Hari yang Menyebalkan

Roda sepeda berputar kencang, Lyana mengayuh sampai ngos-ngosan. Peluh membanjiri pelipisnya, di bawah terik matahari, Lyana harus mengantarkan makanan kepada seseorang.

Sampainya di depan pagar bewarna hitam yang menjulang tinggi, Lyana kebingungan.

"Busyet, gue taruh mana pesanan ini?" gumam Lyana bingung sambil celingukan mencari seseorang.

"Heh! Siapa kamu!"

"Astaga nagaaaaaa!" Lyana terlonjak sembari mengelus dada.

Suara dari speaker yang ada di tembok samping pagar tiba-tiba bunyi. Lyana mendekat, dia berbicara di depan speaker itu sambil memencet tombol.

"Saya dari Rumah Makan Saudara, Pak. Mau antar pesanan."

Setelah berucap, pagar kecil samping tembok tempatnya berbicara terbuka. Seorang satpam bertubuh kekar, potongan rambut cepak keluar.

"Atas nama siapa yang memesan?" tanya satpam itu tegas.

"Ibu Sari. Katanya buat meeting siang ini, makanya saya buru-buru." Lyana menjelaskan sambil memberikan dua plastik putih besar berisi pesanan kepala asisten rumah itu.

"Oooh, iya. Sudah dibayar?"

"Sudah, tadi melalui transfer."

"Baik, terima kasih," ucap satpam tadi menenteng dua plastik yang diberikan Lyana.

"Ya sudah, Pak. Saya pamit dulu. Assalamualaikum," ujar Lyana dengan sikapnya yang periang dan ramah.

"Waalaikumsalam."

Ketika Lyana sedang memutar sepedanya, sedan hitam mengkilap tiba-tiba berhenti. Hampir saja ban sepeda Lyana menyentuh bemper mobil itu.

"Heh, punya mata enggak sih lo?" sentak pria yang ada di belakang kemudi.

Pria tinggi yang beberapa hari lalu rambutnya sedikit panjang dan ikal, kini sudah dipotong cepak dan dicat pirang. Didukung kulitnya yang putih, pria itu semakin tampan.

"Eh, lo itu yang harusnya lihat-lihat! Sudah tahu gue mau muterin sepeda, lo yang tiba-tiba nongol! Dasar Curut!" omel Lyana yang sudah mengenali pria tersebut.

"Apa lo bilang?" Tak terima dengan ucapan Lyana, pria itu turun dari mobil.

"Curut." Dengan wajah polos, Lyana mengulang ucapannya sambil menaiki sepedanya.

Ketika pria itu mendekat, Lyana langsung mengayuh sepedanya cepat, sehingga pria tadi tak sempat menyentuhnya. Lyana kabur sambil tertawa puas dan mengejek, "Dasar Al curut!"

"Woiy! Dasar cewek gila!" geram Al berteriak.

"Ada apa, Tuan Muda?" Satpam penjaga sampai keluar mendengar teriakan lantang Al.

"Enggak apa-apa. Buka pagarnya," titah Al lalu masuk ke mobil.

Satpam itupun lalu membukakan pagar untuk tuan mudanya. Mobil Al terparkir di pelataran yang luas dan asri. Ketika dia masuk ke rumah, Al berpapasan dengan Fahmi.

"Dari mana kamu?" tanya Fahmi bersuara tegas.

Seperti angin lalu, pertanyaan Fahmi tak dihiraukan Al. Dia melenggang naik ke kamarnya begitu saja. Fahmi menghela napas dalam, sering terjadi hal seperti ini.

"Bi Sari," panggil Fahmi kepada kepala asisten rumah tangganya.

Wanita paruh baya berseragam ala asisten rumah tangga itu mendekat.

"Iya, Pak?"

"Tolong siapkan makan siang untuk kolega saya, ya? Sebentar lagi datang dan kami akan makan siang sebelum rapat di ruang kerja saya."

"Baik, Pak."

Tanpa menunggu perintah berikutnya, Sari langsung mengerjakan titah Fahmi dibantu anak buahnya. Sementara itu, Al di kamarnya. Dia menghibur diri, menyetel musik keras, untung saja kamarnya kedap suara. Jadi, yang berada di luar tak akan terganggu.

***

Minggu pagi, Al membawa sebuket mawar merah ke makan Rina. Jika dia sedang merindukan maminya atau sedang sedih, bahkan merasa kesepian, Al selalu datang. Setelah meletakkan bunga itu di atas pusaran maminya, Al memanjatkan doa.

"Mi, beberapa hari ini suasana hatiku kacau. Papi masih sibuk dengan bisnisnya, dia tidak bisa belajar dari pengalaman Mami. Aku cuma pengin Papi bisa seperti dulu lagi. Asyik diajak ngobrol tanpa mengekangku." Al mencurahkan isi hatinya.

Meskipun dia tahu bahwa maminya tidak akan menjawab, tetapi dengan seperti itu hati Al bisa lega. Ketika Al menyiramkan air ke nisan Rina, bulu kuduknya merinding. Al mendengar suara wanita menangis. Bergegas Al berdiri lalu melangkah pergi.

Namun, baru beberapa langkah, Al mendengar isakan itu semakin jelas. Sekujur tubuhnya merinding, dalam hati semua doa dia baca.

