Cemburu?
Siang itu Al dan Dona janjian bertemu di restoran sepulang dari kampus guna membicarakan kelanjutan skripsi Al. Niat Al hanya ingin segera selesai membuat skripsi dan lulus. Dia tidak mau berlama-lama pusing dengan skripsi. Dona pun senang Al aktif bertanya, konsultasi, dan rutin mengajaknya bertemu. Beda dengan murid-murid yang lain.
Ketika Al sedang serius mendengar penjelasan Dona, matanya justru menangkap kedatangan Lyana ke restauran itu bersama pria.
Gue kayak pernah lihat orang itu. Di mana, ya? batin Al mengingat-ingat lagi.
"Al, paham, kan?" tanya Doa langsung membuyarkan ingatan Al yang sedang menelusuri pemilik wajah pria yang saat ini sedang memilih makan siang bersama Lyana.
"Iya, Bu. Saya paham. Nanti kalau pas eksekusi lupa, saya tanya Bu Dona, ya?"
"Iya, boleh. Saya suka kalau ada mahasiswa aktif seperti kamu."
"Iya, Bu. Terima kasih. Oh, iya, Ibu makannya sudah selesai, kan?" tanya Al basa-basi sambil memasukan jilidan skripsinya ke tas.
"Iya, sudah kok."
"Saya bayar dulu, ya, Bu. Sebentar." Al pergi ke kasir.
Dona dengan sabar menunggunya. Ponsel Al ketinggalan di meja, tanda pesan masuk. Dona menoleh, melihat wallpaper ponsel Al yang memperlihatkan foto Al bersama Lyana.
Oh, jadi selama ini Al itu pacarnya Lyana? Baru tahu. Pantas saja waktu itu Lyana wajahnya masam saat konsultasi pertama di perpustakaan, batin Dona lalu tak acuh. Dia merasa itu bukan urusannya.
"Ayo, Bu," ajak Al setelah kembali.
Dia mencangklong tas dan mengambil ponselnya. Sengaja Al lewat di depan meja yang Lyana tempati bersama orang itu. Awalnya Al ingin pura-pura tak melihat Lyana. Dia ingin lewat begitu saja.
"Eh, Lyana. Kamu juga di sini?" tanya Dona yang baru melihat Lyana.
Mau tak mau Al ikut berhati. Al tak menyapa Lyana, wajahnya datar. Lyana kesal, melihat Dona dan Al sedang bersama di restoran itu.
"Iya, Bu," sahut Lyana tanpa ekspresi.
"Saya tunggu lo revisi judul sama rancangan kamu. Kenapa kamu tidak aktif seperti Al? Kamu mau lulus enggak sih, Ly?"
"Ya maulah, Bu!"
"Makanya, aktif dong, Ly. Saya buka konsultasi dua puluh empat jam buat mahasiswa yang saya bimbing kok. Yang butuh kan, kamu."
"Iya, Bu."
"Ya sudah kalau gitu. Ibu pulang dulu," ujar Dona dengan sikapnya yang centil dan tak acuh.
Al pergi bersama Dona begitu saja. Tak menyapa Lyana bahkan pria yang sekarang makan dengannya.
Apa Al serius jahuin gue? Kenapa dia enggak marah lihat gue sama Mas Erik? batin Lyana melihat Al dan Dona keluar dari restoran.
"Eh, Ly, cowok itu bukannya yang waktu itu ..."
"Iya, enggak sah diterusin, Mas. Itu dia."
"Kalian ..."
"Eh, Mas Erik mau pesan apa tadi?" Sengaja Lyana mengalihkan pembicaraan.
"Gue pesan lemon tea sama spaghetti carbonara aja, Ly."
"Oke." Lyana menulis pesanan di kertas khusus. "Mbak!" Selesai menulis Lyana memanggil pelayan sambil melambaikan tangan.
Sambil menunggu makanan datang Lyana dan Erik melanjutkan rencana mereka yang beberapa hari belakang dibicarakan.
"Jadi, rencana gue gitu, Ly."
Lyana manggut-manggut. "Oke, Mas Erik. Gue akan bantu."
"Bener, ya?" tanya Erik sumringah memegang kedua tangan Lyana tanda berterima kasih.
"Iya. Mas Erik tenang saja. Insyaallah semua akan baik-baik saja."
"Oke, Ly. Gue percaya lo bisa melakukannya."
Karena dulu Erik pernah membantunya, Lyana merasa utang budi. Saatnya dia membayar utang itu dengan membantu Erik.
***
Di salah satu kafe dengan interior maskulin dan moderen, tempat tongkrongan yang nyaman, mengusung konsep industrial yang mewah, menggunakan kayu dan besi hitam sebagai material utama, dan penerangan kuning yang hangat Al, Noval, Andika, dan Bastian duduk sambil main bareng game di ponsel. Namun, Al justru melamun, dia memikirkan Lyana.
