Aku Minta Maaf
Lyana tidak tahu jika Edo datang bersama Gea. Sejak dua hari lalu, mereka sudah berkencan, Edo akan datang ke kampung Lyana. Tibalah hari ini, pesawat yang Edo naiki landing di Semarang. Lyana dan Radit menunggu di tempat kedatangan.
"Coba, Mbak, di WA lagi. Takutnya kesasar," ucap Radit yang mulai bosan menunggu karena mereka di bandara sejak dua jam lalu.
"Sabar. Mana mungkin kesasar."
Tak berapa lama setelah Lyana mengatupkan bibir, Edo terlihat mencangklong ransel berjalan ke arahnya. Lyana melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Namun, senyum itu pudar ketika melihat Gea muncul dari belakang Edo.
Gea? Ngapain dia ikut? batin Lyana menurunkan tangannya.
Gea yang melihat perubahan raut wajah Lyana langsung berhenti. Edo pun ikut berhenti dan menunggunya.
"Do, kayaknya Lyana enggak suka deh gue ikut. Gue takut," ujar Gea tak berani melihat Lyana yang sudah menunggu mereka di depan pintu kedatangan.
"Ah, perasaan lo itu! Ayo, kasihan mereka menunggu!" Edo menarik tangan Gea yang juga mencangklong ransel.
Sambil menunduk Gea mengikuti Edo. Ketika Edo sampai di depan Lyana, dia langsung memeluk ala sahabat akrab. Sedangkan Gea masih setia menunduk, menahan cemas dan takut jika Lyana tidak menerima kehadirannya.
"Apa kabar, Ly? Kok makin kurus sih?" tanya Edo setelah melepas pelukan mereka.
"Masa? Perasaan biasa aja tuh," jawab Lyana tersenyum bahagia melihat Edo yang tak pernah disangka bakalan datang menemuinya.
Pandangan Lyana tertuju kepada Gea yang bersembunyi di belakang Edo. Senyum jahil dan kerlingan Lyana terlempar untuk Edo.
"Apaan sih," ucap Edo lirih paham maksud kerlingan dan senyuman Lyana itu. "Dia yang mau ikut," tambah Edo supaya Lyana tak berpikir macam-macam padanya.
"Masa?" goda Lyana.
"Serius! Tanya aja sendiri." Edo bergeser, Gea masih menunduk, malu bercampur takut mau menatap Lyana.
"Ge," sapa Lyana lebih dulu.
Bukannya menyahut, Gea malah menangis. Edo dan Lyana bingung.
"Loh, loh, loh, kok lo nangis sih, Ge," ujar Edo merengkuh bahu Gea dan mengusapnya.
"Gue malu, Do," ujar Gea lirih di tengah tangisnya.
"Malu kenapa?" tanya Edo heran.
Lyana dan Radit mengerutkan dahi, mereka juga kebingungan.
"Gue udah salah sama Lyana. Gue malu."
Lyana yang mendengar itu lalu mendekat dan merangkul Gea.
"Lo ngapain malu sih, Ge? Biasa aja kali!" ujar Lyana mencairkan suasana.
Toh dia juga tidak dendam dengan Gea, meskipun kata-kata Gea waktu itu sangat menyakitkan.
"Gue malu sama lo, gue udah ngatain lo ..."
"Udah, enggak sah diingat lagi. Gue udah lupa. Niat lo ke sini mau liburan, kan? Ya udah, lepasin beban lo, kita happy-happy di sini," sahut Lyana berbesar hati memaafkan semua kesalahan Gea.
Justru tangis Gea semakin keras, sampai beberapa orang menoleh ketika lewat di depan mereka.
"Ge, udah dong. Jangan malu-maluin," ucap Edo mengusap air mata Gea dengan telapaknya.
"Kalau lo masih nangis, gue tinggal sini loh," ancam Lyana karena malu dilihat banyak orang.
Tangis Gea melirih, dia memberanikan diri menatap Lyana. Justru rasa bersalah menjalar semakin dalam. Air matanya kembali berlomba-lomba mengalir di pipinya.
"Ly ...," ucap Gea pelan di tengah sesenggukan.
