Lyana Patner Hidup Terbaik

Hari ini Lyana kuliah masuk siang, dia sengaja bermalas-malasan, ingin sedikit memanjakan tubuhnya. Namun, telepon Al mengganggu.

"Buka pintunya," ujar Al terdengar tak sabar.

"Iiih, entar agak siang aja lo balik lagi. Ini masih jam enam, Curut. Mau ngapain sih?" sungut Lyana yang masih bergumul dengan bad cover putih.

"Gue mau sarapan."

"Ck, di luar banyak yang jual makan. Bubur ayam udah ada di deket taman kota. Beli sana aja. Gue lagi mager."

"Ayo dong, Cing, jangan males. Bangun! Sekalian bikinin gue jus buah."

"Ih! Nyebelin!" sungut Lyana memutus teleponnya.

Terpaksa dia beranjak dari tempat ternyamannya. Sambil bersungut-sungut Lyana menuruni tangga. Dengan wajah sebal dia membuka pintu. Al berdiri mengenakan celana training dan singlet hitam.

"Dari mana lo?"

"Joging dong. Emang lo! Pemalas," sahut Al lalu melewati Lyana, masuk, seperti itu rumahnya sendiri.

Lyana melihat di pelataran. Bukannya itu mobil yang kemarin dia beli? batin Lyana meperhatikan sedan merah yang masih mulus dan mengkilap parkir di depan terasnya.

"Cing, buatin jus jambu!" pekik Al dari samping rumah.

"Ya!" sahut Lyana menutup pintu lantas ke dapur membuatkan jus Al.

Setelah jus jadi, Lyana bawa ke tempat Al berdiri sedari tadi. Dia sedang melihat-lihat keadaan samping rumah yang masih penuh rumput dan kerikil tak beraturan.

"Cing, kalau sini dibikin kolam ikan bagus. Daripada kosong, entar ditumbuhi tanaman liar malah buat sarang nyamuk."

"Terserah lo! Mau kolam ikan kek, kolam curut kek, kolam kodok kek. Gue mau tidur lagi." Lyana membalikkan badan.

Sebelum Lyana pergi Al dengan cepat menahan pergelangan tangannya.

"Kita cari sarapan, jangan tidur lagi. Enggak bagus cewek males-malesan, entar kebiasaan malah repot kalau udah punya anak."

"Ih, sejak kapan sih lo ngurusi hidup gue?"

"Sejak hari ini dan untuk selamanya. Buruan ganti baju tidur lo."

"Gini aja! Gonta-ganti malas nyuci."

"Jangan dong. Mulai sekarang lo harus membiasakan diri berpenampilan rapi. Harga diri orang dilihat dari penampilan dulu. Biarpun simpel, tapi rapi, kan enak dilihat."

"Banyak aturan lo, ah!" Biarpun kesal Lyana tetap mengikuti perintah Al.

Dia ke kamar mencuci muka, gosok gigi, dan mengganti baju tidurnya dengan kaus putih lengan pendek dan celana jins biru sebatas lutut. Lyana juga menyisir rambut dan mengikat satu ke atas. Setelah mengambil dompet dan ponsel, dia turun menghampiri Al yang masih di samping rumah.

"Ayo!" pekik Lyana berdiri di ruang tengah.

Al masuk membawa gelas gosong bekas jusnya, dia letakkan di meja kaca yang ada di ruang tengah itu.

"Gue udah telepon arsitek yang kerja di kantor. Entar siang mau lihat-lihat rumah ini. Gue mau bikin kolam ikan di samping rumah sama bikin taman gitu, biar terlihat asri. Belakang itu kan, masih ada lahan, bikin kolam renang sekalian gazebo buat nyantai, terus mau gue tambahi teras dikit, kalau ada acara kayak barbeque-an bisa di belakang."

Mulut Lyana sedikit menganga. Dia tak habis pikir, Al ternyata bisa menata ruangan. Bahkan Lyana tak memiliki ide sejauh itu. Sejak dia masuk rumah itu, entahlah, dia masih berpikir sekadar menempati, belum ada rencana membuat huniannya bagus dan nyaman.

"Heh! Malah bengong!" Al meraup wajah Lyana, tersadarlah gadis itu dari kekagumannya kepada Al. "Ayo, kita jalan." Al menarik tangan Lyana keluar dari rumah.

Sampai di samping mobil Al memberikan kuncinya kepada Lyana.

"Lo yang nyetir." Al tak peduli saat Lyana ingin protes, dia langsung masuk ke jok samping kemudi. "Ayo, Cing, gue udah laper," seru Al sudah duduk nyaman.

Lyana mendengus kesal, terpaksa dia yang menyetir. Ini kali pertama dia akan menyetir ke jalan ramai setelah dilatih Al waktu itu.

"Gue takut, ini mobil baru, kalau lecet gimana?" ujar Lyana ragu saat ingin menjalankan mobilnya.

"Udah deh, yakin aja. Kalau sampe nabrak atau nyerempet, gue suruh lo ganti."

