Gemes

Satu langkah melewati pintu, Fahmi mendengar gelak tawa yang sudah lama tak dia dengar. Dia sangat merindukan tawa lepas putranya. Rumah itu sudah lama tidak terdengar keramaian tawa ceria. Fahmi yang diikuti Sandi berhenti di ruang tengah. Dia mendongak ke lantai dua. Terdengar suara Al dan Lyana saling balas ejekan dan sesekali mereka tertawa bersahutan. Fahmi tersenyum tipis.

"San, tolong bawa tas saya ke ruang kerja."

"Baik, Pak."

Fahmi melonggarkan dasinya, jas yang sudah dia lepas sejak tadi perjalanan pulang disampirkan pada sandaran sofa. Lantas dia duduk sambil menyingsingkan hemnya.

"Pak Firman mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Sari setengah membungkukkan badan di samping sofa.

"Teh saja."

"Baik, Pak."

Segera Sari kembali ke dapur untuk membuatkannya. Fahmi masih menikmati keramaian yang terjadi di lantai dua sambil menonton televisi yang sengaja volumenya dikecilkan.

Di ruang santai lantai dua, Al dan Lyana berkejaran. Lyana kalah main kartu, hukumannya yang menang akan mencoretkan spidol di wajah yang kalah. Namun, karena wajahnya sudah cemong Lyana membawa kabur spidol tersebut.

"Lo curang!" pekik Lyana berlari turun tangga sambil tertawa geli, takut Al menangkapnya.

"Heh, lo yang curang. Mana spidolnya. Lo harus terima hukumannya." Al mengejar sampai di ruang tengah, dia melihat Lyana berhenti berlari dan mematung menghormati keberadaan Fahmi.

Al tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tak peduli wajah Lyana sudah penuh coretan hitam, Al merebut spidol yang digenggam Lyana.

"Gue dapat!" ujar Al menaikkan spidolnya.

"Curut, udah ah! Gue udah cemong begini." Lyana berjingkrak ingin menggapai spidol itu, mengingat tubuh mungil dan tingginya hanya sedada Al, dia tampak kesulitan. "Iiih, udah ah! Aku berhenti main," ucap Lyana ngambek.

"Eh, lo harus terima hukumannya dulu dong."

"Enggak mau. Mukaku udah banyak coretan, Curut!"

Lyana bersiap lari. Namun, Al dengan cepat menariknya hingga Lyana terhuyung dan jatuh di sofa panjang. Al tak pedulikan Fahmi, dia menganggapnya tak ada. Al menahan Lyana supaya tidak pergi, dia menindih gadis mungil itu dengan tubuh jangkung dan kekarnya.

"Curut, udah bubar permainannya." Lyana memekik sambil menahan tangan Al.

"Belum! Lo harus terima hukumannya."

Al menggambar di wajah Lyana, garis empat di kedua sisi pipi Lyana, ujung hidung diblok hitam.

"Dah!" ujar Al bangkit sambil menutup spidolnya.

"Gue enggak mau lagi main sama lo ah! Lo curang," ujar Lyana sambil cemberut.

Fahmi yang melihat tingkah mereka seperti anak kecil hanya tersenyum. Lyana malu dilihati Fahmi, lantas dia berlari ke kamarnya. Saat Al ingin menyusul, Fahmi menahan. Terpaksa Al berhenti dan menolehnya dengan raut wajah malas.

"Bagaimana persiapan tender kamu?" tanya Fahmi basa-basi.

"Aman," jawab Al singkat dengan wajah datar.

"Perlu bantuan Papi?"

"Enggak."

Setelah itu Al berlalu. Sikapnya masih saja dingin kepada Fahmi. Padahal kejadian itu sudah berlalu lama. Namun, Al masih belum bisa memaafkannya.

Fahmi menghela napas panjang, dia matikan televisi lalu pergi ke kamarnya dan sebelumnya meminta Sari membawa tehnya ke kamar.

***

Saat tengah malam, Fahmi masih terjaga, dia melamun di ruang kerjanya. Meskipun berlimpah harta, hatinya masih terasa kosong. Sepeninggalan Rina, tak ada satu pun wanita yang menarik perhatian dan bahkan hatinya. Cintanya seperti berhenti hanya kepada Rina.

"Ma, aku merindukanmu."

Fahmi menarik napas dalam, dia embuskan perlahan. Sampai sekarang dia belum bisa melupakan Rina. Wanita penyayang, sabar, dan ada di samping Fahmi dalam kondisi apa pun sampai akhir hayatnya.

Merasa matanya sudah sangat berat, Fahmi keluar dari ruang kerjanya. Situasi rumah megah itu sepi, hanya pengawal yang bergantian jaga, berkeliling memastikan keadaan rumah aman.

Ketika Fahmi berjalan ingin ke kamarnya yang berada di lantai satu, dekat dengan tangga, dia melihat Lyana turun membawa teko kaca sambil menguap. Tampak lelah dan sangat ngantuk. Lyana melihat Fahmi memerhatikannya, karena sungkan, dia mengangguk sebagai tanda sapaan dan menghormati.

"Kok belum tidur kamu, Ly?" tanya Fahmi saat Lyana sudah sampai di tangga terakhir.

"Ini, Pak, Tuan Muda Al minta diambilkan minum."

"Al belum tidur?"

"Belum, Pak. Katanya sedang menyelesaikan bahan presentasi buat besok meeting di kantor."

"Oh, iya sudah. Sampaikan kepadanya, kalau sudah selesai, cepat tidur."