"Maaaa, aku udah enggak betah tinggal sama Bibi Tiara. Setiap hari, aku harus bangun jam dua dini hari. Aku harus bantuin dia masak untuk jualan, pulang kuliah masih disuruh antar pesanan. Aku cape, Maaaa." Tangisan itu pecah di atas pusaran bawah pohon beringin yang rindang.

Dari balik pohon, Al mengintip. Dia sangat terkejut saat mengenali wajah gadis itu. Al menguping setiap pembicaraan Lyana.

"Andai ada pekerjaan lain yang bisa menampungku untuk tinggal, aku lebih baik pergi dari rumah Bibi. Tapi, aku harus kerja apa, Ma? Radit sama Eyang di kampung, aku juga harus memikirkan mereka." Lyana terisak-isak, hati Al terenyuh, merasakan kepiluan gadis itu.

"Kasihan dia. Ternyata selama ini hidupnya kesulitan," gumam Al sangat pelan, hanya dia sendiri yang mendengar.

"Paaaa, aku harus bagaimana lagi?" Lyana berganti ke pusaran sampingnya.

Hal itu semakin membuat Al terkejut, dia baru mengetahui, ternyata gadis yang selama ini selalu dia kerjai adalah yatim piatu. Al merasa berdosa sekali kepada Lyana.

Sebelum Lyana memergokinya, Al buru-buru pergi meninggalkan pemakaman umum itu. Sampai di mobil, Al terdorong rasa sangat penasaran. Dia mencari tahu mengenai Lyana. Dia mengusut tentang nama Lyana dari Google. Awalnya banyak nama Lyana yang muncul.

Al tak menyerah. Dia terus mencari wajah yang mirip dengan Lyana. Saat menemukan foto dengan wajah yang sangat mirip dengan Lyana, bernama Margaretha Lyana Firdaus, Al mulai googeling lebih dalam. Berita beberapa tahun lalu terjadinya kecelakaan mobil, mengungkap alasan orang tua Lyana meninggal.

Dari hal itu, Al memgetahui rahasia latar belakang Lyana yang sesungguhnya.

"Jadi, Lyana itu ...?" Mata Al membulat sempurna.

Dia menyandarkan tubuhnya di jok dan mengusap wajahnya berkali-kali.

***

Di kampus, Lyana berjalan di koridor sambil membaca buku. Saat melewati segerombolan geng yang dipimpin Al, beberapa teman-teman Al sudah merencanakan sesuatu.

"Bos, kita kerjain dia yuk!" bisik salah satu di antara mereka kepada Al.

"Ck, lagi enggak mood," jawab Al lantas pergi.

Hatinya sedang kacau pagi ini, sebelum tadi berangkat, Al cekcok dengan papinya. Teman-teman Al pun mengurungkan niatnya.

"Ly!" pekik Edo berlari mendekatinya.

Lyana menoleh, dia memutar tubuhnya menunggu Edo.

"Lo kok sendiri?" tanya Edo setelah sampai depan Lyna.

"Kenapa? Cari Gea?"

Edo cengengesan sambil menggaruk tengkuknya. "Hehehe, tahu aja."

"Anaknya di kantin. Kita ke sana yuk!" ajak Lyana melangkah sambil memasukan bukunya ke tas.

Dari balik tembok, ternyata Al mengawasinya.

***

Pulang dari kampus, Lyana menuntun sepedanya. Rantenya putus, dia berjalan menyusuri trotoar mencari bengkel. Saat sampai di traffic light atau APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas), Al melihat Lyana lesu dan wajahnya cemberut.

"Ngapain tuh anak?" gumam Al mengawasi dari kejahuan.

Lyana menyeberang, lewat depan mobil Al. Dari situ Al tahu bahwa rante sepedanya putus.

Tiiiiiiin

Klakson mobil yang di belakang Al mengejutkan. Bergegas Al melajukan mobilnya. Di depan ada bengkel, Al menepikan mobilnya dan berhenti di depan bengkel itu. Dia turun dari mobil mendekati salah satu montir.

"Mas, bisa minta bantuannya?" kata Al sambil mengawasi Lyana yang masih menuntun sepedanya dikejahuan.

"Kenapa, Mas?"

"Lihat cewek yang nuntun sepeda itu?" Al menunjuk Lyana, montir itu melihat ke arah telunjuk Al.

"Iya. Ada apa, Mas?"

"Tolong bawa alat ke sana, Mas. Itu rante sepedanya putus. Ini ongkos perbaikannya. Tapi, jangan bilang saya yang menyuruh Mas, ya?" ujar Al memberikan dua lembar uang seratus ribuan.

"Siap, Mas. Beres!" Lekas montir tadi mengambil peralatanya lalu menancap gas sepeda motor mendekati Lyana.

Sedangkan Al tergesa-gesa meninggalkan tempat itu supaya tidak ketahuan Lyna. Sebenarnya hati Al lembut, sayangnya dia terlalu gengsi memperlihatkan kelemahannya.

#####

Haiiii, akhirnya bisa lanjutin cerita ini. Alhamdulillah. Semoga kami bisa ngebut update, ya?

Terima kasih yang sudah menungguuuuuuu. 😘

Banyuwangi, 4 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top