Kejutan
Akhirnya malam itu juga Lyana langsung diajak ke rumah Fahmi. Sesampainya di sana, gadis itu langsung diantarkan ke kamar tidurnya.
"Lyana, nanti kamu tidur di kamar ini. Kamarku ada di sebelah ruang makan. Di depan kamarmu ini kamar Tuan Muda. Kalau mau minum langsung ke dapur aja, ya?" jelas Sari.
"Siap, Bu. Terima kasih," balas Lyana tersenyum lebar.
"Ibu tinggal, ya? Kamu istirahat dulu saja. Sebelum mulai kerja, kamu siapkan tenaga dulu."
"Iya, Bu."
Sari pun keluar dari kamar Lyana. Setelah pintu tertutup, Lyana menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.
"Hah, akhirnya aku bisa lepas dari Bi Tiara," desah Lyana lega.
Tak lama, gadis cantik itu bangkit dan berjalan ke luar kamar. Melihat Sari sedang di dapur, Lyana berinisiatif menghampiri.
"Bu, Lyana bantu, ya?" ujar Lyana mengambil alih cucian piring.
"Enggak usah, Ly. Biar aku saja," tolak Sari mendorong Lyana menjauh. Namun, gadis itu tetep pada posisinya.
"Enggak apa-apa, Bu," balas Lyana tersenyum. Sari menuruti, dia mengerjakan pekerjaan yang lain. "Bu, kalau boleh tahu, Pak Firman enggak ada di rumah, ya?"
"Pak Firman orangnya sangat sibuk sekali, Ly. Kamu jangan heran, kalau jarang bertemu Bapak di rumah," jelas Sari dengan ramah.
"Ibu sudah lama bekerja di sini?" Gadis cantik itu membasuh tangannya setelah piring terakhir dia letakkan di rak.
"Sudah, Ly. Kurang lebih lima belas tahunan. Sudah selesai?" Lyana mengangguk sebagai jawaban.
"Terima kasih, ya, Ly. Ya sudah, ayo istirahat," ajak Sari mematikan lampu dapur dan menggantinya dengan lampu kecil.
"Ayo, Bu." Kedua perempuan beda generasi itu berjalan berdampingan menuju kamar masing-masing.
"Selamat tidur, ya, Bu," ujar Lyana penuh senyum.
"Selamat tidur juga, ya, Ly," balas Sari mengelus kepala Lyana sayang.
Akhirnya mereka masuk kamar untuk istirahat.
***
Kira-kira pukul sebelas malam, Lyana terbangun dan merasa haus. Bangkitlah dia dan menuju dapur.
Saat dia sedang minum, pintu utama terbuka. Terlihat dua orang laki-laki sedang membopong seseorang dalam keadaan mabok. Gadis itu menghampiri.
"Permisi, Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lyana menahan mereka. "Loh?" Lyana terkejut saat melihat Al dalam keadaan tak sadar; mabok. Kenapa curut ada di sini? batin Lyana.
"Lyana, bantu saya antar Mas Al ke kamarnya," ujar Sandi terlihat keberatan.
Meninggalkan rasa terkejut dan tanda tanya besar, Lyana segera membantu Sandi. Setelah beres mengurus Al, Lyana diajak Sandi keluar dari kamar dan menjelaskan sesuatu kepada Lyana.
"Ini, diminum dulu, Pak," ujar Lyana menyerahkan segelas teh hangat pada Sandi.
"Terima kasih, Lyana," balas Sandi langsung meminum tehnya. "Jadi begini, Lyana, kamu nanti di sini akan merawat Mas Al," jelas Sandi yang membuat Lyana semakin terkejut.
"Jadi, saya bukan menjadi baby sister bayi yang imut, lucu, dan menggemaskan?" tanya Lyana polos. Sandi menggeleng.
"Astaga. Lepas dari kandang singa, masuk ke kandang buaya," desah Lyana menepuk jidat.
