Akhirnya

Setelah mengantarkan Al ke hotel, Lyana langsung mengayuh sepedanya dengan cepat karena jalanan yang dilewati sepi.

"Hah, akhirnya," desah Lyana setelah masuk ke rumah.

Dia menyalakan lampu dan meletakkan tas serta sepatunya di kamar terlebih dahulu sebelum mandi.

Suara guyuran air terdengar. Sepuluh menit kemudian Lyana keluar dengan badan yang segar.

Kruuk

Lyana memegang perutnya. Gadis itu membuka lemari pendingin dan menemukan telur dan beberapa sosis. Akhirnya dia mulai berperang dengan peralatan masak.

"Mmmmm, enak banget sih masakan gue," ujarnya memuji diri sendiri.

Tiba-tiba terlintas satu ide cemerlang yang bisa menyambung hidupnya selama tiga hari ini.

"Kenapa gue enggak jualan makanan aja ke kampus!"

***

"Guys, ada yang mau beli sarapan enggak? Gue hari ini jualan nih!" pekik Lyana tanpa malu.

"Wah, kebetulan, Ly, gue belum sarapan," balas salah satu temannya.

Dagangan Lyana pun laris manis hanya tersisa satu.

"Ly, tapi beneran ini enak banget. Ajarin gue masak dong, biar nanti kalau gue nikah sama ...."

"Hai, Gea!" sapa Al memutus pembicaraan Gea.

"Ha-ha-hai, Al," balas Gea gagap dengan jantung yang berdebar cepat.

"Mau ngapain lo ke sini?" tanya Lyana jutek.

Al menoleh dan tersenyum mengejek, "Kucing, enggak boleh galak gitu dong sama majikan."

Mata Lyana mendelik saat melihat Al mengambil dagangannya yang tersisa satu.

"Eh, mau dibawa ke mana, Curut!"

Al berhenti dan menoleh. "Mau gue makanlah, gue belum sarapan. Lo tahu kan, keadaan gue semalem, mana mungkin gue bisa sarapan?" jawab Al yang membuat mata Lyana melotot dan munculnya tanda tanya besar di kepala Gea.

Setelah Al pergi, Gea heboh mengerecoki Lyana dengan berbagai pertanyaan yang membuat Lyana pusing.

***

Lyana sedang memilah dan mencari buku yang ada di perpustakaan kampus. Gea sudah pulang terlebih dahulu karena keluarganya dari Bali datang.

"Masakan lo enak juga, Cing."

"Astaga!" pekik Lyana terkejut mendapati Al sedang bersandar di salah satu rak.

"Curut, lo bisa enggak sih kalau datang salam dulu, enggak ngagetin. Jadi kayak curut beneran lo!" gerutu Lyana sebal.

Melihat bibir mengerucut Lyana, Al jadi gemas dan tersenyum kecil. Lyana menoleh melihat Al tersenyum sendiri.

"Heh, ngapain lo senyum-senyum sendiri? Gila,  ya, lo!"

Al yang terkejut langsung menghilangkan senyumnya.

"Enggak, siapa yang senyum."

Lyana mengedikkan bahu, berlalu dari hadapan Al. Namun, Al masih terus mengikutinya.

"Lo ngapain ngikutin gue sih?" ujar Lyana kesal.

"Gue besok mau pesen makanan lo lagi dong."

"Asal lo bayar aja, enggak kayak tadi."

"Iya deh, tapi kalo inget," ujar Al membuat Lyana melotot.

Belum membalas perkataan Al, HP Lyana berdering.

"Ya, Bi?" jawab Lyana saat telepon telah terhubung oleh Tiara.

"..."

"Oke, Bi. Oke,"

"..."

"Iya, Bibi, juga hati-hati di sana," balas Lyana lembut.

"Tumben lembut, lagi kesambet apaan, ya?" ucapnya setelah sambungan terputus.

"Siapa?" Lyana melirik, ternyata Al masih berdiri di sampingnya.

"Bibi gue," balas Lyana judes.

"Bibi lo kenapa?"

"Astaga, lo kepo banget sih!" gerutu Lyana kesal meninggalkan Al.

"Awas, Ly!" Al mendorong Lyana menjauh.

Bruk.

Tanpa diduga Lyana menabrak seseorang yang sedang membawa buku bertumpuk. Mata Lyana melebar saat melihat Al tergeletak dengan mata tertutup.

"Heh, Curut. Bangun!" ujar Lyana dengan menepuk pipi Al.

