Lamaran Unik
Sebagai pemilik PT Hunian Sejahtera, Fahmi mendadak mengumpulkan jajaran redaksi termasuk direkturnya, yaitu Al. Mereka tidak tahu ada masalah apa sehingga mendadak dikumpulkan siang itu di ruang meeting. Sandi masuk ke ruang sendiri, dia langsung duduk di sebelah Al.
"Pak Sandi, ada apa ini? Kenapa kita dikumpulkan?" tanya Al sedikit kesal karena Fahmi menggangu pekerjaannya.
Kalau di kantor profesional, biarpun Al anak pemilik perusahaan, dia tetaplah karyawan yang harus patuh kepada pemilik.
"Nanti juga Tuan Muda tahu. Sebentar lagi Pak Fahmi sampai. Tadi sudah di lobi."
"Ck! Paling males kalau main rahasia-rahasiaan begini," ujar Al mendengus, tetapi Sandi hanya menanggapi dengan senyuman kecil.
Pintu ruang itu terbuka. Semua menoleh, termasuk Al. Fahmi masuk, disusul wanita cantik yang bergaya kantoran; mengenakan celana kain hitam panjang, baju berkerah biru yang ditutup blazer hitam, rambut lurus di bawah bahu tergerai, dan make up elegan. Mata Al melebar, dia langsung menegakkan tubuhnya. Wanita itu mengikuti Fahmi, berdiri di depan, tempat biasa untuk presentasi.
"Selamat siang," sapa Fahmi tersenyum ramah, tetapi tidak mengurangi ketegasannya.
"Siang, Pak," sahut semua, kecuali Al. Dia masih sibuk mengagumi wanita yang sekarang berdiri di sebelah kanan papanya.
"Eham!" Fahmi berdeham menyadarkan Al. Pria itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah Sandi. "Saya minta maaf sudah mengganggu kesibukan kalian. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Tuan Muda Al, bisa berdiri di sebelah saya?" pinta Fahmi menatap Al tegas.
Tanpa membantah Al langsung beranjak, sambil mengancingkan blazer-nya dia berjalan lalu berdiri di sisi kiri Fahmi. Wanita itu sekilas melirik Al, tetapi yang dilirik sok tak acuh.
"Dulu saya punya sahabat baik. Namanya Firdaus. Kami orang desa yang ingin mengubah nasib. Berjuang bersama dengan keahlian masing-masing. Saya lahir di keluarga tukang kayu, bapak saya pemahat kayu dari Jepara, ibu saya anak tukang kayu dari Salatiga. Lulus kuliah saya menekuni pertukangan, membantu bapak mertua jualan kayu dan belajar memahat kayu seperti bapak saya. Dari situ saya punya impian, suatu hari nanti saya bisa menjual hasil karya Bapak ke luar negeri. Sejak ibu saya meninggal, semangat bapak saya melemah. Impian Bapak seperti ikut terkubur, dua tahun kemudian Bapak meninggal. Saya mulai menekuni usaha Bapak, awalnya merayap, merangkak, dan puluhan tahun sampai sebesar ini.
"Firdaus sahabat baik saya, keluarganya terkenal memiliki banyak tanah, ayahnya tukang beli tanah dan pemborong bangunan. Suatu hari kami punya tujuan yang sama. Dia ingin membangun hunian yang nyaman dan saya akan mengisi kenyamanan itu dengan furnitur terbaik. Sayang, Tuhan lebih mencintai sahabat saya, Allah menjemputnya sebelum saya merealisasikan impian kami. Mukjizat Allah luar biasa, meskipun kami belum sempat menjalin kerja sama, tapi saya bisa membangun bisnisnya sampai saat ini. Impian kami terwujud, walaupun tanpa dia." Suara Fahmi bergetar, matanya memerah, dan berkaca-kaca.
Wanita di sampingnya mengelus punggung Fahmi, perasaan Fahmi sedikit tenang. Fahmi mengusap matanya dan meraup wajah lalu menghela napas dalam.
"Alasan saya kumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi bahwa putri sahabat saya, Margaretha Lyana Firdaus, akan menjadi pimpinan baru di PT Hunian Sejahtera." Fahmi merangkul bahu Lyana.
Semua yang duduk berdiri lalu bertepuk tangan, termasuk Al. Dia tersenyum tipis, senang mendengar itu. Papanya tidak melupakan surat perjanjian mereka. Yang berisi, jika sampai mereka menemukan anak Firdaus, Fahmi harus rela menyerahkan perusahaan itu kepadanya.
"Tuan Muda Al, bersediakah posisimu di kantor ini digantikan Nona Lyana?" tanya Fahmi setelah keadaan kembali tenang.
"Iya. Tentu saja. Dengan senang hati," ujar Al meski dengan sikap dingin.
"Pak Sandi, bawa surat pengalihan tugasnya ke sini," pinta Fahmi sambil mengeluarkan pulpennya dari saku blazer.
Sandi yang sudah mempersiapkan semua langsung membawa dua map ke depan. Dia letakkan di meja dengan posisi terbuka.