Kenapa dia bisa sama cowok itu lagi? Apa dia bosan sama gue karena sekarang lagi deket sama cowok itu? Ya Allah, Ly, gue harus gimana sih? Kenapa gue kayak orang bodoh begini? Kenapa harus lo yang gue mau. Al bergelut dengan pikiran dan batinnya.
"Eh, Bos, lo lagi berantem sama Lyana?" tanya Noval mendekati Al. Dia sudah bosan mabar. Noval berusaha menemani Al yang sedari tadi hanya melamun.
"Gue bingung, Val."
"Bingung kenapa?"
"Kemarin habis nemuin Bu Dona, dia tiba-tiba berubah. Minta gue jauhi dia."
"Alasannya?"
"Katanya dia bosan gue ikuti mulu."
"Terus lo nuruti kemauan dia gitu aja? Menjauhinya?"
Dengan lemah Al mengangguk. Noval menepuk jidatnya.
"Ya ampun, Bos! Lo pinter akademik, otak lo jalan soal bisnis. Tapi kenapa pikiran lo enggak jalan kalau ngurusi cinta?" ujar Noval geleng-geleng.
"Terus gue harus gimana, Val? Dia yang minta."
"Gini, ya, Bos. Emang sulit membaca pikiran wanita. Mintanya A, tapi di hati B. Dia ngomong kayak gitu pasti ada sebabnya."
"Apa sebabnya?"
"Gue tanya, pas kalian konsultasi sama Bu Dona, gimana sikap Bu Doa ke lo, Bos?"
"Biasa. Kita tahu kan, emang Bu Dona genit dan ... gitu deh!"
"Nah, itu jawabannya! Tandanya dia cemburu!"
"Ah, masa orang cemburu sampai begitu?"
"Wajar cewek gitu, Bos! Bilangnya enggak apa-apa, tapi dalam hati pasti lagi kenapa-napa. Ngomongnya minta dijauhi, aslinya dia itu ngode biar kita memahami perasaan dia. Biar kita lebih perhatian sama dia."
"Masa Lyana begitu?"
"Aduh, Boooos! Setangguh apa pun wanita, tetep aja hatinya lunak kayak jelly. Sifat dasarnya manja dan maunya diperhatiin. Titik! Itulah cewek!"
"Terus gue harus gimana? Dia kayaknya lagi deket sama cowok."
"Bisa jadi dia lagi nguji lo, Bos. Mau lihat, lo cemburu enggak kalau dia deket sama cowok lain."
Al manggut-manggut. Dia baru tahu ternyata seperti itu memahami wanita. Rumit juga, ya? Namun, sepertinya memang benar yang dikatakan Noval. Wanita itu maunya dimengerti.
Bergegas Al mengambil ponselnya yang tergeletak di meja lalu menelepon Lyana. Panggilan pertama tak ada jawaban. Al masih berusaha meneleponnya lagi hingga Lyana menjawab.
"Lo di mana?" tanya Al tanpa basa-basi setelah Lyana menyahut.
"Di Kafe Gemilang. Kenapa?"
"Lo ngapain sih ke sana lagi? Lo tahu enggak itu tempat nongkrong ayam kampus nungguin kliennya?"
"Mana gue tahu soal itu. Gue ada urusan di sini. Udah, ya?"
"Eh, eh, eh, Ly ...."
Belum juga Al selesai bicara, Lyana sudah lebih dulu memutus panggilannya. Al tampak lesu, dia mengendurkan bahunya.
"Kenapa, Bos?" tanya Noval menepuk bahu Al.
"Dia di kafe tempat cowok itu kerja."
"Kita samperin aja yuk!" Noval lebih dulu berdiri.
Meskipun malas, tetapi Al ikut berdiri. Pikirannya macam-macam, Al menduga Lyana pasti saat ini sedang bersama pria itu. Apa mungkin Lyana menunggu pria itu yang sedang bekerja? Ah, Al, pikirannya kalut saat ini.
"Kalian mau ikut enggak?" tanya Noval kepada Andika dan Bastian yang sedari tadi asyik mabar.
"Ke mana?" tanya Bastian mendongak kepada Noval sekilas lalu kembali melihat layar ponselnya.
"Pindah kafe," jawab Noval sambil jalan menyusul Al yang lebih dulu jalan.
"Ikut!" sahut Andika dan Bastian bersamaan. Mereka bergegas menyusul Al.
Sedangkan di Kafe Gemilang, Lyana sudah mempersiapkan rencananya dengan Erik. Sambil menunggu waktu yang pas, Lyana kebelet ingin buang air kecil. Lantas dia ke toilet. Selesai kencing, dia keluar dan berniat cuci tangan di wastafel. Namun, dihadang wanita cantik berwajah judes.