"Lo sih, makanya kalau bawa buku itu jangan banyak-banyak," gerutu Lyana pada laki-laki cupu yang jongkok di sampingnya.

"Yang nabrak kan lo," katanya dengan takut.

"Pokoknya lo yang salah!" Al yang hanya pura-pura pingsan tersenyum. Lyana yang mengetahui langsung menepuk mulut Al kencang.

"Dasar! Lo pura-pura, kan!"

Al langsung tertawa kencang. Lyana bersungut-sungut dan terus memukul tubuh kekar Al.

"Aw, aw, aw. Stop, Ly," kekeh Al.

"Nyebelin banget sih lo, Curut!" geram Lyana langsung keluar dari perpustakaan.

Al yang masih berdiri di tempat, tersenyum melihat polah Lyana.

***

Dua minggu berlalu, Tiara juga belum kembali dan Lyana pun tidak bisa lagi berjualan karena hasil tak seberapa hingga dia tidak bisa mengirim uang untuk nenek dan adiknya.

Kini, gadis itu mendapatkan pekerjaan di Kafe Gemilang yang memperbolehkan dia mulai bekerja sepulang kuliah.

"Lyana, ya?" tanya seorang berpakain waitters.

"Iya, Mas ... Erik," balas Lyana dengan memperhatikan name tag yang berada di dada kiri laki-laki hitam manis yang berada di hapadannya.

"Ayo, masuk," ajaknya menuju satu ruangan yang sepertinya untuk karyawan. Di situ terdapat beberapa loker.

"Ini seragam lo. Setelah ini, gue antar ke ruangan Pak Firman, ya?"

"Pak Firman siapa, Mas?"

"Dia owner kedai ini. Udah cepet ganti."

"Mas," panggil Lyana lagi. Erik berbalik dengan wajah kesal.

"Toilet di mana?"

Erik menepuk jidatnya. "Belum gue kasih tahu, ya?" Lyana menggeleng dengan tampang polos. "Pintu itu, belok kiri, lurus aja," papar Erik menunjuk salah satu pintu yang berada di pojok ruangan.

"Kayak lagu dong, Mas," gurau Lyana yang membuat laki-laki manis itu tertawa.

"Udah, sana ganti dulu," balas Erik mendorong Lyana.

Mereka sudah terlihat akrab, padahal baru saja bertemu. Itu karena sikap Lyana yang supel dan ramah. Kecuali pada curut satu itu.

"Gimana kerja hari pertamanya, Ly?" tanya Ranti salah satu rekannya.

"Seru, Kak," balas Lyana sambil tersenyum.

"Satu kopi untuk karyawan baru kita," ujar Erik menyodorkan satu cup kopi untuk Lyana.

"Wah, makasih, Mas," pekik Lyana senang.

"Sama-sama," balas Erik mengacak rambut Lyana.

Ranti yang berada di samping Lyana tersenyum melihat perlakuan Erik kepada Lyana.

"Udah, yok, pulang. Ran, lo balik bareng gue yuk," ajak Mara, gadis yang sejak awal tidak suka dengan kedatangan Lyana.

"Ly, kakak duluan, ya?" pamit Ranti.

"Iya, Kak. Hati-hati, sampai ketemu besok."

"Rik, gue duluan, ya?" pamit Ranti kepada Erik yang sedang melepas apron. Namun, Erik tak menjawab.

"Mas, Kak Ranti pamit ini," kata Lyana menyolek lengan Erik.

"Ha? Oh, iya, hati-hati," balasnya langsung meninggalkan Lyana menuju pintu kedai.

"Yaudah, Kakak duluan, ya, Ly." Lyana yang mengangguk.

Sebenarnya Lyana ingin tahu ada apa di antara Erik dan Ranti, tapi tidak sopan kalau baru kenal langsung bertanya yang macam-macam.

"Lo pulang naik apa, Ly?" tanya Erik setelah mereka sampai di belakang kedai.

"Tuh." Lyana menunjuk sepeda kesayangannya. Erik melirik jam yang berada di tangan. Pukul setengah sepuluh malam.

"Gue anterin, ya? Udah malem."

"Tenang, Mas, aku udah biasa kok. Lagian rumah Mas Erik kan, berlawanan arah. Santuyyy. Yaudah, aku duluan, ya, Mas. Daahhhhh," pekik Lyana mulai mengayuh sepedanya menjauh dari kedai.

Erik tersenyum melihat teman barunya itu. Menggemaskan.

######

dianapuspitasari24
Halooooo, bagaimana kabarnya? Masih sabar menunggu?

Banyuwangi, 23 November 2019
Pukul 07.12 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top