"Tolong rawat dia, Lyana. Pak Fahmi sangat sibuk dan maminya sudah meninggal. Kamu bisa melihat tadi, dia melampiaskan kesepiannya dengan datang ke kelab malam, pulang-pulang selalu dalam keadaan mabok. Pak Fahmi itu sangat menyayangi Mas Al, tapi Mas Al seolah enggak peduli. Dia keras kepala," papar Sandi pada Lyana dengan wajah pasrah.
"Kalau boleh tahu, sejak kapan dia begitu?"
Sandi menghela napas dalam. "Sejak SMA karena Mas Al merasa Pak Fahmi sudah tidak peduli padanya. Padahal itu karena perasaan dia sendiri, dia menjauh dari papinya. Memang Pak Fahmi sejak maminya Mas Al meninggal, dia menghibur diri dengan bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Dia tidak mau larut dalam kesedihan, mungkin karena terlalu sibuk, Pak Fahmi jadi kurang memiliki waktu sama Mas Al. Sejak itu Mas Al sama Pak Fahmi kalau bertemu selalu berdebat."
Lyana merasa punya PR besar. Tanggung jawabnya semakin berat, lebih mudah mengawasi bayi daripada pria dewasa yang seharusnya sudah bisa melakukan apa pun sendiri.
"Ya sudah, kalau begitu, Lyana. Saya pamit dulu, ya?" Sandi berdiri dan berjalan menuju pintu utama.
"Baik, Pak," balas Lyana mengantarkan Sandi. Setelah mobil Sandi tak terlihat, gadis itu menutup pintu dan bersandar.
"Kenapa harus ketemu si curut itu lagi sih?" gumam Lyana meraup wajahnya. Gadis cantik itu mengunci pintu dan berjalan menuju kamar.
"Hah!" desahnya merebahkan diri di kasur. "Kenapa harus ketemu lagi sama lo sih Curut. Gue enggak bisa bayangin, kalau yang akan gue urus bayi gerang seperti dia. Oh, Tuhan, apa salah dan dosaku," pekik Lyana menutupi kepalanya dengan bantal.
***
Pukul 04.30 WIB Lyana sudah berkutat di dapur. Ini tugas pertamanya, melayani big baby yang hari ini juga mulai dirawat.
"Ly, biar Ibu saja yang melakukannya," ucap Sari yang tidak enak hati Lyana harus bangun pagi dan membuatkan sarapan untuk Al.
"Biar, Bu. Aku dah biasa kok melakukan ini. Malah kadang cuma tidur dua jam," ucap Lyana sambil menggoreng telur dadar.
"Hah!" Sari yang tadinya mengeluarkan bahan makanan dari kulkas, dengan cepat menoleh Lyana sambil mulut sedikit terbuka. "Serius, Ly?" tanya Sari tak percaya.
"Iya, Bu." Meskipun bercerita hal sedih, tetapi bibir Lyana tetap tersenyum manis.
"Coba kamu ceritain yang lengkap, kenapa kamu bisa begitu?" Saking penasarannya, Sari mendesak Lyana agar menjelaskan semuanya.
"Jadi, sebelum di sini, aku tinggal sama bibiku. Orang tuaku sudah meninggal, aku dua bersaudara. Adikku di kampung bersama Nenek. Setiap bulan aku harus mengirim uang buat mereka."
"Ya Allah, Ly. Jadi, kamu itu tulang punggung keluarga?" Sebelum Lyana selesai bercerita, Sari memotongnya. Dia iba mendengar latar belakang Lyana.
"Iya, Bu Sari. Makanya aku selama tinggal sama Bibi Tiara bantu-bantu di warung makannya. Setiap hari kerja serabutan, bantuin masak, nyuci gelas dan piring, kadang juga nyuci alat bekas memasak, bantuin jadi pelayan, kadang nganterin pesanan. Pokoknya apa pun aku kerjain, yang penting per bulan Bibi Tiara ngasih aku uang yang cukup buat kirim ke kampung."
