makan sama Lyana, di depan mata gue nih, Al merebut mangkuk Lyana, tanpa jijik ngabisin mi beekas Lyana. Coba kalau bukan orang spesial, pasti jijik, kan, makan bekas orang lain? Terus Al ganti mi ayam bakso yang baru, kelihatan perhatian sama Lyana walaupun diam-diam. Diracikin saosnya, dibukain tutup botol minumannya. Itu hal sepele, tapi sangat spesial loh," papar Edo semakin membuka pikiran Gea.
"Aaaaa, Edo. Gue berarti bersalah banget sama Lyana," ujar Gea merengek seperti orang menangis sambil menjatuhkan keningnya di meja.
Dengan keberanian yang sudah dikumpulkan, Edo mengelus rambut Gea. "Udah, Ge. Entar gue antar ke tempat Lyana. Lo harus minta maaf karena sudah salah sama dia."
"Gue malu, Do. Enggak mungkin, kan, gue nemui Lyana di rumah Al. Kan Lyana di sana."
"Coba gue telepon dia, ya?"
Gea menegakkan kepalanya, menatap Edo iba lalu mengangguk lemas. Edo segera mengambil ponselnya yang diletakkan di meja. Dia mencari nomor Lyana dan meneleponnya. Telepon pertama tak ada jawaban. Edo mencoba lagi. Telepon kedua barulah mendapat jawaban.
"Halo, Do. Tumben lo telepon?"
"Enggak boleh?"
"Bolehlah! Tapi kalau Gea tahu, entar lo dimarahin loh."
"Enggak mungkinlah. Gea, kan, baik."
"Iya, sebenarnya baik. Cuma lagi ketutup cemburu buta aja. Eh, BTW ngapain lo telepon?"
"Gue mau ngajak lo main. Keluar yuk!"
"Yaaah, maaf, Do. Enggak bisa."
"Lo kerja, ya? Al enggak izinin lo keluar?"
"Bukan itu. Gue udah keluar dari rumah Al. Gue udah enggak kerja di sana lagi."
"Terus? Lo balik ke warung Bibi Tiara?"
"Hehehe, iya. Nanti habis liburan semester gue bantu-bantu di warung lagi."
"Terus ini lo di mana?"
"Di kampunglah!"
"Kampung lo di mana?"
"Salatiga. Tahu enggak?"
"Jawa?"
"Iya, Jawa Tengah. Yang punya tol viral itu loh."
"Waaah, seru nih! Mau dong main ke situ. Gue juga pengin lihat rest area yang katanya bagus itu."
"Ayooo, main sini. Rest areanya pas di atas kampung gue loh. Entar gue ajak keliling kampung deh."
"Bener, ya?"
"Iya."
"Oke, gue atur waktu dulu. Entar gue telepon lagi."
"Siap, Do. Eh, Do, titip salam, ya, buat Gea. Maaf dari gue."
Gea yang sedari tadi mendengar obrolan itu karena Edo sengaja mengeraskan volumenya, langsung meneteskan air mata. Hatinya seperti tersayat sembilu. Dia yang salah, dengan kerendahan hatinya, malah Lyana yang minta maaf. Gea menunduk terisak. Edo melirik Gea yang bahunya terguncang.
"Iya. Entar gue sampein. Tapi bener nih, ya, gue mau main ke rumah lo."
"Iya, Edo. Gue tunggu."
"Oke, entar gue telepon lagi."
"Sip!"
Panggilan pun dimatikan Lyana. Setelah meletakkan ponselnya, Edo lalu mengusap bahu Gea.
"Udah, Ge. Jangan nangis lagi. Entar dipikir gue nyakitin lo."
"Do, gue merasa bersalah banget sama Lyana. Ternyata hatinya baik banget. Gue yang salah kok dia yang minta maaf."
"Udah, udah." Edo memberikan tisu kepada Gea.
"Makasih," ucap Gea menyeka air matanya.
***
Dua hari setelah kepergian Lyana, sengaja Al menyibukkan diri sampai menginap di kantor. Itu Al lakukan demi Lyana. Dia ingin suatu hari saat perusahaan dikembalikan ke tangan Lyana, sudah memiliki banyak aset dan mitra. Sore itu Sandi datang ke kantor membawakan pakaian ganti untuknya.