"Lo enggak ada malunya, ya, muncul lagi ke sini," ujar wanita itu bersedekap, seperti sedang menantang Lyana.
"Memangnya ada larangan buat gue datang ke sini, Kak Mara? Enggak, kan?"
"Heh, lo tuh emang enggak punya malu, ya? Inget kejadian waktu lalu pas cowok lo datang bikin keributan di kafe ini, kan?"
Lyana memutar bola mata malas, dia tak acuh melewati Mara lalu cuci tangan di wastafel.
"Heh!" Mara memegang bahu Lyana dan memutar tubuh gadis mungil itu sampai menghadapnya. "Lo ngapain ke sini bareng Erik? Lo enggak tahu, apa emang pura-pura tutup mata sih?"
"Apa maksud Kak Mara?" Lyana mengerutkan dahi, dia tak paham.
"Lo sebenarnya tahu, kan, kalau Ranti itu suka sama Erik?"
Ceklek! Pintu toilet terbuka. Panjang umur, yang mereka bicarakan datang. Ranti masuk ke toilet dan dia baru tahu kalau Lyana ternyata ada di sana.
"Hai, Ly," sapa Ranti dengan senyum ramah.
"Hai, Kak. Apa kabar?" Lyana bersikap biasa saja, dia menyalami Ranti.
"Baik. Lo sendiri apa kabar, Ly?" tanya Ranti tersenyum ramah sambil menjabat tangan Lyana.
"Baik, Kak."
Mara memutar bola mata malas, menganggap Lyana hanya basa-basi saja.
"Kak, gue keluar dulu, ya?" pamit Lyana kepada Ranti dan hanya melirik Mara.
"Oh, iya. Silakan, Ly," ujar Ranti seperti biasa, tetap memperlakukan Lyana baik dan ramah.
Lyana keluar dari toilet, dia menemui Erik di belakang meja bar tempat menyajikan minuman.
"Mas Erik," seru Lyana pelan.
Erik yang tadinya sedang membuatkan minum pelanggan menoleh.
"Apa?"
"Beraksi kapan? Semua sudah gue siapin?"
"Orangnya di mana?" Erik tolah-toleh mencari seseorang.
"Dia di toilet. Cepet sana! Entar gue kasih aba-aba kalau dia udah keluar dari toilet."
"Oke, oke." Erik melepas apron hitamnya. "Ver, tolong lanjutin ini, ya?" ujar Erik kepada rekannya.
"Sip!" sahut pria tampan bernama Very sebagai bartender, mengambil alih pekerjaan Erik.
Lyana memantau situasi, sedangkan Erik sudah berdiri di mini panggung yang biasa digunakan live music. Ketika melihat Mara dan Ranti keluar dari toilet, segera dia memberi kode kepada Erik dengan mengacungkan jempol.
"Selamat malam para pelanggan terhormat Kafe Gemilang. Pada kesempatan malam yang spesial ini, saya Erik, ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman cinta." Erik menatap ke arah Lyana yang tersenyum padanya.
Ranti berhenti di samping Lyana. Melihat tatapan Erik kepada Lyana, hati Ranti terusik. Ada gejolak yang menyeruak dari hatinya. Apa itu cemburu? Apalagi Lyana melempar senyum manis kepada Erik.
"Bodohnya saya kurang peka dan tidak peduli dengan perasaannya. Dia baik, sabar, dan terpenting peduli kepada siapa pun. Karena kesalahpahaman di antara kami, hubungan yang baru mau dimulai gagal. Saya salah paham padanya. Saya menyalahkan dia tanpa tahu dulu kebenarannya. Mungkin sampai sekarang dia masih bertanya-tanya, kenapa saya tiba-tiba cuek dan menghindarinya. Bukan karena saya benci, tapi saya kecewa padanya. Kecewa yang tak bertuan."
Ketika Erik berbicara di panggung mini itu, Al datang bersama Noval, Bastian, dan Andika. Mereka langsung mencari tempat duduk yang kosong. Suasana di kafe itu tenang, seluruh pengunjung menatap ke mini panggung. Lyana menyadari kedatangan Al, tetapi tugas dia belum selesai. Selangkah lagi! Akhirnya Lyana tak memedulikan Al.
"Hai, gadis yang di sana." Erik menunjuk Lyana.
Semua mata tertuju ke arah Lyana, termasuk Al. Mata Al sudah melotot, dadanya kembang kempis bersiap jika Erik menyatakan cinta kepada Lyana, dia akan menghajarnya dan akan membawa pergi Lyana dari sana. Mara yang berdiri satu langkah di belakang Lyana melongo. Sedangkan Ranti menoleh ke samping, juga menatap Lyana menahan perih di dada.
"Tanyakan kepada wanita di samping lo itu. Gue Erik, bersediakah dia menjadi kekasih gue?"