"Baik, Pak."

Fahmi berlalu masuk ke kamarnya. Sedangkan Lyana mengambil air putih di dapur. Setelah itu dia bawa ke kamar Al.

"Curut, masih lama, ya?" tanya Lyana sambil menuang air putih ke gelas.

"Hmm."

Al sangat fokus dan serius menatap laptopnya. Dia duduk di lantai, laptop diletakkan pada meja kaca satu set dengan sofa di tengah kamar itu. Lyana memberikan gelas berisi air putih kepada Al.

"Lo tidur aja. Gue masih lama," ujar Al melihat mata Lyana sudah sangat berat.

"Enggak, gue temenin lo sampai selesai. Siapa tahu lo butuh bantuan gue."

"Ya dah, terserah lo. Sambil tiduran di sofa sana," titah Al menunjuk sofa panjang di depannya, tempat biasa Lyana tidur di kamar itu.

Tanpa membantah Lyana menurut. Dia berbaring miring menghadap Al. Lyana terus memerhatikan wajah Al yang sedang serius. Lyana tak menyangka, ternyata Al bisa juga bekerja serius dan bertanggung jawab dengan keputusannya. Tidak mudah kuliah sambil mengurus bisnis yang sudah besar dan sedang berkembang pesat.

"Tadi Pak Firman pesan, kalau kerjaan lo udah selesai cepet tidur."

"Hm."

Begitulah Al kalau sedang serius. Menyahut ucapan hanya bergumam tanpa menoleh yang mengajak bicara. Untung Lyana sudah paham sifat Al.

Lyana masih memerhatikan Al. Wajah yang tak asing baginya, tetapi memori masa lalu yang terhapus dari ingatan membuatnya tak ingat lagi dengan pemilik wajah tampan tersebut.

Al, gue pikir lo seperti cowok kaya pada umumnya, cuma bisa ngabisin duit bokap lo doang. Ternyata gue salah. Gue enggak tahu hal apa yang bikin lo kayak benci sama bokap lo. Enggak mungkin juga tanpa alasan. Gue harap lo bisa bersikap dewasa, Al. Selama gue tinggal di sini, gue tahu Pak Fahmi orang yang baik dan sebenarnya sayang sama lo.

Lyana memerhatikan Al tanpa berkedip. Pria jangkung memiliki hidung mancung, bibir tipis nan merah walaupun dia perokok, kulit putih dan bersih, dan tatapannya tajam, tetapi menentramkan hati Lyana.

Lama-lama mata Lyana terpejam karena sudah tak tahan. Sekilas Al melihat Lyana sudah tidur, dia mencari remot kecil putih lalu mengecilkan AC yang berada tepat di atas sofa itu. Napas Lyana terdengar teratur, Al memberanikan diri mendekatinya. Dia singkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Lyana. Meski wajahnya polos karena belum mengenal make up, tapi mulus tak ada bekas jerawat.

Al perlahan membopong Lyana, dia pindahkan ke tempat tidur king size-nya. Tak lupa Al menyelimuti Lyana dengan bad cover putih.

"Aku lakuin ini buat kamu, Ly. Biar kamu bisa melanjutkan bisnis ini tanpa banyak rintangan. Setelah keadaan perusahaan stabil, aku akan memberi tahu Papa siapa kamu sebenarnya. Aku sudah bikin perjanjian dengannya. Biar kamu enggak susah-susah kerja berat lagi. Kamu juga bisa ajak adik sama nenekmu pindah ke Jakarta, biar mereka mendapatkan hak yang seharusnya. Doakan aku agar bisa memenangkan banyak tender, ya?"

Al mengusap kepala Lyana. Dia tersenyum manis, dengan sedikit keberanian, Al mencium pelipis Lyana. Setelah itu dia kembali ke posisi semula, dia melanjutkan pekerjaannya.

***

Ada pergerakan di bawah selimut tebal. Pemilik bulu mata lentik itu mengejap. Perlahan netranya terbuka. Hangat dan nyaman. Beberapa menit dia mengumpulkan kesadarannya. Dia melihat sekeliling, beda dengan kamar yang biasa dia tempati.

Segera dia bangkit dan memastikan bahwa pakaiannya lengkap. Lyana mengelus dada dan mengembuskan napas lega, tak terjadi suatu hal yang merugikannya. Kalau Lyana tidur di ranjang king size big babby-nya, lalu si pemilik di mana?

Bergegas dia turun dari tempat tidur. Lyana menyalakan lampu kamar yang semalam dimatikan Al selesai dia mempersiapkan bahan meeting. Lyana melihat jam, masih pukul setengah lima. Dia menarik bed cover lalu berjalan ke sofa dan menyelimuti Al.

Beberapa saat Lyana memerhatikan lekuk wajah Al yang damai dalam tidurnya. Dahinya mengerut, dia merasa benar-benar tak asing dengan pemilik wajah itu. Namun siapa? Semakin keras Lyana berusaha mengingat, justru kepalanya pusing. Lyana tak menghiraukannya. Lantas dia keluar dari kamar untuk membersihkan diri lalu salat dan menyiapkan keperluan Al.

######

Untung Al bukan cowok brengsek, ya, Li?😝 Dia anak baik kok. Kadang emang nyebelin.

Terima kasih yang sudah setia menunggu dan memberikan dukungan pada cerita ini dengan memencet bintang. Makasih banyak, teman-teman. Semoga masih bisa mengikuti ceritanya, ya? Jangan bisa dulu karena episodenya masih panjang, hehehehe😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top