"Tuan Muda, tadi Pak Fahmi berpesan, kalau ada waktu senggang, Tuan Muda diminta pulang. Ada hal penting yang ingin disampaikan," ucap Sandi setelah meletakan tas berisi baju Al di sofa. Dia berdiri di samping meja kerja Al.
"Hal penting apa?" tanya Al datar tanpa menoleh Sandi, dia sambil membolak-balik kertas, mengecek pekerjaannya.
"Soal Lyana."
"Ada apa sama Lyana?" Kali ini Al menatap Sandi, dia mendongak dan meletakkan kertas itu di meja.
"Beliau mau mencari Lyana ke kampung bersama Nyonya Tiara. Apakah Tuan Muda mau ikut?"
Sejenak Al berpikir, dia menimbang-nimbang keputusannya.
"Enggak. Saya masih banyak kerjaan. Kalian saja yang pergi." Al kembali mengangkat kertas berisi kesepakatan kerja sama dengan salah satu perusahaan.
"Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Muda."
"Ya," sahut Al datar tanpa menatap kepergian Sandi.
Selepas kepergian Sandi, ruangan menjadi sunyi. Al menghela napas panjang. Dia menelepon Noval, memintanya bertemu di kelab nanti malam.
Selesai membersihkan diri, Al yang mengenakan kaus hitam, celana jins biru tua, dan jaket jins biru cerah keluar dari kantor menuju ke kelab yang sudah dijanjikan dengan Noval. Di ruangan yang hiruk pikuk dengan musik DJ yang memekakkan telinga Al membelah kerumunan orang yang sedang asyik berjoget di lantai dansa. Al menghampiri Noval yang sudah menunggunya di tempat biasa bersama Andika dan Bastian.
"Hei, Bos," sapa Noval langsung memberikan satu sloki vodka kepada Al.
"Thanks," ucap Al langsung menenggak habis. Dia duduk di sebelah Noval.
"Lo kenapa sih, Bos, perasaan, gue perhatiin murung mulu dua hari ini," tanya Bastian.
"Lyana pergi," jawab Al datar lalu menarik napas panjang, dadanya terasa sesak.
"Maksud lo pergi gimana?" sahut Noval mengerutkan dahi.
"Dia keluar dari rumah enggak ngomong sama gue, tahu-tahu udah keluar kerja dan pulang kampung."
"Sabar, Bos. Beri dia waktu. Entar kalau udah habis liburan, paling juga balik. Minimal dia enggak keluar dari kampus. Jadi, masih ada kemungkinan bertemu," ujar Bastian diangguki Noval dan Andika.
"Iya, tapi pasti keadaannya berubah." Al menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata dan mengusap wajah. Dia tampak lelah dan banyak pikiran.
Noval, Andika, dan Bastian saling pandang, baru kali ini mereka melihat Al dibikin pusing karena wanita.
"Bos, kenapa kita enggak cari dia ke kampungnya?" usul Andika yang tak tega melihat Al tampak stres.
"Enggak perlu, gue yakin dia akan kembali walaupun dengan sikap beda. Itu tantangan buat gue untuk meluluhkan hatinya," ujar Al menegakkan tubuhnya lalu menuang vodka ke sloki dan menenggak sekali habis.
"Kami siap membantu apa pun kalau lo butuh bantuan, Bos," ucap Noval menepuk punggungg Al, memberi support.
"Thanks, guys," ucap Al tersenyum tipis sambil menyapu wajah teman-temannya.
Malam ini mereka habiskan waktu dengan mengobrol sambil minum, menghibur Al yang sedang galau.
#####
Maafin aku, ya, baru sempat update. Kemarin aku sibuk banget. Masihkah ada yang menunggu? BTW, aku nulis bareng sama member Korex loh. Cerita remaja, judulnya BIMBEL WITH KETOS. Yang mau mampir ke cerita itu silakan, langsung saja ke WP Korex.
Terima kasih atas vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top