"Setelah kalian menandatangini surat itu, berarti Lyana sah menjadi direktur di PT Hunian Sejahtera," ujar Fahmi dimengerti semua orang yang ada di sana.
Fahmi lebih dulu tanda tangan di dua kertas pada map itu, lalu disusul Al, terakhir Lyana. Tepuk tangan menyambut direktur baru perusahaan tersebut. Mereka lalu berdiri dan menyalami Lyana, memberikan selamat.
Merasa tugasnya sudah selesai, Al berniat ingin pergi dari ruangan itu tanpa menunggu penutupan acara. Namun, saat tangannya ingin menarik knop pintu, suara Lyana menghentikannya, "Mau ke mana lo?"
Al lalu menoleh, semua yang di sana menatapnya.
"Tugas gue udah selesai. Gue mau pergi," jawab Al santai.
"Enggak boleh!" larang Lyana dengan wajah tegas. "Lo harus tetap di sini."
"Ngapain gue di sini? Kan sekarang lo direkturnya."
"Iya, gue tahu. Tapi gue butuh lo dampingi gue," ucap Lyana berharap Al paham maksudnya.
Bukan sekadar menjadi pendamping selama dia mempelajari perusahaan itu, tetapi Lyana ingin Al benar-benar menjadi pendamping hidupnya.
"Ada Pak Sandi. Dia tahu semuanya."
"Oh, jadi lo mau Pak Sandi yang jadi pendamping gue?"
"Iya. Karena dia tahu semuanya tentang perusahaan ini."
"Lo enggak mau jadi pendamping gue?"
"Gue sibuk."
"Oh, kalau gitu biar Pak Sandi yang nikahi gue. Lo kan enggak mau jadi pendamping gue."
Mata Al langsung membulat sempurna. Sejak tadi dia belum paham dengan kode yang Lyana lempar. Baru sadar sekarang.
"Apa-apaan! Enggak boleh!" Al melangkah lebar mendekati Lyana. "Gue yang akan dampingi lo, selamanya!" ujar Al lalu berlutut di depan Lyana.
Semua menahan senyum, termasuk Fahmi dan Sandi.
"Lo ngapain begitu?" tanya Lyana bingung.
"Gue mau ngelamar lo. Tapi gue enggak punya cincin. Gue juga enggak punya rencana sebelumnya." Al melirik map yang tadi ditandatangi mereka. Dia mengambilnya lalu berkata, "Gue beberapa bulan berjuang buat perusahaan ini demi lo. Sebagian hasil perusahaan ini duit gue. Berhubung gue belum sempet beli cincin buat ngelamar lo, ya udah, gue ngelamar lo pakai duit gue yang ada di perusahaan ini. Kalau lo terima lamaran gue, ambil map ini. Tapi, kalau lo tolak, enggak usah lo ambil." Al menyodorkan map itu di depan Lyana.
"Lo enggak romantis banget sih ngelamarnya. Gue kan, pengin kayak cewek-cewek lain. Dilamar pas dinner atau enggak pakai hal yang berkesan gitu. Bawa cincin."
"Ck! Repot banget sih! Gini aja udah. Enggak usah minta yang aneh-aneh."
"Om, gimana sih, masa ngelamar gini?" ujar Lyana mengadu kepada Fahmi.
"Al, ajak dong ke tempat romantis. Minta Pak Sandi siapkan makan malam di restoran mana gitu," usul Fahmi.
"Udah deh, Pi, enggak usah ikut campur."
"Eeeeh, enak aja lo ngomong. Tanpa campur tangan Om Fahmi emang lo bisa kayak sekarang? Belagu amat jadi anak," sahut Lyana cepat.
"Ini gimana? Diterima enggak? Pegel gue begini terus."
Semua mengulum bibir menahan tawa. Ada-ada saja kelakuan bos muda itu.
"Gimana, Om? Terima enggak?" tanya Lyana meminta pendapat Fahmi yang sudah dia anggap sebagai pengganti papanya.
"Terima saja, daripada entar dia galau lagi."
"Gitu, ya?"
Fahmi mengangguk. Lalu Lyana mengulurkan tangan ingin mengambil map itu.
"Eh, tapi ada satu syarat," ujar Lyana sebelum mengambilnya.
"Syarat apa?" sahut Al menahan pegal berlutut seperti itu.
"Entar malam lo harus bikin dinner romantis. Gimana?"
"Oke. Deal!" sahut Al cepat.
"Deal!" Lyana menerima map itu lantas Al berdiri dan memeluknya.
Lega perasaan Al, meskipun dengan cara unik, akhirnya dia bisa melamar gadis pujaannya. Pacar kecilnya kini kembali dalam dekapan.
Semua ikut bergembira, Fahmi menepuk-nepuk bahu Al. Dalam dadanya seperti ada perasaan lega, hal yang menjadi beban selama ini terlepas. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal, hubungannya dengan Al. Apa masih bisa tetap baik seperti saat ini? Fahmi takut Al baik hanya di depan Lyana.
#####
Ah, dasar Tuan Muda Al. Bikin senyum-senyum enggak jelas😝😅.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top