#8
Danisa melangkah lesu begitu keluar dari toko kelontong milik Nyonya Hong untuk meminta izin tidak masuk kerja. Penyakit darah tinggi yang diidap Ayah Danisa kambuh lagi pagi tadi dan membuat Danisa sedikit cemas. Pasalnya ia harus merawat Ayah jika dalam keadaan seperti ini. Ia harus membeli obat untuk Ayahnya yang tinggal beberapa butir, menyiapkan makanan serta obat-obatan. Belum lagi ia harus berjualan gorengan agar ia tetap mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sepulang dari toko milik Nyonya Hong, Danisa bergegas menuju apotik yang berada tak jauh dari pintu masuk pasar. Ia harus membeli obat untuk Ayahnya sebelum benar-benar kehabisan. Tak lupa ia membeli bahan-bahan gorengan seperti biasa.
Saat gadis itu menapaki jalan gang menuju rumahnya, Danisa berpapasan dengan Fanny, tetangga sekaligus kakak kelasnya semasa SMU. Fanny baru saja keluar dari rumah menuju ke kampus.
"Berangkat kuliah, Kak?" sapa Danisa ramah. Gadis itu melempar senyum hangat.
"Iya, Nis," sahut Fanny juga melempar senyum. "pulang dari pasar?"
"Iya, Kak," balas Danisa seraya menunjukkan kedua tangannya yang membawa dua kantung kresek berisi bahan-bahan gorengan.
"Aku berangkat kuliah dulu, ya," pamit Fanny seraya melambaikan tangan kanannya ke arah Danisa. Gadis itu mempercepat langkahnya agar tiba di depan mulut gang tepat waktu dan tidak ketinggalan angkot langganannya.
Danisa mengangguk pelan. Gadis itu melanjutkan langkahnya kembali dengan langkah tergesa. Ayahnya sedang menunggu di rumah.
Sesungguhnya jauh di dalam hati Danisa terbesit rasa iri pada Fanny yang lebih beruntung darinya. Gadis itu terlahir dari keluarga yang berada. Ia memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil, sedang ibunya memiliki usaha jahitan di rumah. Ia bisa mengenyam pendidikan bangku kuliah yang sangat diidam-idamkan Danisa. Tapi, apalah daya Danisa. Ia terlahir sebagai gadis yang kurang beruntung. Ibunya meninggalkan Danisa dan Ayah untuk menikah lagi dengan orang yang lebih kaya. Sedang Ayah Danisa terpaksa berhenti dari pekerjaannya di pabrik karena sakit.
Tapi, Danisa tetap menjalani hidupnya dengan tegar. Karena menyerah bukanlah pilihan, bukan?
"Danisa pulang, Yah," seru Danisa sembari meletakkan belanjaannya di atas lantai tepat di depan pintu dapur. Gadis itu melangkah ke kamar Ayah untuk melihat kondisinya serta meletakkan obat yang baru saja ia beli di apotik.
"Sudah pulang, Nis?" sambut Ayah begitu tahu putrinya sudah pulang. Ia berusaha bangkit namun Danisa melarangnya.
"Ayah tidur saja," suruh Danisa. Gadis itu membenahi selimut yang menutupi tubuh Ayahnya. "Danisa sudah membeli obat untuk Ayah tadi."
Setelah menyiapkan obat dan makanan untuk Ayah, Danisa bergegas menyiapkan semua bahan-bahan gorengannya. Ia harus bekerja lebih keras lagi hari ini. Juga besok.
***
Danisa mengetuk pintu kamar Liam perlahan. Ia harus membawa nampan sarapan Liam menggunakan sebelah tangan agar bisa mengetuk pintu atau ia akan mendapat omelan seperti beberapa hari yang lalu.
Liam masih berada di tempat yang sama dengan posisi yang sama pula. Seperti tak pernah beranjak dari tempat itu. Hanya pakaiannya saja yang berbeda. Kali ini Liam mengenakan sebuah kemeja panjang berwarna putih bersih dengan ujung lengan yang ditekuk ke siku. Berpadu dengan celana pendek cargo selutut. Ia tampak sangat berbeda dari biasanya. Di mata Danisa justru terlihat aneh. Ia malah tampak seperti bukan Liam yang biasa. Liam yang biasa ia kenal adalah seorang pemuda yang selalu memakai sweater bahan rajut dan sebuah celana katun longgar.
"Aku membawakan sarapan untukmu," ucap Danisa sembari meletakkan nampan sarapan di atas meja. Ia melirik wajah Liam sekilas dan menemukan keanehan di sana. Wajah Liam tampak pucat. Apa ia sakit?
