Kumis Kucing
Waktunya membuka mata. Hari masih buta, meskipun malas bangun karena tuntutan kerja, dia harus beranjak dari tempat ternyamannya. Dia berjalan malas masuk ke kamar mandi.
"Aaaaaa ...," teriak gadis mungil yang cantik di depan cermin kamar mandi. Dia terkejut bukan kepalang.
Bangun tidur niat ingin mandi, tetapi ketika lewat di depan cermin, gadis itu berhenti dan bercermin meneliti wajahnya. Dia terkejut, wajahnya dicorat-coret menggunakan spidol warna merah membentuk kumis kucing.
"Iiiiiiih, Big Baby!" teriaknya geram mengepalkan kedua tangan dan kaki dientakan ke lantai.
Seraya menggerutu, Lyana, begitulah sapaan akrabnya melangkah lebar ke kamar big baby yang selama ini dia rawat. Kamar mereka berhadapan, kadang Lyana saking capenya mengurus keperluan dan melaksanakan perintah Al, ketiduran di kamar nan luas milik big baby-nya itu.
Ceklek, blak!
Pintu kamar terbuka lebar. Kosong, di tempat tidur sudah tak ada orang, tetapi masih berantakan. Lyana celingukan.
"Ke mana dia?" gumam Lyana melangkah pelan-pelan masuk sambil wasapada jika sewaktu-waktu celaka karena dikerjain Al.
Kalau bukan karena kebutuhannya untuk bertahan hidup di ibu kota dan mengirimkan uang kepada adiknya yang sekolah di kampung, Lyana tak mau bekerja seperti ini. Mengurus bayi besar yang susah diatur bahkan membuatnya jengkel setengah mati.
Tuk tuk tuk
"Al?" panggil Lyana mengetuk pintu kamar mandi.
Ketika Lyana ingin menurunkan knop pintu, suara dari belakang menghentikannya.
"Ly," panggil seseorang dari ambang pintu.
Lyana menolah, seorang wanita paruh baya berseragam pelayan, menjabat sebagai kepala pelayan di rumah itu mendekat.
"Bu Sari lihat my big baby?" tanya Lyana.
"Tuan Muda ...." Sari menggeleng, berarti dia tidak tahu.
"Astagaaaa ... ke mana, ya, Bu Sari?" Lyana mengusap keningnya, tangan kiri berkacak pinggang.
Melihat wajah Lyana cemong, Sari mengulum bibir menahan tawa. Lyana melirik, paham maksud yang Sari ingin tertawakan.
"Bu Sari kalau mau ketawa, enggak apa-apa, tertawa saja. Ini pasti kelakuan my big baby!" geram Lyana sampai geregetan.
Karena tak tahan, Sari pun melepas tawanya.
"Ngapain kalian di kamarku?" Suara nge-bass hadir dari ambang pintu.
Sari dan Lyana menoleh, pria tampan, tinggi badan 172 sentimeter, kulit putih, hidung mancung, rambut ikal, memakai jaket parasut, celana training, dan sepatu kets berdiri stay cool di ambang pintu.
"Ini tersangkanya," gumam Lyana berjalan mendekati. Namun, saat sampai di depan pria itu, Lyana tersandung keset. "Aw!" pekiknya tak sengaja menubruk tubuh tegap berotot itu.
Dengan sigap kedua tangan kekar Al menangkap Lyana hingga tubuh mungilnya tertahan Al yang jangkung. Hazel mereka tertahan, debaran dada keduanya berdegup kencang. Sesaat gravitasi bumi seperti berhenti, mereka lupa jika ada Sari di sana yang menyaksikan adegan itu.
"Tuan Muda, Lyana," panggil Sari menyadarkan keduanya.
Bergegas Lyana menegakkan tubuhnya dan menjauhi Al. Karena malu, Lyana pun lebih dulu pergi.
***
Hari libur dimanfaatkan Al untuk mengajari Lyana nyetir mobil. Tak perlu keluar ke jalan raya karena rumah itu dikelilingi halaman yang luas. Cukup mengitari rumah, Al bisa melatihnya. Lyana tampak kesulitan menginjak gas dan rem karena yang digunakan Al mobil Rush.
"Lo jangan kaku," protes Al tegang karena Lyana terlalu tegak saat menyetir.
"Gue enggak nyampe kakinya. Susah tahu!"
"Makanya tumbuh ke atas, bukan ke samping."
"Ih, lo ledekin gue mulu!" ujar Lyana kesal.
"Berhenti di garasi. Kita ganti mobil sedan aja. Gue lupa kalau kaki lo pendek," ujar Al dilirik Lyana tajam.
"Lo juga sih aneh-aneh. Gue kerja bukan jadi sopir, ngapain ngajarin gue nyetir."
"Heh, itu perlu. Besok-besok kalau gue lagi males nyetir, lo bisa jadi sopir gue."
