Bersitegang

Jam menunjukan pukul 20.00 WIB. Fahmi sudah pulang sejak sore tadi. Dia bersama Sandi sedang mengobrol di ruang tengah. Al pulang, wajahnya kusut. Dia menyangking tas kerja dan jas tersampir di lengan kanan. Dua kancing hemnya terbuka, memperlihatkan kaus putih.

"Selamat malam, Tuan Al," sapa Sandi sopan langsung berdiri mengambil tas dan jasnya.

"Malam," jawab Al singkat.

Ketika Al ingin berjalan mengarah tangga, Fahmi dengan suara lembut bertanya, "Sudah makan, Al?"

"Belum."

"Sini, duduk sebentar. Papi mau bicara."

"Soal apa?" sahut Al meski bernada datar, tetapi dia menoleh Fahmi.

"Duduk dulu dong. Sini." Fahmi menepuk sofa sebelahnya.

Al lelah yang ingin segera mandi terpaksa harus menuruti papinya. Dengan malas dia duduk di sofa sebelah Fahmi.

"Al, ada anak teman Papi yang mau kenalan sama kamu."

"Ck, Pi, aku enggak mau dijodoh-jodohin gitu, ya!"

"Papi enggak mau jodohin, cuma menyampaikan pesan rekan bisnis Papi."

"Enggak!"

"Tapi dia satu kampus sama kamu loh."

"Enggak peduli. Udah deh, Papi enggak usah ikut campur urusan pribadiku."

"Kamu kenapa sih kalau bicara sama Papi enggak bisa santai. Papi ini orang tuamu loh. Papi enggak pernah ngajarin kamu kurang ajar sama orang tua."

Al hanya berdecak dan mengembuskan napas kasar. Dia sangat malas menghadapi Fahmi.

"Besok malam dia mau ikut ke sini. Soalnya Papi mengundang orang tuanya makan malam di rumah kita. Kamu jangan malam-malam, ya, pulangnya."

"Aku besok banyak kerjaan. Aku lembur!" tolak Al mentah-mentah.

"Al, apa susahnya sih kenalan aja."

"Pi, aku enggak mau! Apa sih yang Papi mau dari pertemuan itu? Setelah aku kenalan sama dia, Papi mau aku nikahi dia. Gitu? Enggak bisa, Pi. Aku udah punya pilihan. Sampai sekarang pilihanku tetap sama!"

"Al, jangan berteriak kalau biacara sama Papi. Kalau Mami tahu, pasti dia sedih."

"Apa peduli Papi sama Mami? Hah! Bukannya Papi lebih senang kerja ketimbang nemenin Mami?"

Rahang Al mengeras berhadapan dengan Fahmi. Sudah lima tahun sejak meninggalnya Rina, mereka tak akur. Al terlalu menyalahkan Fahmi atas meninggalnya Rina. Saat itu, Al berusia lima belas tahun ketika Rina meninggal lantaran mengidap penyakit kanker darah.

"Papi cuma pengin kamu belajar menerima keadaan, Al," ucap Fahmi bernada santai, tetapi Al yang terpancing amarah setiap berhadapan dengan Fahmi.

"Keadaan apa yang Papi maksud, hah! Keadaan jika Mami meninggalkan kita karena keegoisan Papi. Iya!" sentak Al melebarkan matanya.

Dari balik bufet, Lyana mengintip perdebatan itu. Sari menyentuh pundak Lyana hingga tubuh imut itu terjengkit.

"Ada apa?" bisik Sari menyembulkan kepalanya ikut mengintip perdebatan bosnya.

"Biasa, Bu Sari. My big baby sama big boss berantem lagi." Lyana berbisik.

Fahmi mengalah, dia diam menahan emosinya agar tidak meledak. Lantas dengan perasaan jengkel Al pergi ke kamarnya.

"Sana susul dulu," titah Sari kepada Lyana.

"Iya, Bu."

Bergegas Lyana menyusul Al ke kamarnya. Sebelum masuk Lyana mengetuk pintu. Dia membukanya sedikit demi sedikit. Al sedang membuka hemnya, wajahnya masih terlihat kesal. Lyana masuk, tak ingin membuat suasana hati Al semakin kacau, dia bersikap biasa saja, tak ingin menjailinya.

"Lo mau berendam?"

"Enggak. Lo masak apa?"

"Kesukaan lo. Tumis kangkung campur udang sama tuna goreng."

"Bawain ke sini, ya? Gue males makan di bawah."

"Iya. Lo mau dibuatkan minum apa?"

"Apa aja. Yang penting hangat."

"Iya sudah. Lo mandi dulu deh, gue siapin."

Lyana lalu keluar dari kamar sedangkan Al membersihkan diri. Beberapa menit kemudian Lyana kembali ke kamar, Al sudah selesai mandi. Dia duduk di sofa sambil mengecek ponselnya.

"Gue habis ini mau keluar."

"Ke mana?" tanya Lyana menurunkan nampan berisi makan malam Al dan jeruk panas.

"Dugem sama Novel."

"Enggak bisa apa ke tempat yang lain?"

"Enggak!"

"Lo kenapa sih suka banget ke tempat begitu?"

"Gue lagi suntuk. Udah deh, lo jangan bawel."

"Biarin bawel, yang penting bikin lo bener."

Al menghela napas dalam, dia tak menghiraukan Lyana. Kepalanya terasa penuh, dia butuh hiburan. Al makan sedangkan Lyana membersihkan kamar mandi serta mengumpulkan pakaian kotor Al.

***

Mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam, Al duduk di samping pusaran yang ditumbuhi rumput hijau. Setangkai mawar merah tergeletak di atas makam. Lyana dengan sabar menemani Al, ikut berjongkok di sampingnya.