"Beneran gue tinggal lo di sini," ujar Lyana sok dibikin sebal. "Ayo, Do, kita jalan!" Lyana menarik tangan Edo.
"Gue jangan ditinggal!" pekik Gea mengejar Edo, Lyana, dan Radit yang melangkah lebar meninggalkan bandara.
Sahabat sejati adalah orang yang berani mengakui kesalahannya dan dengan lapang dada meminta maaf.
Sampai di parkiran, mereka naik mobil Avanza hitam yang Lyana sewa, tentu sekaligus dengan sopirnya.
"Ayo, Lek, kita pulang!" ajak Radit duduk di depan. Sedangkan Lyana, Edo, dan Gea duduk di belakang.
"Ayo!" ujar pria paruh baya, berkumis, pemilik mobil tersebut.
Dia tetangga Lyana yang biasa menyewakan mobilnya. Meskipun Lyana sudah bisa nyetir mobil, dia tidak mau ambil risiko---menyetir mobil orang lain.
"Mbak Lyana, ini langsung pulang atau mampir ke mana dulu?" tanya sang sopir setelah mereka keluar dari bandara.
"Langsung pulang aja, Lek Darto. Kasihan Mbah sendiri di rumah."
"Oke, siap!"
Mobil pun melaju membelah jalanan kota Semarang menuju Salatiga. Selama perjalanan Lyana berusaha mengajak Gea ngobrol agar suasana canggung di antara mereka mencair.
"Ly, kenapa lo keluar dari rumah Al?" tanya Edo di tengah perbincangan mereka.
"Enggak apa-apa. Gue mau balik bantuin Bibi Tiara aja," jawab Lyana tersenyum lebar, agar terlihat seolah dia baik-baik saja. Padahal dalam hatinya sangat sakit.
"Gara-gara gue, ya?" sahut Gea lagi-lagi sedih dan merasa bersalah.
"Idih, PD banget sih lo!" Lyana menutupi kebenarannya.
Memang salah satu alasannya keluar ingin menjaga perasaan Gea supaya tidak cemburu padanya. Namun, ada hal selain itu. Lyana takut jatuh cinta kepada Al. Padahal sebenarnya memang dia sudah jatuh cinta padanya.
"Gue cuma pengin punya banyak waktu di kampung kok," lanjut Lyana dengan senyum simpul lalu merangkul Gea.
"Bener?" Gea tak langsung percaya begitu saja.
"Iya, Ge." Lyana berusaha meyakinkan Gea.
"Ternyata lo sahabat terbaik gue, Ly." Gea memeluk Lyana dan kembali menangis.
Besar rasa penyesalan dalam hatinya. Seandainya saja dia bisa menarik ucapannya dulu, pasti Gea sudah lakukan. Namun, itu mustahil, kan? Ucapan yang sudah terlontar tak akan mungkin bisa ditarik lagi.
Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di rumah sederhana Surti. Edo dan Gea pertama melihat rumah itu tercengang. Ternyata kehidupan Lyana di kampung benar-benar memprihatinkan, pantas saja dia bekerja keras di kota.
"Maaf, ya, Ge, Do, rumah gue apa adanya begini. Enggak ada tembok, cuma papan," ujar Lyana sesampainya mereka di pelataran.
"Enggak masalah, Ly. Yang penting nyaman dan tenang. Udaranya masih sejuk." Edo menghirup udara dalam. "Aaaah, segar! Gue merasa tenang di sini," ujar Edo melepas napasnya kasar sambil tersenyum ke arah Lyana.
"Bener! Pikiran gue juga kayak fresh gitu," timpal Gea.
"Ya udah, sekarang kita masuk yuk!"
Sementara mereka masuk, Radit mengurus pembayaran sewa mobil. Dia ikut bersama Lek Darto ke rumahnya.
"Assalamua'alaikum," pekik Lyana melangkah masuk ke rumah diikuti Edo dan Gea.
"Wa'alaikumsalam," sahut Surti muncul dari arah belakang rumah.
Edo dan Gea langsung menyalami Surti. Tak lupa juga mencium tangannya. Setelah basa-basi sebentar, mereka pun beristirahat di lantai, hanya beralaskan tikar. Lyana membuatkan minum. Sedangkan Surti pergi ke sawah.
