Menjajah Edo
Satu minggu kepulangan Lyana dari rumah sakit, Al berusaha tidak banyak merepotkannya. Pagi ini dia bangun lebih awal, yang biasanya tidak olahraga sekarang olahraga demi menjaga ketahanan tubuhnya supaya stamina tetap terjaga. Apalagi dia sekarang disibukkan kuliah dan mengurus bisnis.
"Ke mana tuh orang?" gumam Lyana tak mendapati Al di kamarnya.
Selesai masak untuk Al, dia berniat membangunkannya. Namun, kamar sudah kosong.
"Eham!"
Lyana menoleh ke pintu, Al berdiri di di sana. Wajahnya berkeringat, rambutnya pun basah.
"Gue sebel lihat rambut pirang lo," ujar Lyana sambil merapikan tempat tidur Al.
"Kenapa? Bukannya keren?" Al masuk, melepas singlet-nya yang bahas dan mengambil minum yang selalu Lyana siapkan di nakas.
"Keren apanya? Kayak bule gagal gitu kok keren!" gumam Lyana pelan, terapi masih terdengar oleh Al.
"Ya, nanti gue ke salon. Gue warnai hitam lagi. Puas lo!"
Selesai membereskan tempat tidur, Lyana masuk ke kamar mandi menyiapkan keperluan Al. Dari sabun sampai handuk.
"Mau berendam enggak?" pekik Lyana dari kamar mandi.
"Enggak!" sahut Al singkat yang sedang istirahat.
Dia duduk di sofa single, di bawah AC. Al mengeringkan keringatnya dulu sebelum mandi. Lyana tampak sibuk di depan lemari, memilihkan baju ganti untuk Al.
"Mau ke kantor atau ngampus dulu?" tanya Lyana sambil menarik kaus dalam dan boxer Al. Sudah biasa baginya.
"Ngampus dulu, baru nanti ke kantor."
"Oke."
Lyana menyiapkan baju ganti Al untuk ke kampus. Tak lupa dia juga menyiapkan setelah jas untuk Al ke kantor. Penampilan Al tergantung selera Lyana. Sejauh ini masih aman, selera mereka sama. Al nyaman dengan semua yang Lyana pilihkan.
"Kita berangkat ke kampus bareng, ya?"
"Lo dulu aja deh."
"Kenapa?"
Lyana ingin menjaga perasaan Gea. Bagaimana kalau sahabatnya itu tahu dia menjadi asisten pribadi Al. Kemungkinan ada dua hal, dia marah atau justru akan memanfaatkannya.
"Gue mau mampir ke rumah Bibi," ujar Lyana berbohong.
"Lo naik apa ke kampus?"
"Sepedalah!"
"Emang lo ke sini bawa sepeda?"
"Pinjem punya Ibu Sari yang biasa dia pakai buat ke pasar."
"Besok kalau gue libur, kita latihan nyetir mobil."
"Hah! Buat apa?"
"Biar lo bisa antar jemput gue."
Setelah berucap, Al masuk ke kamar mandi. Lyana membawa setelah baju kantor Al ke bawah. Dia meminta tolong Pak Sandi untuk memasukan ke mobil Al. Jadi, tanpa Al mondar-mandir, dia pulang dari kampus bisa langsung ke kantor.
***
Di kampus Lyana bersikap seperti biasa kepada Al agar Gea tidak mencurigainya. Lyana takut Gea marah kalau sampai dia tahu Lyana bekerja di rumah Al. Mereka berjalan beriringan di halaman kampus, ingin masuk ke kelas.
"Cing!" panggil Al saat mereka berpapasan di lobi kampus.
"Apa?" sungut Lyana sok dibuat galak.
"Gue ada tugas dari dosen. Nanti lo bantuin gue ngerjain. Oke?" Al memberikan tumpukan buku kepada Lyana.
Lantas Al pun berlalu, Lyana masih mematung memegang buku itu. Seenaknya sendiri, batin Lyana kesal.
Gea yang sedari tadi terpaku dengan ketampanan Al, sibuk memerhatikannya. Walupun sudah jauh, Gea masih terus melihatnya.
"Heh, mata lo lama-lama copot," tegur Lyana mengarahkan wajah Gea ke depan.
"Sumpah, makin hari kok tambah ganteng sih. Apalagi sekarang rambutnya udah diwarnai hitam lagi. Potongan dirapikan. Ya Allah, makin halu pengin jadi istri dia."
"Mimpi teroooooos sampai sukses!" pekik Lyana lalu berjalan meninggalkan Gea yang masih terus memerhatikan Al. Padahal tubuh Al sudah jauh.
"Ly! Tungguin!" pekik Gea mengejar Lyana. Setelah menyamakan langkahnya dengan Lyana, Gea bertanya, "Eh, sejak kapan lo diminta Al bantuin ngerjain tugasnya?"
Lyana membulatkan mata, dia berpikir, mencari alasan.
"Udah deh, yang penting gue dapat tambahan uang jajan."
"Ih, lo mah! Temen sendiri, satu kelas, satu jurusan, enggak pernah mau bantu. Ini beda jurusan malah dibantu."