"Hah! Enggak ah, lo aja yang nyetir." Lyana ingin turun, tetapi Al menahan tangannya.

"Gue pasrah, kalau sampe kita kecelakaan dan gue yang mati duluan, seenggaknya gue lega karena udah ketemu lo."

"Amit-amit, mulut lo kalau ngomong enggak punya aturan."

Al terkikih lalu mengacak rambut Lyana.

Ya Allah, rambut gue yang diacak, kenapa hati gue yang berantakan, pekik Lyana dalam hati, jantungnya berdebar kencang. "Berantakan tahu rambut gue," sungut Lyana kesal karena ikatannya mengendur. Dia membenarkan ikatannya.

"Ya maaf. Ayo jalan!"

"Iya, sabar napa!" Lyana menyalakan mesinnya. "Bismillah." Dia pun menginjak gas dan melepas rem pelan. Mobil pun jalan.

"Lo mau makan apa?" tanya Al sambil memperhatikan jalan.

"Terserah."

"Ck, jangan jadi cewek nyebelin! Jawab yang bener. Kalau ditanya harus punya jawaban tegas gitu loh. Jangan terserah, entar kalau beneran terserah enggak cocok ngedumel."

"Ya dah, gue lagi pengin soto. Lo gimana?"

"Nah, gitu dong. Cari soto, kita sarapan soto."

Ini cara Al mendidik Lyana, menanamkan jiwa kepemimpinan agar nanti dia bisa menjalankan bisnisnya walau tanpa Al.

Sampai di rumah makan yang menjual soto mereka duduk di dekat pintu. Aroma rempah-remah khas soto menyeruak. Sedap! Membuat perut semakin bergejolak ingin segera diisi. Dua soto ayam diantar ke meja mereka, selang beberapa detik dua teh tawar hangat datang. Lyana menambahkan perasan jeruk nipis dan kecap.

"Udah!" tegur Al saat Lyana ingin menambahkan sambal sendok ketiga pada mangkuknya. "Udah dua sendok mau ditambah lagi. Masih pagi, belum makan apa-apa. Kasihan perutnya."

"Makan kalau enggak pedes ada yang kurang rasanya." Lyana tetap menuang sambal sendok ketiga pada mangkuknya.

"Bandel banget sih kalau dibilangin." Al mengambil sambal itu dari tangan Lyana lalu menyingkirkan agak jauh. "Sebelum mencintai orang lain, cintai dulu diri sendiri. Dengan menjaga apa pun yang kita punya. Kalau lo sakit, gimana bisa lo jaga orang lain."

Terdiam, Lyana tertegun mendengar nasihat Al. Ternyata biarpun lo nyebelin, aslinya lo dewasa juga, Al. Perhatian, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi kenapa sikap manis lo enggak bisa ditunjukan ke papi lo sih, Al. Andai saja lo mau membuka hati sedikit buat Om Fahmi. Pasti hubungan kalian harmonis.

"Curut, boleh gue tanya sesuatu?" tanya Lyana hati-hati sedikit melirik Al yang serius menikmati setiap suapan sotonya.

"Tanya apa?" Al mendongak, menatap Lyana sambil mengunyah.

"Apa dulu lo nyebelin kayak sekarang? Terus gue selalu nurut sama perintah lo?"

"Perasaan lo dulu nyaman-nyaman aja main sama gue. Enggak pernah protes kalau gue ajak main ke mana pun. Biarpun gue ajak lo main layangan di sawah, mau-mau aja. Gue suruh jagain sandal sama kaus di pinggir lapangan pas gue main bola, lo juga mau. Dulu lo itu cengeng. Diejek teman-teman nangis, kena bola nangis, jatuh dari sepeda nangis, enggak dibolehin jajan nangis. Pokoknya lo dulu itu cengeng, makanya gue selalu jagain lo."

Lyana tersenyum tipis. "Masa sih gue dulu gitu? Lo ngarang kali!"

"Tanya aja ke Papi kalau enggak percaya. Setiap main ke rumah, paling suka dibikinin Mami bolu cokelat. Pernah lo ngabisin setengah loyang sendiri."

"Hah! Sumpah? Demi apa?" Mata Lyana membulat.

"Serius! Makanya, Mami itu paling suka bikin bolu cokelat. Pasti kalau pas bikin, dia selalu ngirim satu loyang ke rumah lo. Lo manja banget dulu. Sama Mami udah kayak anak perempuannya, gue aja dulu sampai cemburu sama lo. Rambut lo diikat Mami, kalau gue dibeliin baju, Mami enggak pernah lupa beliin lo juga."

"Waaaah, serius? Terus gimana orang tua gue ke lo?"

"Sama. Kalau Tante Saskia lagi masak kesukaan gue, dia ngirim ke rumah. Dia juga sering beliin gue baju kalau pas mereka beliin lo. Gitu deh! Malah temen cowok yang boleh main sama lo cuma gue. Soalnya yang lain suka jahil dan nakal. Lo suka disuruh-suruh. Beli jajan, suruh ngambil bola, kalau lo cape pasti demam."

