Awal Perubahan
Harusnya menjadi hari bahagia. Al keluar dari kamarnya, selama ini dia tinggal di hotel Wahid, salah satu hotel milik Fahmi. Sandi datang menemui Al.
"Selamat pagi, Mas Al," sapa Sandi setengah membungkuk.
"Pagi, Pak Sandi. Disuruh Papi apa?" tanya Al yang sudah bisa menebak, jika Sandi datang menemuinya pasti suruhan Fahmi. Tanpa menatap Sandi, dia terus berjalan ke arah lift.
"Maaf, Mas Al. Saya diminta Pak Fahmi untuk menanyakan keadaan Mas Al."
"Bilang sama Papi, saya sehat dan baik-baik saja," jawab Al melangkah ke lift diikuti Sandi. Menanyakan kabar saja pakai asistennya. Papi sudah tidak peduli lagi denganku. Kenapa tidak meneleponku dan menanyakan sendiri? Begitu pentingkah pekerjaannya daripada aku? Selama lift berjalan turun, hati dan pikiranya berkecamuk.
"Mas Al, Pak Fahmi ingin Anda pulang. Beliau menyiapkan sesuatu untuk Anda," ucap Sandi ketika Al melangkah keluar dari lift.
Al berhenti di tengah pintu lift lalu menoleh. "Jika saya pulang, apakah keadaan akan berubah?"
Terdiam! Bibir Sandi kelu, dia tidak bisa menjawab dan menjamin pertanyaan Al. Ketika Al membalikkan badan, Sandi berucap, "Selamat ulang tahun, Mas Al." Lalu pintu lift tertutup.
Hati Al berdesir, kenapa bukan Fahmi yang mengucapkan, malah Sandi. Pikiran Al kacau, dia pun pergi ke kampus.
***
Malam pun tiba, ini harusnya menjadi momen spesial, di mana keluarga berkumpul merayakan hari lahirnya. Namun, yang ada Al duduk sendiri di kafe, berteman dengan secangkir kopi dan kentang goreng.
Tak sengaja dari tempatnya duduk, Al sekilas seperti melihat seseorang yang dia kenal. Dia pun mempertajam pandangannya ke seorang pelayan. Karena sangat penasaran, Al pun mendekatinya.
"Ly," panggil Al memegang bahu wanita mungil yang sedang menjelaskan menu di salah satu meja pelanggan.
Orang itu menoleh, betapa terkejutnya Lyana melihat Al berdiri di sampingnya.
"Lo mau ngapain di sini? Lo ngikutin gue, ya?" tuduh Lyana setengah berbisik.
Bukannya menjawab, Al malah balik bertanya, "Lo ngapain di sini? Pakai celemek begini segala!" Al menarik celemek yang mengikat di penggang Lyana lalu membuang sembarangan.
"Kerjalah!" jawab Lyana judes.
Tertegun, Al tak habis pikir dengan isi kepala gadis di depannya itu. Kerja malam di kafe yang terkenal tempat tongkrongan ayam kampus dan om-om berduit. Lyana tidak tahu atau memang sengaja menutup mata demi mendapat uang?
"Ayo pulang!" Al menarik paksa Lyana.
"Eh, eh, eh, lo mau ngapain." Lyana memberontak menahan lengan Al yang menariknya.
Mereka menjadi pusat perhatian, bahkan teman-teman Lyana yang di belakang pun mengintip. Mara memanggil Erik yang sedang membuatkan kopi di belakang. Sedangkan Ranti sangat penasaran dengan pria itu.
"Tuh, Rik," tunjuk Mara ke arah Al yang sedang menarik Lyana.
Erik pun langsung berlari menghadang Al. "Heh! Lepaskan teman saya," ucap Erik sok jagoan, berdiri di depan Al.
Al menghela napas kasar, dia menatap Erik tajam.
"Apa urusan lo?" tanya Al tak sedikit pun melepas genggamannya dari pergelangan tangan Lyana.
"Eh, malah nyolot. Saya bicara baik-baik, ya? Anda ini siapa? Mau dibawa ke mana teman saya? Ini jam kerja, dia baru kemarin masuk dan tidak bisa dong seenaknya sendiri Anda bawa keluar begitu."
"Mas Erik, sudah, jangan diledenin." Lyana menahan bahu Erik agar tidak membuat masalah dengan Al.
"Mana manager lo? Gue mau bicara," tanya Al semakin erat menggenggam tangan Lyana.
"Lo mau apa sih? Gue butuh kerja, Al," ucap Lyana cemas, takut jika Al akan membuat ulah yang membuatnya keluar dari pekerjaannya.