"Lo mau ngasih gue duit berapa kalau gue siap bantu lo?"
"Gratis dong! Kan kita temen baik," ujar Gea merangkul Lyana sambil cengengesan.
"Idih, beginilah calon pembisnis yang lemah. Dua hal yang bikin bisnis kita rugi, harga teman dan harga keluarga!"
Gea tertawa terbahak. "Bener juga, ya? Kalau udah bilang harga teman dan harga keluarga, kita suka enggak enak, ya?"
Ketika mereka bercanda di koridor, Edo berjalan ke arah mereka sambil membawa dua cup kopi yang baru saja dia beli di kantin.
"Hai," sapa Lyana lebih dulu.
Bukannya menyahut Lyana, justru Edo lebih dulu melempar senyum kepada Gea. Lyana memahami, wajar jika Edo seperti itu karena di mata Edo Gea lebih menarik ketimbang dirinya.
"Do, kopi buat siapa?" tanya Lyana.
"Eh, iya, sampai lupa. Sebentar, gue mau antar kopi ini dulu."
Lyana mengerutkan dahi, Edo bukannya menjawab pertanyaannya malah pergi.
"Kenapa sih tuh anak? Aneh!" gumam Lyana.
Gea mengedikkan bahu, lantas mereka kembali berjalan ke kelas.
***
Saat istirahat, Gea dan Lyana ke kantin. Di sana sangat ramai. Segerombol orang di tengah kantin sedang menertawakan sesuatu. Didorong rasa penasaran, Lyana dan Gea memecah kerumunan itu.
"Edo!" pekik Lyana melotot.
Semua diam, termasuk Al dan gengnya yang tadi terkekeh seneng melihat Edo kesulitan makan bakso. Noval berdiri menghadapi Lyana.
"Lo selalu aja ganggu kesenangan kami," ujar Noval tak terima, seperti ingin menantang Lyana.
"Lo tuh yang selalu ganggu ketenangan orang yang enggak punya urusan sama lo!" tandas Lyana lalu menarik Edo supaya berdiri dari tempat duduknya.
Al anteng di tempat duduknya, memerhatikan gadis yang diam-diam sudah mencuri perhatian bahkan separuh hatinya sejak mereka kecil. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika melihat Lyana sok menjadi jagoan.
"Lo juga ngapain sih manut aja disuruh-suruh mereka!" omel Lyana membersihkan mulut Edo yang kotor kuah bakso. Gea membantu melepas tali di tangan Edo yang terikat ke belakang. "Jadi cowok cemen bener sih, Do!" tambah Lyana seperti emak mengomeli anaknya.
Lalu Lyana berjalan ke depan Al yang duduk santai.
"Heh, Curut, gue tahu lo orang kaya! Berduit! Bokap lo dunatur terbesar di kampus ini. Semua orang sini tahu itu! Bukan berarti lo bisa seenaknya sendiri!" tukas Lyana bersungut-sungut, diucap sekali tarikan napas.
"Loh, dari tadi gue diam. Enggak ngapa-ngapain. Kenapa gue yang disalahin?" ucap Al tetap bersikap santai.
"Jangan asal nyalahin orang lo! Sok jagoan banget sih! Gue yang nyuruh dia. Kenapa? Lo enggak terima?" sahut Noval dengan gaya sok-sokan.
"Dasar, anak buah Curut, enggak punya otak lo!" Lyana menyiram air putih ke wajah Noval.
Ketika Noval ingin menyakiti Lyana, dengan cepat Al menahannya. Dia tak mau ada seorang pun menyakiti gadis kecilnya itu.
"Udah, biarin mereka pergi," ujar Al tak ingin terlihat membela Lyana.
"Tapi, Bos ...." Noval ingin membantah, tetapi Al menepuk pundaknya.
"Dasar, Curut gila!" umpat Lyana langsung menarik Edo keluar dari gerombolan itu.
Gea masih mematung di sana, sedari tadi dia sibuk memerhatikan Al.
"Woi! Gea!" pekik Lyana keras.
Segera Gea tersadar lalu berlari cepat mengikuti Lyana yang menarik Edo. Sepanjang jalan Edo diceramahi Lyana. Dia pasrah, mendengar omelan Lyana.
"Lain kali kalau dia nyuruh lo aneh-aneh lagi, jangan mau!"
"Tapi kalau dia ngunci gue di kamar mandi lagi gimana?"
"Edo, lo itu cowok! Harus tegas dan berani dong. Jangan mau ditindas!"
"Iya, iya," jawab Edo pasrah, walaupun dia tak punya nyali melawan mereka.
Mana berani Edo? Tadi pagi disuruh Noval beli dua cup kopi di kantin saja dia tak berani nolak. Dasar Edo anak mami!
#####
Haloooo, apakah ada yang masih menunggu cerita ini? Mana suaranyaaaa?
Maaf, ya, cerita ini pending setahun. Insyaallah habis ini kita ngebut. Oke? Makasih buat yang sudah setia menunggu cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top