"Emang biasanya kamu dikasih berapa sama bibimu itu?"
"Kadang 800 ribu, tapi kalau warung rame pernah dikasih satu juta. Eh, cuma tiga atau empat kali, ya, dikasih segitu, aku lupa, hehehe." Meski batinnya merana, Lyana tetap cengingisan agar tidak terlihat lemah di depan orang.
"Ya Allah, Ly, itu sedikit untuk kebutuhan di kota besar ini. Kamu pekerja keras, ya? Terus kamu setiap bulan ngirim berapa ke kampung?" Sari bertanya sambil mengupas sayur dan bumbu. Karena sarapan untuk Al sudah siap, Lyana pun membantu Sari.
"Segitu aku sudah sangat bersyukur. Soalnya uang kuliah dibayarin Bibi walaupun aku dapat beasiswa, tapi enggak semua bisa diselesaikan dengan uang beasiswa, kan? Aku ngirim ke kampung 500 ribu, sisanya buat ongkos atau kadang jajanku di kampus."
"Astagfirullah, Ly. Kamu tangguh banget sih jadi gadis." Sari terharu dan simpati dengan perjuangan Lyana. "Semoga di sini kamu betah, ya?"
"Aamiin. Semoga, Bu."
"Oh, iya, perjanjian gaji kamu di sini berapa?"
Lyana terdiam, dia ragu saat ingin menjawab. Lyana tidak mau jika nanti Sari tahu gajinya, terjadi kecemburuan sosial.
"Berapa pun asal cukup, Bu."
"Iya, bener, Ly. Alhamdulillah, selama kerja sama Pak Fahmi, aku bisa sekolahin anak-anakku, naikan haji orang tuaku, beli rumah kecil-kecilan di kampung."
Sari menatap jam dinding yang ada di dapur. Jam menunjukan setengah enam.
"Eh, Ly. Bangunin Mas Al sana. Biasanya Pak Fahmi sarapan jam setengah tujuh. Jangan buat Pak Fahmi nunggu Mas Al lama di meja makan."
Ragu, Lyana meletakkan bawang putih yang dia kupas. Lalu menatap Sari.
"Bu, harus aku?" tanya Lyana menunjuk dirinya sambil mengedipkan mata berulang kali.
"Iya, siapa lagi? Ini kan tugasmu," jawab Sari tersenyum manis.
Lyana menghela napas panjang, lantas berjalan menuju kamar Al yang berhadapan dengan kamarnya. Langkahnya terasa berat dan hatinya bimbang.
"Ly," panggil seseorang saat Lyana sedang menaiki tangga.
"Iya, Pak," sahut Lyna ketika menoleh dan tahu itu Sandi.
"Kenapa lemes gitu?"
"Hehehe, enggak apa-apa kok, Pak. Mmm ... Pak Sandi mau bangunin Mas Al?" tanya Lyana basa-basi, seolah dia bertanya, padahal dalam hati ingin memerintah Sandi, tetapi tidak berani.
"Enggak. Saya mau ke dapur buat teh panas. Kamu saja yang bangunin Mas Al." Setelah berucap, Sandi pun berlalu ke dapur.
Lyana melipat wajahnya dan seperti orang menangis sambil mengentakkan kaki ke lantai.
"Kenapa harus gue!" gumamnya lantas menarik napas panjang dan meneruskan perjalanan.
Sampai di depan pintu kamar Al, beberapa menit Lyana terdiam meyakinkan diri. Setelah keberaniannya terkumpul, dia pun membuka pintu kamar pelan.
Suasana di dalam remang, hanya lampu tidur yang menyala. Lyana berjalan mantap, masuk lalu mencari remote untuk membuka gorden otomatis.
"Woiy, Curut, bangun!" Lyana memukul Al dengan guling.