"Enggak boleh!" sahut Al cepat meninggikan suaranya.
Ranti yang memiliki maksud tidak baik kepada Lyana pun memanggil manager kafe yang berada di ruanganya. Pria gagah, usia sekitar 30-an datang.
"Maaf, ada apa ini?" tanya orang itu terlihat bingung menatap Al dan Lyana bergantian.
"Mulai malam ini, dia keluar dari pekerjaannya," ucap Al tegas menunjuk Lyana.
"Al, tapi ...."
Ketika Lyana ingin membantah, Al mengeratkan genggamannya bermaksud agar Lyana diam. Padahal dalam hati, Lyana ingin sekali mencabik-cabik Al, tetapi karena saat ini menjadi tontonan banyak orang, Lyana menahan, dia menjaga image.
"Maaf, Mas. Tidak bisa seenaknya begitu keluar. Sebelum kerja, kami sudah menandatangi kesepakatan, jika karyawan masih masa pelatihan keluar maka dia akan dikenakan denda sebesar gaji satu bulan kerja," jelas manager itu sopan dan lembut.
Erik tersenyum meremehkan Al, dia belum tahu siapa sebenarnya Al. Kafe itu bisa saja Al beli, tetapi karena penampilannya yang biasa selayaknya pria muda yang hanya mengenakan kaus hitam, celana jins hitam, dan jaket kulit hitam, orang-orang di sana mengira dia dari kalangan biasa. Al tidak menjawab, dia menelepon seseorang.
"Tunggu lima menit," ucap Al bersikap santai.
Lyana malu setengah mati ditatap aneh orang-orang di sana. Dia menyembunyikan badan mungilnya di belakang Al yang gagah dan tinggi. Sedetik pun Al tidak melepaskan pergelangan Lyana.
Lima menit berlalu, dua pria dewasa berpakaian rapi masuk ke kafe. Mereka langsung menghadap Al.
"Selamat malam, Mas Al," sapa salah satu dari mereka setengah membungkukkan tubuhnya.
"Pak Sandi, tolong urus ini. Saya mau pergi," ucap Al bersikap tak acuh pada tatapan orang-orang yang terkejut melihat kedatangan Sandi dan lawyer pribadi Fahmi.
"Baik, Mas."
Setelah Sandi mengobrol dengan manager kafe itu, sambil menggenggam tangan Lyana, Al keluar dari kafe.
"Al, sebentar," ucap Lyana menahan tangan Al.
"Apa?" sahut Al lembut menoleh Lyana.
"Seragam sama celemeknya harus gue balikin."
"Enggak usah, ayo!"
"Al, tas gue sama baju ganti masih di dalam."
"Gampang, entar dibawa Pak Sandi."
Pasrah! Lyana hanya mengikuti Al. Ketika mereka sudah masuk mobil, Lyana langsung menatap Al tajam.
"Iiiiiih!" Lyana memukul lengan Al keras.
"Aw, sakit," rintih Al mengelus-elus lengannya.
"Lo tuh enggak mikir panjang, ya? Lo pikir gampang cari kerja? Gue butuh makan, lo enak tinggal minta," omel Lyana geram, antara ingin menangis, tetapi gengsi di depan Al.
Dari kedua mata Lyana yang berkaca-kaca, Al merasa iba. Tanpa membantah, Al melajukan mobilnya. Karena tak tahan, Lyana memalingkan wajahnya ke jendela, dan mengeluarkan sesak yang sedari tadi menghimpit dadanya. Dia menangis tanpa bersuara.
Dering ponsel Al mengusik ketenangan di mobil itu. Al menerima telepon dari tipe canggih tertempel di dashboard yang telah terhubung dengan ponselnya melalui bluetooth.
"Iya, Pak."
"Sudah beres, Mas. Tas sama pakaian teman Mas Al saya bawa."
"Oke, makasih, Pak. Taruh saja di hotel."
"Baik, Mas."
Al melajukan mobilnya ke hotel, Lyana masih sibuk meratapi nasibnya. Bagaimana besok dia akan mencari uang untuk menyambung hidupnya?
Sampai di hotel, Al memarkirkan mobilnya di depan teras.
"Ayo turun," ajak Al melepas sabuk pengamannya.
Lyana bingung, dia celingukan. "Kok ke sini? Lo mau macam-macam, ya?"