"Sekarang mah udah kebal! Gue cape biasa aja. Gue juga udah enggak cengeng kok."

"Kenapa bisa berubah begitu?"

"Enggak tahu! Gue cuma mikir pengin cukupi kebutuhan Radit sama Mbah. Jadi gue tanemin dalam diri gue, kalau gue enggak boleh lemah dan gue harus terus berusaha."

Dua sudut bibir Al tertarik lebar. Dia menatap Lyana kagum.

"Ly," seru Al lirik.

"Hmmm, apa?" Lyana mendongakkan kepalanya.

"Nikah sama gue mau enggak?"

Mata Lyana melebar, untung dia sedang tidak mengunyah, mungkin dia tersedak jika saat itu sedang mengunyah.

"Lo apa-apa sih!" Lyana salah tingkah, dia menghindari tatapan Al yang penuh harapan dengan minum teh tawarnya.

"Gue serius."

"Enggak ah! Gue belum kenal lo lama. Gue juga enggak tahu sifat asli lo gimana."

"Emang pas lo jadi asisten pribadi gue enggak cukup buat lo ngenal pribadi gue, Ly?"

"Belum."

"Tapi kita udah kenal lama loh."

"Iya, tapi gue lupa masa lalu kita. Keadaannya beda. Dulu kita masih kecil. Banyak hal yang sudah berubah. Begitupun sifat kita."

"Tapi gue cuma pengin nikahnya sama lo."

"Kenapa?"

"Gue enggak punya alasan khusus buat itu karena ...." Al menghentikan ucapannya.

Apa ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya? Memang waktu Al pernah bilang sayang sama Lyana, tetapi dalam keadaan mereka debat. Kalau sekarang kan, keadaannya sedang santai, obrolannya juga lebih serius.

"Karena apa?" Lyana mengerutkan dahi, dia masih menunggu Al melanjutkan ucapannya.

"Apa cinta butuh alasan? Enggak ada alasan mendasar soal itu. Kalau orang bisa memberi alasan soal cinta, berarti itu bukan perasaan tulus, tapi nafsu yang hanya mengincar sesuatu."

"Contohnya?" tanya Lyana di sela obrolan sambil menyantap sotonya.

"Ada cerita. Pemuda datang ke rumah pacarnya. Bapak sih cewek tanya, 'Apa kamu benar mencintai putriku?' karena tidak mau mengecewakan bapak ceweknya, pemuda ini menjawab, 'Iya, Pak. Tentu saja.' terus bapak si cewek tanya lagi, 'Kenapa kamu mencintai putriku?' si pemuda menjawab, ' Karena putri bapak cantik, baik, sabar menghadapi kebandelan saya, mau berusaha sama saya dari nol, terus dia juga memahami saya.' tapi bapak itu langsung menolak pemuda itu untuk jadi menantunya."

"Kenapa begitu?" Lyana memiringkan kepalanya, memperhatikan Al.

"Si bapak tadi merasa kalau pemuda itu mencintai putrinya karena hanya menguntungkan pihak si cowoknya. Kan sikap seseorang bisa berubah kapan pun menyesuaikan keadaan. Mungkin pas pacaran si cewek perhatian, nanti kalau sudah menikah dan punya anak, pasti perhatiannya berkurang. Terus apa masih mau si cowok sama si cewek ini?"

"Oh, iya juga. Bener!" Lyana menggut-manggut.

"Makanya itu, gue enggak punya alasan dasar atas cinta yang gue rasain sama lo. Bertahun-tahun lo hilang, gue tetep enggak bisa lupain lo. Walaupun waktu itu kita masih kecil, tapi gue yakin lo bakalan jadi patner hidup terbaik gue."

"Kenapa lo milih gue? Padahal lo bisa dapat yang lebih cantik dan lebih kaya daripada gue."

"Kalau cantik dan kaya enggak bisa bikin gue happy, buat apa? Hidup cuma sekali, yang kita cari sekarang bahagia, kan?"

"Iya sih."

"Nah, yang bikin gue bahagia cuma lo."

"Kenapa gue? Bukannya lo sebel sama gue?"

"Kata siapa? Lo kali yang sebel deket gue. Kalau gue mah enjoy aja."

"Kasih gue satu alasan kenapa lo pilih gue."

"Lo patner terbaik gue."

"Cuma itu?"

"Ya! Patner apa pun! Patner berantem, patner debat, patner bermain, patner eyel-eyelan, patner belanjar, pokoknya lo patner hidup gue yang paling asyik."

Hati Lyana menghangat. Apa ini serius? Ini seperti mimpi bagi Lyana. Al yang sepertinya tak bisa dia miliki, justru sekarang Al yang ingin memilikinya.

"Mau nikah sama gue?" Al mengulangi permintaannya lagi. Kali ini lebih serius.

#####

Ya, aku mau, Al! Aku mau! Mau banget!

Itu kalau aku yang ditanya, hehehe

Makasih vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top