Dalam hati Al berkata, Mi, aku menemukan dia. Tapi dia sama sekali tidak mengingatku.

"Al, gue tinggal bentar, ya? Gue mau ke makam situ," ujar Lyana menunjuk nisan yang tak jauh dari mereka berada, tepat di bawah pohon beringin.

Setelah Al mengangguk, Lyana pun pergi. Karena di pemakaman yang sama, Lyana berpikir sekalian mampir ke makam orang tuanya. Dia memberi waktu untuk Al agar bisa leluasa bercerita kepada maminya.

Lyana membersihkan ketiga makam yang berjejer. Dia cabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. Lyana lalu menengadahkan tangan, sambil memejamkan mata, dia berdoa. Ketika membuka mata, Lyana terlonjak, Al sudah di sebelahnya.

"Ih, ngagetin aja!" Lyana memukul lengan kekar Al.

"Khusyuk amat doanya. Sampai enggak sadar orang jongkok di sebelah."

"Iyalah! Harus gitu!"

"Eh, Cing, gue mau tanya. Tapi jawab jujur, ya?"

"Iya. Tanya aja."

"Orang tua lo udah lama meninggal?"

"Kata Bibi sih, sekitar lima tahun lalu. Katanya waktu gue masih SMP kelas tiga."

"Kok katanya sih?"

"Iya, gue lupa."

"Ah, kejadian baru lima tahun lalu aja lupa." Sengaja Al mengatakan itu, untuk memastikan bahwa Lyana benar lupa ingatan.

"Beneran, Curut! Gue tuh enggak inget sama sekali masa lalu gue."

"Lo enggak ingat masa kecil lo gimana dulu? Lo tinggal di mana, teman lo siapa saja."

"Sama sekali!"

"Terus lo tahu kalau ini makan orang tua lo dari mana?"

"Bibi dong! Siapa lagi?"

"Katanya nenek sama adik lo di kampung. Kok orang tua lo dimakamin di sini sih?"

"Kalau dari cerita Bibi sih, dulu katanya keluarga gue pas mau berangkat melayat istri teman baik Papa, di jalan tol, mobil kami ditabrak truk yang remnya blong.  Dalam kecelakaan itu cuma gue sama Radit yang selamat. Kak Edo, Mama, sama Papa meninggal di tempat kejadian. Karena tidak memungkinkan membawa jenazah ke kampung, Bibi dan nenek memutuskan untuk dimakamin di sini. Gue terluka parah, katanya sempet koma juga. Waktu itu Bibi sama Nenek enggak punya uang, perusahaan Papa dijual buat biayai perawatan gue di rumah sakit yang koma sampai berbulan-bulan. Setelah gue sembuh, nenek bawa gue sama Radit ke kampung. Soalnya waktu itu perekonomian Bibi masih gonjang-ganjing. Nenek enggak mau ngerepotin Bibi."

Al mendapat jawaban, ternyata ini alasan papanya membeli PT Hunian Sejahtera milik Firdaus empat tahun lalu. Satu tahun sempat PT itu dimiliki orang lain. Karena tak menghasilkan akhirnya dijual lagi dan sampailah kabar itu di telinga Fahmi.

"Oooh, gitu? Terus lo punya keinginan miliki PT bokap lo itu enggak?"

"Hahahaha, ada-ada aja lo. Mana gue punya duit banyak. Buat ngirim ke kampung aja mikir-mikir."

"Namanya rezeki enggak tahu, kan, Cing. Tapi dari hati kecil lo gimana? Pengin enggak?"

"Penginlah! Apalagi itu usaha satu-satunya milik keluarga dan tinggalan bokap. Gila, siapa yang enggak pengin lanjutin. Minimal gue pengin jadi karyawannya," ujar Lyana terkikih.

"Lo tahu nama PT-nya?"

"Hehehehe, masalahnya itu. Gue enggak tahu. Bibi juga enggak pernah bilang. Setiap gue tanya soal masa lalu, belum apa-apa udah dimarahi."

"Bibi lo galak, ya?"

"Banget!"

Saat mereka sedang asyik mengobrol, rintikan air turun ke bumi. Langit yang tadi kelabu berubah gelap.

"Curut, hujan. Ayo pulang!" Lyana beranjak diikuti Al.

Mereka berlari, baru beberapa langkah hujan yang jatuh semakin banyak dan deras. Al melepas jaket jinsnya lalu memayungi dirinya dan Lyana.

"Mepet biar enggak basah lo," pekik Al langsung Lyana turuti.

Karena hujan terlalu deras, mereka berhenti di pintu masuk. Berteduh sampai hujan reda. Al mengibaskan jaketnya yang basah. Lyana bersandar di tembok sambil memeluk tubuhnya. Rambutnya lepek dan berantakan, dia membenarkan ikatan rambutnya yang longgar.

"Makan mi kuah enak nih," celetuk Al melirik Lyana.

"Iya, entar sampai rumah gue buatin."

"Pakai telor dua, ya? Setengah matang."

"Iya. Kalau udah sampai rumah."

Al berdiri di sebelah Lyana. Mereka sama-sama diam. Udara semakin dingin, Lyana menyembunyikan tubuhnya di belakang Al, supaya cipratan air yang lembut tidak mengenainya.

"Kedinginan lo?"

"Huum," jawab Lyana menggigil.

Tak mungkin Al memberikan jaketnya karena basah kuyup. Lantas dia mendekap tubuh mungil itu, memberikannya kehangatan dan melindungi Lyana agar tidak diterpa butiran air halus yang tertiup angin. Nyaman! Itulah yang Lyana rasakan.

#####

Sampai di sini bagaimana? Masih mau lanjut enggak? Hehehe
Masih panjang loh cerita ini. Semangat!

Makasih vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top