Tanpa pedulikan tatapan curiga Lyana, Al lebih dulu turun. Lyana pun segera mengikutinya. Sampai di lobi hotel, Sandi mendekati Al membawa tas dan plastik putih berisi pakaian ganti Lyana. Sambil setengah membungkuk, Sandi memberikan tas itu kepada Lyana.
"Terima kasih," ucap Lyana menerima barangnya.
"Sama-sama, Nona," balas Sandi sopan.
"Ayo, gue antar pulang," ucap Al ingin membalikkan badan.
Namun, terhenti dengan ucapan Sandi, "Mas Al, ditunggu Pak Fahmi di rumah. Ada hal sangat penting yang ingin disampaikan kepada Mas Al."
Setelah beberapa menit berpikir, Al menyahut, "Tunggu saja di rumah. Habis ini saya ke sana."
Bergegas Al meninggalkan Sandi yang setia berdiri di teras hotel. Meskipun dalam kepalanya timbul banyak tanda tanya, tetapi Lyana berusaha diam tidak ingin ikut campur urusan Al terlalu dalam.
Tin! Al membunyikan klaksonnya agar Lyana yang masih mematung di teras hotel segera masuk ke mobil.
"Aish, dasar cowok egois," gerutu Lyana terdengar Sandi. "Pak, sekali lagi terima kasih," ucap Lyana sedikit sungkan dan beberapa kali membungkukkan setengah badannya.
"Sama-sama, Non. Hati-hati di jalan," ucap Sandi mengiringi Lyana yang tergesa-gesa menuruni beberapa anak tangga menuju mobil Al.
Al menginjak gasnya, melajukan mobil keluar dari halaman hotel. Sandi segera menghubungi Fahmi, melaporkan apa pun yang dia tahu tentang Al hari ini.
Di jalan, mereka saling bungkam, sesekali Lyana menoleh Al. Namun, pria tampan di sampingnya itu fokus menatap jalanan dan sesekali seperti pandangannya kosong. Al terlihat punya banyak pikiran dan rahasia.
Siapa sebenarnya dia? Kenapa kadang dia baik dan kadang membuatku jengkel? Sangat misterius. Lyana membatin, selama perjalanan, otaknya dicumbui berbagai pertanyaan tentang Al, tetapi dia enggan menanyakan langsung padanya.
Setelah mengantar Lyana, bergegas Al ke rumah lama yang penuh dengan kenangan manis, tetapi menyakitkan bagi Al. Selama rumah yang satunya direnovasi, Fahmi dan pegawai lainnya tinggal di sana kecuali Al.
Dua bulan Rina meninggal, Fahmi mengajak Al pindah ke rumah baru karena kondisi Al yang saat itu sangat terpukul dan mudah marah bahkan Al sangat sulit diatur. Fahmi takut akan mempengaruhi psikis Al.
Sampai di rumah megah bercat putih, model Eropa, Al turun dari mobil dan langsung masuk. Di ruang tamu ternyata sudah ada Sandi yang menunggunya.
"Mana Papi?" tanya Al tanpa basa-basi.
"Di ruang kerja, Mas."
Al melangkah lebar mencari Fahmi langsung ke ruang kerjanya. Rumah ini memiliki banyak memori di tiap sudutnya. Setiap masuk ke ruangan rumah itu, hati Al nyeri, bagaikan tersayat sembilu. Kenangan bersama maminya menyebar di seluruh penjuru. Sebab itu, Al tidak mau tinggal di rumah itu karena setiap detik teringat almarhumah. Dia bakalan tersiksa dengan kenangan-kenangan indah itu.
Setelah mengetuk pintu, Al membukanya. Dalam ruangan, pencahayaan remang, hanya lampu meja kerja yang menyala. Fahmi duduk santai di kursi kerjanya.
"Sini, Al. Papi mau bicara," ujar Fahmi menunjuk kursi depannya agar Al duduk.
Tanpa menyahut, Al menurut. Dia duduk di kursi itu lalu bertanya, "Kenapa Papi menyuruhku ke sini?"
Fahmi tak ingin basa-basi, dia menegakkan duduknya.
"Al, perusahaan kita sudah semakin berkembang. Properti atau furnitur, kamu harus pilih salah satu. Papi tidak sanggup lagi jika memegang keduanya. Apalagi, sekarang Papi sudah merasa lelah bekerja, waktunya kamu terjun ke dunia bisnis. Perusahaan butuh pemuda milineal yang bisa berinovasi dan kreatif. Persaingan semakin ketat, kalah dengan pasaran, kita bakal tersisih."
Terdiam, Al memikirkan sesuatu, dia menyusun rencana. Kurang lebih 30 menit mereka saling diam, Fahmi sangat sabar menunggu jawaban Al.
