#5

Danisa melangkahkan sepasang kakinya dengan gerakan ringan menapaki jalanan gang sempit menuju ke rumahnya. Sesekali gadis itu menyapa beberapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya, ada beberapa juga yang duduk-duduk santai di depan rumah menikmati sore sembari mengawasi anak-anak kecil yang bermain. Danisa mengenal semua orang di lingkungannya karena gadis itu ramah dan memiliki sisi hangat dalam dirinya.

Gadis itu tercekat setelah tiba di depan rumah. Ayahnya telah menggelar dagangan seperti yang biasa ia lakukan. Meja yang telah terisi aneka gorengan di atasnya. Padahal pagi tadi saat Danisa pamit, Ayah belum melakukan apa-apa sama sekali.

"Ayah," sapa Danisa seraya melangkah pelan ke arah Ayah yang sedang duduk di belakang meja, menunggu pelanggan setia datang untuk membeli gorengannya. "kenapa Ayah jualan sendirian?"

"Nggak pa pa, Nisa," sahut Ayah seraya mengembangkan senyum. "Ayah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, kok. Badan Ayah juga sudah agak enteng. Kalau dibuat gerak seperti ini, sakit Ayah pasti akan lebih cepat sembuh," ucap Ayah.

Danisa tak menyahut. Gadis itu menepuk pundak Ayah pelan dan mengambil tempat duduk tak jauh dari kursi yang diduduki Ayah. Sejak Ayah menderita penyakit jantung dan darah tinggi, ia memang melarang Ayahnya untuk bekerja. Tapi, terkadang saat ia tidak ada di rumah, Ayah mengambil beberapa tugasnya di rumah. Mencuci piring atau bersih-bersih misalnya.

"Bagaimana pekerjaanmu, Nis?" sentak Ayah membuyarkan lamunan putrinya.

"Baik, Yah," jawab Danisa pendek.

"Selama kamu bekerja, Ayah bisa berjualan. Kasihan kamu kalau harus berjualan sepulang bekerja. Lagian kamu bekerja juga untuk melunasi utang kita," papar Ayah seraya menatap ke arah jalan sempit di depan rumah mereka. Ada beberapa anak kecil yang berlarian di sana seraya berteriak kegirangan.

"Tapi Ayah jangan memaksakan diri, kalau capek istirahat saja," timpal Danisa seperti biasa. Gadis itu akan melemparkan nasihat-nasihat ringan kepada Ayahnya.

"Iya," sahut Ayah.

Danisa bergegas masuk dan bersiap-siap mandi. Setelah itu ia berencana menggantikan tugas Ayah berjualan gorengan.

***

Danisa melangkah mantap sembari membawa nampan berisi sarapan untuk Liam. Sepasang roti tawar yang telah diisi selai kacang dan dipanggang sebelumnya. Segelas susu dan beberapa keping biskuit. Sarapan yang sama dan di jam yang sama. Rasanya sarapan di jam 9 sedikit terlambat, tapi, itulah kebiasaan Liam yang baru Danisa tahu dua hari ini.

Gadis itu menghirup napas dalam-dalam  dan mempersiapkan mentalnya sebelum mengetuk pintu kamar Liam. Setelah ketukan kedua barulah ia membuka pintu di hadapannya dengan gerakan pelan dan hati-hati.

Pemuda itu duduk di atas kursi roda menghadap ke arah jendela kaca yang tertutup tirai tipis. Seingat Danisa, kemarin Liam juga memakai sebuah sweater berbahan rajut berwarna cokelat tua dan sekarang pemuda itu juga memakai sweater. Hanya saja dengan bahan berbeda dan warna yang beda pula. Kali ini ia memakai sweater dengan bahan yang lebih tipis dan berwarna biru laut. Tampak serasi dengan warna kulitnya yang putih.

"Sarapan datang," ucap Danisa seraya meletakkan nampan di tangannya ke atas meja tak jauh dari tempat Liam duduk.

Liam menoleh. Dengan tatapan dingin ia mencermati sosok gadis pelayan baru itu.

"Kamu tampak aneh memakai seragam itu," ucap Liam mengomentari seragam baru yang diberikan Nyonya Giok pada Danisa tadi pagi.

Danisa tak menyahut. Gadis itu hanya menghela napas demi menjaga emosinya agar tidak terpancing oleh kata-kata Liam. Gadis itu hanya berusaha bekerja dengan sebaik mungkin agar ia tidak bernasib sama dengan para 'pendahulunya' yang keluar masuk rumah ini. Hanya untuk tiga bulan saja dan setelah itu selesai. Utang lunas!

Liam mulai menikmati sarapannya, sedangkan Danisa berdiri menunggu tak jauh darinya. Hanya berjarak beberapa langkah. Namun, siapa sangka sarapan kali ini tidak berjalan semulus kemarin.

Prang!

Gelas susu milik Liam tiba-tiba saja sudah mendarat di atas lantai. Pecah berkeping-keping dan isinya meluber ke lantai keramik di bawah kaki meja.