"Kupikir kamu sudah menyerah," gumam Liam dengan sepasang mata menatap lurus ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Ia masih belum bosan menatap benda itu entah sejak kapan. Sebuah senyum pahit dan samar menghias bibirnya.
Danisa ikut mengembangkan senyum pahit.
"Jadi, kamu senang kalau aku menyerah?" tanya Danisa dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Tentu saja," balas Liam dengan cepat. Ia memutar kursi rodanya agar bisa menatap Danisa lebih jelas. "aku pasti akan merayakannya kalau kamu benar-benar pergi dari sini."
Danisa melenguh. Ia tidak akan terkejut mendapat perlakuan semacam ini dari Liam. Ia sudah menyiapkan mentalnya semenjak tahu orang macam apa Liam itu.
"Aku memang akan pergi dari sini, tapi nggak sekarang. Jadi, kamu nggak usah repot-repot mengusirku," ucap Danisa dibuat sekalem mungkin. Seakan itu adalah pukulan telak bagi Liam. Untuk meruntuhkan keangkuhannya, jika itu bisa.
"Oh," gumam Liam. "jadi, ke mana kamu dua hari ini? Tanpa seizinku kamu nggak boleh bolos kerja seenaknya seperti itu, kamu mengerti?"
Oh, Danisa nyengir. Sombong sekali, batin gadis itu sebal. Seolah-olah Liam-lah yang menggajinya. Tapi, Danisa masih bisa menahan amarahnya.
"Ayahku sakit," ucap Danisa sejurus kemudian. Entah ia akan percaya atau tidak, itu bukan urusan Danisa. "aku sudah meminta izin pada mamamu. Kalau dia nggak memberi tahu kamu, itu bukan urusanku," tegas gadis itu.
"Kenapa kamu nggak berhenti kerja sekalian?" desak Liam belum puas akan jawaban yang diberikan Danisa. Pemuda itu melayangkan tatapan angkuhnya kepada Danisa.
Duh, orang ini benar-benar kelewatan, batin Danisa jengkel.
"Bukankah aku sudah pernah bilang, aku akan pergi. Tapi, nggak sekarang. Aku punya ikatan kontrak dengan Cik Hong, kamu paham?" Danisa menaikkan nada suaranya satu tingkat karena didera emosi yang ingin sekali dimuntahkannya.
"Kontrak?" Liam menautkan kedua alisnya yang agak tipis. Ia tampak terkejut mendengar penjelasan Danisa yang terdengar sedikit janggal. "kontrak apa memangnya?" ulang Liam kemudian.
Danisa menghela napas. Ia tidak mungkin menceritakan 'aib' nya sendiri pada Liam kan?
"Kamu nggak perlu tahu," ucap Danisa akhirnya. "sebaiknya kamu makan sarapanmu dan setelah itu aku bisa membawamu jalan-jalan di luar," suruh gadis itu setengah memaksa.
"Aku nggak suka jalan-jalan di luar," celutuk Liam persis anak kecil. Sampai-sampai Danisa kesal mendengar pernyataan Liam yang terdengar manja itu.
"Oh, jadi, kamu nggak suka jalan-jalan di luar? Memangnya kamu vampir? Kamu takut sinar matahari akan membuatmu terbakar lalu hilang menjadi debu?" celoteh Danisa menyahut. Gadis itu mengeluarkan semua unek-unek yang berkecamuk di dalam hatinya. "pantas saja kulitmu pucat karena kamu nggak pernah terkena sinar matahari pagi. Padahal sinar matahari pagi bagus buat tulang kamu, mungkin juga bisa untuk terapi kaki kamu," imbuh Danisa masih dengan gaya bawelnya.
"Hei, sekarang kamu berani menceramahiku, ya?" hardik Liam setelah Danisa selesai mengoceh panjang lebar. "tahu apa kamu tentang kakiku, hah?"
Danisa menekuk kepalanya dalam-dalam. Gadis itu merutuki kebawelannya barusan. Satu lagi kesalahan telah dibuatnya. Padahal Danisa hanya ingin membujuk Liam agar tidak terus menerus mengurung diri di dalam kamar. Tapi, mungkin Danisa salah memilih kata-kata.
"Maaf, aku tadi cuma... "
"Aku mau makan dulu," potong Liam cepat sebelum gadis itu sempat melanjutkan kalimatnya.
"Baik."
"Dan jangan mengajakku bicara selama aku makan," pesan Liam sembari melirik sekilas pada Danisa yang berdiri kaku tak jauh dari kursi rodanya.
"Iya," sahut Danisa seraya menggerutu dalam hati. Kenapa Liam yang gantian bawel sekarang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top