Semua mata beralih kepada wanita yang berdiri di samping Lyana. Betapa terkejutnya Ranti, dia gelagapan dan bingung. Lyana menoleh Ranti lalu menuntunnya, mengajak mendekati Erik.
Sampai di depan Erik, tubuh Ranti menegang. Dia terkesiap, bingung bercampur heran. Kenapa jadi dia? Ranti kira Erik akan menyatakan cinta kepada Lyana.
"Maaf sudah salah paham denganmu," ucap Erik menatap Ranti menyesal.
"Salah paham apa?" tanya Ranti memang tak mengerti.
"Waktu itu, saat aku ngajak kamu nonton ke bioskop, rencananya mau nembak kamu. Tapi, pas lihat kamu datang ke mal diantar cowok, aku pikir dia pacarmu."
Ranti mengulum bibir menahan tawa, dia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Lyana mengambil mikrofon satu lagi lalu diberikan kepada Ranti.
"Aku malah berpikir kamu enggak datang waktu itu. Kamu ngerjain aku."
"Aku datang kok, cuma pas lihat kamu turun dari boncengan cowok itu, aku lalu pulang."
"Kamu mau tahu dia siapa?"
"Aku sudah tahu. Dia sepupu kamu dari Bandung, kan?"
"Iya. Bagaimana kamu tahu?"
"Mara yang ngasih tahu. Mara juga yang sudah menyampaikan semua tentang perasaan kamu kepadaku. Kenapa kamu betah memendamnya?"
"Aku takut kamu tolak. Soalnya tiba-tiba sikapmu jadi dingin sama aku. Terus kayak menghindari aku terus."
"Maafin aku, ya? Sekarang aku sudah tahu semuanya. Berkat Mara." Erik menatap Mara yang masih berdiri di tempat yang sama. "Makasih, ya, Mara?" ucap Erik tersenyum manis. Mara mengacungkan kedua ibu jari, tanda oke. "Please jawab permintaanku ini. Aku akan mengucapkan sekali lagi, habis ini jangan memintaku untuk mengulang." Erik menarik napas dalam. Dia juga menggenggam tangan kiri Ranti karena tangan kanannya memegang mikrofon. "Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Lyana memberikan buket camilan kesukaan Ranti kepada Erik agar diberikan kepada gadis yang saat ini sedang menimbang keputusannya. Ini adalah momen spesial bagi Erik, Lyana berusaha sangat baik untuk membantunya; membuatkan buket camilan kesukaan Ranti sampai mengatur acara dadakan malam itu.
"Misalkan lo mau, terima buket ini. Kalau lo tolak, lo boleh turun dari panggung," ujar Erik mengulurkan buket ke depan Ranti.
"Te-ri-ma!" pekik Lyana girang hingga menciptakan riuh di kafe itu. Semua orang pun mengikuti Lyana. "Terima! Terima! Terima," pekik hampir seluruh pengunjung, kecuali Al dan teman-temannya, mereka masih memantau dari tempat duduk.
Melihat antusiasme Lyana membuat Mara terkejut. Dia pikir Lyana selama ini ancaman bagi sahabatnya, Ranti, untuk mendekati Erik. Ternyata dia salah paham kepada Lyana. Rasa bersalah menjalar ke sekujur tubuhnya.
Mara menatap nanar Lyana yang kegirangan berhasil membantu Erik meluruskan kesalahpahaman dengan Ranti dan memprovokasi pengunjung untuk berteriak 'terima' sebagai dukungan kepada Erik.
Ternyata selama ini gue udah salah paham sama Lyana, batin Mara menyesal. Maafin gue, Ly, lanjut dia masih menatap Lyana.
"Ayo dong, Kak Ranti. Terima!" bujuk Lyana mencolek lengan Ranti yang senyum malu.
"Ih, kalian bikin gue malu," ucap Ranti menutup wajah dengan tangan.
"Tapi seneng, kaaaan?" goda Lyana menyenggol lengan Ranti, semakin tersipulah wanita berparas cantik memiliki rambut panjang dan hitam itu.
"Ayo, Kak Ranti, ambil buketnya," bujuk Lyana lagi meyakinkan Ranti.
"Bismillah." Ranti pun mengambil buket tersebut. "Aku menerima kamu," lanjut Ranti tersenyum manis kepada Erik.
Lalu Erik memeluk Ranti hingga sedikit mengangkatnya. Kadang kita perlu menurunkan ego agar cinta bisa bicara. Semua pengunjung bertambah riuh dan tepuk tangan meriah. Lega perasaan Lyana bisa membantu Erik. Namun, bagaimana dengan urusannya sendiri?
#####
Nah, kapan nih Curut sama Kucing. Hahahaha
Untuk vote dan komennya makasih, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top