"Kamu nggak pa pa?" Danisa yang terkejut segera mendekat dan memeriksa keadaan Liam. Barangkali ia terkena tumpahan susu atau pecahan gelas.

Tak ada. Liam baik-baik saja. Tidak terkena tumpahan susu maupun pecahan gelas. Pemuda itu tampak tenang seolah tidak pernah terjadi insiden apapun.

"Ada apa, Danisa?" Tiba-tiba Nyonya Giok muncul di ambang pintu. Wanita itu tampak kaget setelah melihat gelas susu di atas lantai yang kini sudah menjadi kepingan-kepingan kaca.

"Gadis ini sengaja menjatuhkan gelas susuku," ucap Liam sebelum Danisa sempat membuka mulutnya. Pemuda itu memasang wajah serius.

Danisa terbelalak mendengar ucapan Liam barusan. Kok bisa? batin Danisa heran. Liam tahu bahwa Danisa sama sekali tidak melakukan apa-apa, tapi, kenapa ia mengatakan hal itu pada Nyonya Giok.

Nyonya Giok mendesah pelan. Tak berkomentar atau memarahi Danisa. Wanita itu memanggil Kinan dan menyuruhnya membersihkan pecahan gelas beserta tumpahan susu. Sedang Danisa tak bisa berbuat apa-apa. Mau membela diripun juga Nyonya Giok tak memarahinya. Gadis itu hanya bisa memendam kekesalannya sampai akhirnya Nyonya Giok dan Kinan pergi dari kamar Liam.

"Maksudmu sebenarnya apa, sih?" Danisa menyerang Liam saat hanya ada mereka berdua di dalam kamar itu. Gadis itu melancarkan tatapan tajam ke arah Liam. Andai saja ia tidak lumpuh, mungkin Danisa sudah meninju muka Liam habis-habisan sampai pemuda itu babak belur.

Tapi, apa yang dilakukan Liam? Pemuda itu menyunggingkan senyum kecut di sudut bibirnya. Ia telah menunjukkan sifat aslinya, licik!

"Itu adalah ujian pertamamu bekerja di sini," sahut Liam kemudian. Terdengar kalem dan santai. Tak ada rasa bersalah ataupun menyesal tersirat di wajahnya.

Oh. Danisa mendesis geram. Ujian?

"Jadi, kamu melakukan hal kotor seperti itu untuk mengusir para pelayan yang bekerja di sini?" Danisa sudah bisa menangkap maksud Liam yang sebenarnya. Jebakan kotornya benar-benar sempurna, tapi, sayangnya Nyonya Giok tidak merespon. Mungkin wanita itu sudah tahu jika insiden itu hanyalah akal licik Liam. Atau mungkin hal seperti itu sudah pernah terjadi sebelumnya.

"Kamu benar," jawab Liam enteng.

Danisa balas tersenyum pahit. Ia tak habis pikir melihat Liam. Fisik dan otaknya sama-sama perlu diperbaiki secepatnya. Secepatnya!

"Tenang saja, apapun ujian yang kamu berikan akan aku terima dengan sabar. Tapi, bukan berarti aku akan bekerja di sini selamanya," tandas Danisa sembari melempar senyum penuh arti.

"Oh." Liam juga melempar senyum licik kepada Danisa. "jadi, berapa lama kamu akan bekerja di sini?" tanya Liam tampak ingin tahu.

"Kenapa? Kamu ingin mengusirku cepat-cepat dari sini?" desak Danisa seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Liam. Gadis itu mengerutkan alisnya yang tidak begitu tebal. Alis yang diwariskan Ayah untuknya.

Liam tertawa kali ini mendengar ucapan Danisa. Sebenarnya jika dilihat kembali, Liam tidaklah begitu buruk. Pemuda itu memiliki sisi ketampanan yang lumayan menarik. Sepasang mata yang tidak begitu lebar, hidung yang kecil dan sedikit tinggi, rahang yang kokoh, pipi yang agak tirus, dan bibirnya bisa dimasukkan dalam kategori seksi. Posturnya juga tinggi dan memiliki warna kulit yang putih, ciri khas ras Tionghoa. Hanya saja kelakuan minus yang dimilikinya meruntuhkan semua ketampanan fisik pemuda itu. Dan Danisa merasa jijik jika harus mengakui ketanpanan Liam!

"Ternyata kamu nggak sebodoh yang kukira," ucap Liam usai menghentikan gelaknya. "jadi, berapa lama kamu akan tahan menghadapi ujian dariku?" Liam menatap lurus kepada gadis yang kini bersidekap di depannya. Tampaknya peperangan akan segera dimulai.

Danisa tersenyum pahit. Liam benar-benar ingin mengajaknya perang.

"Menurutmu berapa lama?" Danisa malah melontarkan pertanyaan.

"Seminggu?" Liam setengah menebak karena ia tidak yakin dengan pikirannya.

"Kita lihat saja nanti." Danisa lebih melebarkan senyumnya menatap Liam yang tampak sedang menduga-duga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top