Namun, pria tampan itu bergeming dan masih nyenyak di bawah selimut tebal.
"Iiih, susah banget sih." Lyana menggerutu, lalu dia mengguncangkan tubuh Al. "Woiy big baby, banguuuuuun!"
Al tetap tak berubah posisi sedikit pun. Lyana kesal, lalu punya ide gila.
"Kebakaran, kebakaran, kebakaran!" teriaknya tepat di telinga Al.
Kontak membuat Al terlonjak lalu terbangun dengan wajah bingung. Lyana terkekeh melihat tampang Al yang polos.
Menyadari ada suara wanita di kamarnya, Al menoleh ke sumber suara. Dia sangat terkejut melihat Lyana terkekeh sambil menunjuk wajahnya.
"Heh, Cing. Lo ngapain di sini? Mau ngerampok lo, ya?"
"Idiiiiih, asal aja lo ngatain gue! Gue kerja di sini sekarang."
Tercengang, Al melongo. Otaknya berputar dan bertanya-tanya.
"Malah diem. Ayoooo lo sekarang harus bangun dan mandi."
"Eh, suka-suka gue. Lo siapa nyuruh-nyuruh gue." Al menolak saat Lyana yang ingin menariknya.
"Gue sekarang baby sitter lo. Jadi, lo harus nurut sama gue."
"Hah!" Al semakin tak mengerti, pasti ini ulah papinya.
"Hah, heh, hah, heh malah. Ayoooo, mandi yang bersih, terus turun ke ruang makan, kita sarapan." Lyana memperlakukan Al lembut, seperti dia berbicara dengan bayi.
"Pasti ulah Papi," desis Al lantas dia bangkit keluar dari kamar melangkah lebar menuruni tangga.
Lyana yang melihat tatapan marah Al lalu berlari mengikutinya. Baru sampai tengah tangga, Lyana mendengar keributan di bawah.
"Ngapain Papi cari baby sitter buatku? Hah! Papi pikir Al enggak bisa ngurus diri sendiri!"
"Al, bukan begitu ...."
"Papi enggak pernah bisa percaya sama Al! Yang Al lakuin di mata Papi selalu salah."
"Al, dengarkan penjelasan Papi dulu." Fahmi tetap santai menghadapi Al, meski putranya itu sudah membentak dia. "Lyana akan membantu keperluan kamu. Apalagi kita sudah bersepakat ... kamu ingat, kan?" Fahmi menatap Al dengan senyuman manis.
"Iya, aku tahu dan tidak lupa itu! Tapi kenapa Papi cari baby sitter! Aku bukan bayi lagi, Pi!"
"Memang kamu sudah dewasa, tapi kelakuan kamu yang masih seperti bayi. Jadi, Papi carikan kamu baby sitter untuk membantu mempersiapkan semua keperluanmu."
"Al enggak butuh!"
"Tapi, Papi rasa kamu butuh dia."
Terdiam, Al memikirkan sesuatu. Lantas dia mendengus kesal dan berpaling darinya. Al menaiki tangga, saat berpapasan dengan Lyana, dia berkata, "Siapin baju gue, Cing."
Setelahnya dia berjalan cuek dan Lyana membuntutinya. Semua yang mendengar sapaan Al kepada Lyana melotot.
"Tadi Al panggil apa sama Lyana?" tanya Fahmi memastikan pendengarannya tidak salah.
"Cing, Pak," ucap Sandi setengah tersenyum.
Fahmi menggeleng. "Al, Al, memang kurang ajar anak itu."
Sandi dan Sari yang berdiri di ruang makan menahan tawa.
#####
Hai, sudah kangen belum? Part ini setengah diketik dianapuspitasari24 dan aku lengkapi biar agak panjang. Bagaimana perasaan kamu menunggu cerita ini? Hehehe
Terima kasih vote dan komentarnya.
Banyuwangi, 10 Februari 2020
Pukul : 06.07 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top