Lyana menghela napas dalam, dia pasrah. Sampai depan garasi, dia menghentikan mobilnya. Al turun, dia meminta seorang sopir mengeluarkan mobil sedan yang biasa dia pakai. Sebenarnya agak was-was Al mengajari Lyana nyetir menggunakan mobil kesayangannya. Namun, apa boleh buat. Mobil yang rendah dan memungkinan kaki Lyana sampai ke gas dan rem hanya itu.
"Ayo, pindah pakai itu aja."
"Itu kan mobil lo. Kalau kenapa-kenapa gimana?"
"Lo ganti rugi."
"Enggak ah! Enak aja! Belum gajian udah dimintai ganti rugi."
"Makanya, hati-hati. Jangan sampai nabrak."
Akhirnya Lyana lanjut belajar menyetir. Dari dalam rumah, Fahmi mengamati mereka. Ada yang aneh dengan sikap Al kepada Lyana. Gadis itu sepertinya spesial bagi Al.
"Siapa sebenarnya gadis itu?" gumam Fahmi. Dia seperti tak asing dengan wajah Lyana.
Merasa sudah cukup bisa, Al menghentikan dulu latihannya. Dia dan Lyana masuk ke rumah.
"Cing, buatin es dong," pinta Al duduk di ruang tengah lalu menyalakan TV dan PS.
"Ya. Lo mau makan apa siang ini?" tanya Lyana sambil berjalan ke dapur membuatkan Al minuman dingin.
"Lo bisa enggak bikinin gue ayam lada hitam?" pekik Al yang sudah menatap televisi dan mengutak-atik stik PS.
Lyana membawa dua gelas minuman dingin ke ruang tengah. Satu untuknya, satu lagi untuk Al.
"Lo enggak bosen ayam mulu?" tanya Lyana setelah meminum esnya.
Sekali tenggakan habis. Setelah meletakkan gelas ke meja, Al menyahut, "Bosen sih. Terserah lo deh mau masakin apa. Asal jangan diracun aja."
"Ikan, ya?"
"Terserah. Yang penting bisa dimakan."
"Oke."
Lyana lalu beranjak ke dapur. Dia meminta bantuan Sari untuk menyiapkan makan siang Al.
Fahmi senang, sejak ada Lyana, Al jadi betah di rumah. Biasanya baru lima menit di rumah, dia sudah pergi lagi. Bahkan kalau hari libur, Fahmi tak pernah melihat Al duduk di rumah sepeti saat ini.
"Al," sapa Fahmi menghampirinya ke ruang tengah.
Al tak menggubris, dia fokus pada permainan sepakbola yang dia kendalikan di TV. Fahmi menghela napas panjang. Bagaimana caranya mengajak Al mengobrol santai, dari hati ke hati kalau Al saja bersikap tak acuh padanya.
Wajah Fahmi tampak sedih, sulit sekali mengajaknya ngobrol. Kesalahpahaman di antara mereka perlu diluruskan. Tapi, siapa yang akan membantunya menjelaskan kepada Al?
Karena tak diacuhkan, akhirnya Fahmi beranjak pergi dari ruang tengah. Dia pergi ke gazebo belakang, ditemani Sandi. Lyana yang melihat wajah sedih Fahmi menjadi iba.
"Bu Sari, tolong nanti ikannya ditepungi dulu baru digoreng, ya? Aku mau nemenin dia dulu," ujar Lyana menunjuk Al dengan dagunya.
"Sip!" Sari mengacungkan jempolnya.
Lyana mendekati Al, dia langsung duduk di sampingnya dan merebut stik PS itu.
"Eeeeh, apaan sih! Main rebut aja! Ganggu tahu!" omel Al yang tadinya sedang asyik menggiring bola ke gawang terpaksa harus menyudahi permainannya karena Lyana mengambil alih. Kini gantian Lyana yang main PS.
"Lo kebangetan!" ujar Lyana tiba-tiba sambil menatap TV.
"Kebangetan kenapa?"
Lyana menghentikan permainannya lalu meletakkan stik PS ke meja. Dia menarik napas dalam dan menghadap Al.
"Perasaan lo udah mati, ya? Kenapa tadi lo diemin Pak Fahmi? Gila lo, ya? Sama orang tua begitu! Kualat baru tahu rasa lo!"
"Gue merasa enggak ada kepentingan. Males basa-basi."
"Ih, Al, jangan gitu dong. Dia orang tua lo, apalagi tinggal satu-satunya. Dijaga baik-baik. Kalau udah kayak gue, lo baru tahu rasa!"
"Ck, bawel lo! Kalau enggak tahu apa-apa jangan ikut campur."
Al lalu naik ke kamarnya. Lyana termenung. Apa dia salah ingin memperbaiki hubungan Al dengan Fahmi?
Sebenarnya apa sih yang bikin lo kelihatan marah banget sama Pak Fahmi, Al? gumam Lyana dalam hati. Raut wajahnya sedih.
######
Masih setia menunggu, kan? Hehehehe
Semoga aja masih pada semangat ketemu Curut sama Kucing😅.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top