"Baik, Pi. Al pilih properti," ujar Al yakin sangat mengejutkan Fahmi.
Fahmi pikir, Al bakalan menolak dan mereka akan melewati percekcokan dan perdebatan sengit seperti yang sudah-sudah. Namun, ini di luar dugaan, dengan mudah Al memutuskannya. Fahmi tersenyum tipis, dia menyambut bahagia.
"Baik, mulai kapan?" tanya Fahmi siap menghubungi pengacaranya.
"Sebelum mulai, aku ada satu permintaan."
"Apa? Katakan saja, Papi akan berusaha," ujar Fahmi antusias.
Malam itu menjadi perbincangan serius antara Al dan Fahmi yang sudah lama tidak terjadi. Mereka menandatangani kesepakatan di atas materai, Fahmi menyetujui permintaan Al.
***
Terik matahari siang ini sangat menyengat. Sejak pagi Lyana belum makan, dia tidak punya uang.
"Ya Allah, berikan hamba petunjuk," ucap Lyana yang bercucuran peluh sambil menuntun sepedanya menyusuri trotoar.
Lyana menginjak sesuatu, dia berhenti lalu mengambilnya. Lyana membaca brosur tersebut.
"Wah, lumayan nih."
Bergegas Lyana mengayuh sepedanya ke alamat tersebut. Sampai di sebuah rumah mewah, dia langsung memencet bel yang ada di samping gerbang menjulang tinggi itu. Seorang penjaga rumah membukakan gerbang.
"Selamat siang," ucap Lyana setelah orang itu keluar.
"Siang, ada yang bisa saya bantu?"
"Benar rumah ini sedang mecari baby sitter?"
"Oh, iya, benar. Atas nama siapa?"
"Lyana."
"Baik, tolong tunggu sebentar."
Penjaga itu masuk ke pos dan menghubungi seseorang. Setelahnya, dia keluar lagi menemui Lyana.
"Mbak, silakan masuk."
"Baik. Terima kasih," ucap Lyana lalu menuntun sepedanya melewati gerbang.
"Sandarin sini dulu sepedanya, ya?" titah penjaga tadi yang mengantar Lyana sampai pelataran.
"Baik." Lyana pun menyandarkan sepedanya di depan teras. Segera dia mengikuti penjaga itu masuk ke rumah.
Di ruang tamu, sudah ada Fahmi duduk sendiri yang sengaja menunggu setelah mendapat telepon dari penjaga rumah tadi.
"Silakan duduk," perintah Fahmi setelah menjabat tangan Lyana.
Dada Lyana berdebar-debar, tubuhnya tegang. Ini seperti berhadapan dengan HRD, duduk menjadi tak nyaman. Dia pikir menjadi baby sitter pekerjaan yang mudah karena dia menyukai anak-anak dan sudah berpengalaman menjaga Radit yang waktu itu masih kecil. Untuk jadwal kuliah, dia akan bicarakan agar tidak mengganggu pekerjaannya.
Sesi wawancara pun dimulai, Fahmi menanyakan dan mengetes minat dan kemampuan Lyana. Dengan tegas dan lancar Lyana menjawab semua pertanyaan Fahmi, jujur apa adanya.
"Baiklah, tunggu dua atau tiga hari lagi. Staf saya akan menjemput kamu di rumah atau menghubungi kamu," ujar Fahmi setelah Lyana mengisi data diri di selembar kertas yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya," ucap Lyana ramah sambil berdiri.
Setelah berpamitan, Lyana pun keluar dari rumah itu. Dia pikir rumah itu membutuhkan baby sitter untuk merawat bayi. Ini kali pertama Lyana bertemu Fahmi dan tidak mengetahui jika rumah tersebut juga milik Al.
Berharap Lyana dapat diterima bekerja di sana, dalam perjalanan pulang, dia selalu berdoa dalam hati.
Sampai rumah, Lyana terkejut, dia melihat keadaan sudah terang. Bergegas dia menyandarkan sepedanya dan masuk. Baru membuka pintu, teriakan itu memekakkan telinganya.
"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Jadi gini kerjaan kamu kalau Bibi tinggal? Kelayapan enggak jelas!" omel Tiara.
"Maaf, Bi. Tadi tuh aku ...."
"Ash! Banyak alasan!" potong Tiara sebelum Lyana menjelaskan. "Sana ke dapur, bantuin masak, besok kita jualan." Tiara beranjak ke kamarnya.