"Eh, pasti kalian sudah pada lapar, kan?" tanya Lyana setelah satu jam mereka ngobrol.
Gea dan Edo saling pandang, sebenarnya mereka memang sudah lapar, tetapi malu dan sungkan. Lyana paham, dia tersenyum tipis.
"Selama kalian di sini, anggap aja seperti rumah sendiri. Tapi, keadaannya apa adanya. Beginilah! Kamar mandi di belakang, deket sumur. Kalau mau mandi, BAB, pipis, di belakang. Sumurnya deket dapur kok, enggak keluar rumah," papar Lyana agar Gea dan Edo nyaman di rumah itu dan tidak lagi sungkan.
"Iya, Ly," sahut mereka bareng.
"Ayo, kita makan!" ajak Lyana beranjak diikuti Edo dan Gea. Mereka langsung ke dapur.
Melihat dapur yang sederhana, Gea dan Edo bingung. Tak ada meja makan, lalu mereka duduk di mana? Lyana mengambilkan piring untuk mereka.
"Ambil sendiri, ya?" ujar Lyana membuka tudung saji.
Berjejer tiga piring berisi ayam goreng, sayur genjer, dan sambal terasi. Gea mengerutkan dahi melihat sayur tumis kecokelatan itu.
"Ly, ini apa?" Gea ragu saat ingin mengambilnya.
"Udah, makan aja dulu. Kalau enggak suka, singkirin di pinggir," ujar Lyana selesai mengambil nasi dan lauk.
Edo juga ragu saat ingin mengambil sayur itu. Namun, karena menghargai Lyana, akhirnya dia ambil. Mereka ikut Lyana duduk di lantai. Suapan pertama, Gea tidak memakai sayur. Melihat Lyana lahap dan memakan sayur itu tampak biasa, akhirnya dia menyicipi.
"Wow, pedes!" ucap Gea membelalakkan mata. "Tapi enak. Ada manis, gurih. Enak, enak, enak," ucap Gea semangat memakannya.
Edo yang awalnya ragu, mendengar komentar Gea lalu ikut mencicipi sayur itu. Suapan kesekian dia juga merasakan nikmat, hanya saja Edo diam dan menikmati setiap kunyahannya.
"Ly, gue boleh nambah enggak?" tanya Gea malu-malu, sayur genjernya kurang karena tadi dia ambil sedikit.
"Boleh, habiskan dah. Entar masak lagi."
"Gue juga, ya, Ly?" sahut Edo beranjak mengikuti Gea.
Lyana senang, teman-temannya menyukai masakan sederhana itu. Selesai makan, Gea membantu Lyana mencuci piring.
"Ly, Radit sama Mbah Surti ke mana? Kok enggak kelihatan dari tadi?" tanya Gea sambil mengelap tangannya dengan lap kering.
"Biasa, di sawah. Kan, mau panen, ngusir burung pipit."
"Radit biarpun ganteng enggak malu, ya, ke sawah?" ujar Gea terkikih.
"Kalau dia mikir malu, perut enggak keisi, Ge. Makan gengsi mana kenyang?"
"Bener!"
"Ayo, ke depan!"
Mereka menyusul Edo yang bersantai di ruang tamu. Karena kekenyangan ditambah udara sejuk, mata Edo jadi berat.
"Assalamua'alaikum," ucap seseorang datang dan langsung masuk ke rumah.
"Wa'alaikumsalam," sahut Lyana dan Gea bersamaan. Mata Edo langsung terbuka dan melihat ke arah pintu.
"Loh, Bibi?" ujar Lyana terkejut melihat Tiara datang. Namun, dia tidak sendiri. Tiara datang bersama dua pria dewasa. Lyana tercengang, mulutnya sampai menganga. Tak hanya Lyana, Gea pun sangat terkejut. Bagaimana bisa mereka sampai di sana?
#####
Hai, beberapa hari aku sibuk banget. Tetangga ada yang mau nikahin anaknya, minta bantuan buat ngurus konsumsi. Maaf, ya, baru sempat update.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top