Mata Lyana melotot, dia terkejut. Baru juga bibinya datang dari perjalanan jauh, mau langsung jualan.
"Gila! Dasar, pohon pisang! Punya jantung enggak punya hati," gerutu Lyana sebal kepada bibinya.
Beginilah yang membuat Lyana tidak betah tinggal bersama bibinya. Terkekang, sudah lelah ditambah lelah, dan tidak bisa bersenang-senang sebagaimana layaknya anak muda seusianya. Selain itu, Lyana juga tidak mendapatkan upah layak sesuai dengan tenaga yang sudah dia keluarkan.
Meski lelah, sekujur tubuhnya pegal-pegal, Lyana tetap terjun ke dapur setelah meletakkan tasnya di kamar. Beberapa selentingan terdengar, ada yang mengeluh lelah, ada juga yang tidak betah bekerja terlalu dipaksa.
"Memangnya kalian tadi sampai sini jam berapa?" tanya Lyana tak tahan mendengarkan curahan hati pegawai Tiara yang sibuk bekerja di dapur.
"Magrib tadi, Ly, kami datang langsung diminta belanja terus nyambung masak," jawab salah satu dari mereka.
"Ya Allah, enggak ada waktu buat istirahat?"
"Enggak ada, Ly. Habis taruh tas di rumah, kami langsung ke sini. Badanku terasa remuk, tulang-tulang seperti mau lepas," keluh Hayati, yang biasa meracik bumbu-bumbu.
Lyana iba melihat wajah lelah mereka, bibinya keterlaluan. Dia tidak memikirkan kesehatan karyawannya. Yang ada dalam pikirannya hanya uang dan usaha.
Rencana pergi tiga hari, berubah jadi satu minggu lebih. Sudah meninggalkan Lyana tanpa uang jajan, sekarang dipaksa kerja. Kejam!
***
Tiga hari di rumah bersama Tiara terasa seperti berabad-abad, Lyana semakin tersiksa. Sekarang pekerjaannya bertambah, tidak hanya membantu memasak dan mengantar pesanan, tetapi juga melayani pembeli karena salah satu pelayan berhenti bekerja.
Dua orang bertubuh tegap dan berseragam serba hitam masuk ke warung makan yang malam ini cukup ramai. Peluh membanjiri dahi Lyana, bahkan rambutnya jadi lepek.
"Selamat datang," pekik Lyana berusaha ramah dan semangat melayani pengunjung walaupun sekujur tubuhnya pegal.
Dua orang itu duduk, Lyana memberikan menu beserta pulpen dan kertas.
"Silakan ditulis pesanannya," ucap Lyana sopan sambil tersenyum.
"Kami ke sini tidak ingin makan, tapi mencari gadis bernama Margaretha Lyana Firdaus."
Lyana terkejut, sejak kapan dia berurusan dengan orang-orang itu?
"Kalau boleh tahu, ada urusan apa, ya?" tanya Lyana menatap kedua orang yang sedari tadi seperti meneliti setiap inci wajahnya.
"Maaf, boleh kami langsung bertemu orangnya? Menurut alamat yang dituliskan dalam data diri, di sini tempat tinggalnya."
Data diri? batin Lyana mengingat-ingat. "Oooh, kalian suruhannya Pak Fahmi?" tebak Lyana setelah teringat sesuatu.
"Iya, benar. Nona ini siapa?" tanya salah satu dari mereka.
"Saya Margaretha Lyana Firdaus." Lyana menjabat tangan mereka bergantian.
"Oh, beda, ya, dengan di foto?"
"Maklum saja, di foto kan, sudah cuci muka, kalau ini wajah glowing minyak goreng, hehehe," canda Lyana mencairkan suasana formal yang sedari tadi terjadi di antara mereka.
Kedua orang itu terkekeh, mereka pun menjelaskan tujuannya datang ke tempat itu. Malam ini juga, Lyana harus ikut bersama mereka. Meski awalnya harus melalui perdebatan dengan Tiara, tetapi akhirnya Lyana bisa lepas darinya.
Namun dengan satu syarat, Lyana setiap bulan harus memberi Tiara uang 500 ribu sebagai cicilan biaya kuliahnya yang sudah dibayarkan dua semester. Lyana menyetujuinya, dengan gaji yang akan dia terima nanti, 500 ribu tidaklah besar karena gaji yang ditawarkan 10 juta per bulan.
######
Part ini lumayan panjang, biar kalian puas bacanya. Terima kasih banyak yang sudah sabar menunggu.
Banyuwangi, 3 Desember 2019
Pukul : 14.33 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top