#4
"Kamu pelayan baru?"
Suara Liam terdengar bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh ke arah Danisa. Gadis itu berdiri kaku di belakang kursi roda milik Liam. Kedua tangannya masih erat menggenggam pegangan kursi roda.
"Iya," jawab Danisa. "namaku Danisa." Gadis itu memperkenalkan dirinya.
"Oh," gumam Liam. Ia menyunggingkan sebuah senyum tipis di sudut bibirnya. "sebelumnya juga ada pelayan baru seperti kamu, tapi, hanya bertahan selama seminggu di sini," tandas Liam.
Danisa mengerutkan kening. Gadis itu belum berhasil mencerna maksud ucapan Liam.
"Maksud kamu?" tanya Danisa kelihatan bodoh.
"Yeah, nggak ada yang betah bekerja di sini," jelas Liam. Tampaknya ia menyimpan maksud tersembunyi di balik ucapannya. Mungkin saja pelayan yang ia maksud, tidak betah bekerja karena dirinya. Begitukah?
"Kenapa?" tanya Danisa cepat.
Liam malah meledakkan tawanya. "Kamu itu bodoh, ya." Di hari pertama Danisa bekerja, ia sudah dibilang bodoh. Gadis itu nyaris kehilangan akal. "mana ada orang yang mau merawat orang lumpuh sepertiku," lanjut Liam kembali.
Oh, begitu. Danisa menelan ludah. Setidaknya ia membenarkan ucapan Liam. Jarang ada orang yang mau merawat orang dengan keterbatasan fisik seperti Liam. Dan pasti akan sangat membosankan menemani hari-hari Liam yang harus duduk di atas kursi roda. Tapi, Danisa hanya perlu menjalani pekerjaan ini selama tiga bulan. Semua demi pelunasan utang dan Danisa pasti bisa melaluinya!
"Kalau kamu ingin berhenti, sekaranglah saatnya," ucap Liam. Ia menoleh kembali ke arah Danisa yang masih berdiri kaku di tempatnya.
"Kamu ingin menakutiku?" balas Danisa sedikit menunjukkan keberaniannya.
"Bukan." Liam menghela napas panjang. "aku hanya memperingatkan."
Danisa tersenyum tipis. Tapi, Liam tidak pernah mengetahuinya. Karena pemuda itu kembali menatap ke depan.
"Kamu ingin jalan lagi?" tanya Danisa tidak menggubris ucapan Liam sebelumnya. Gadis itu telah bersiap mendorong kursi roda milik Liam.
"Aku mau balik ke kamar."
Hah? Danisa membelalakkan matanya. Mereka baru saja keluar kamar dan sekarang Liam meminta Danisa untuk mengantarkannya kembali ke sana. Bukankah di kamar itu sangat membosankan?
"Kamu dengar nggak, sih?" Liam sedikit menyentak kali ini. Membuyarkan keterpakuan Danisa.
"Iya, iya," sahut gadis itu tergagap. Ia mendorong kursi roda itu kembali masuk seperti permintaan Liam. Gadis itu tidak habis pikir dengan Liam. Sebenarnya orang seperti apa Liam itu?
Danisa menghentikan kursi roda Liam tepat di depan jendela persis seperti saat ia menemukan Liam pertama kali. Gadis itu berinisiatif membuka tirai tipis yang menutup jendela kaca. Setidaknya Liam bisa menikmati pemandangan di luar sana tanpa terhalang tirai.
"Jangan dibuka!"
Gerakan tangan Danisa terhenti seketika saat terdengar teriakan Liam yang sedikit keras. Gadis itu menoleh ke arah Liam dengan keheranan. Ternyata pemuda kurus itu bisa berteriak juga? batin Danisa konyol.
"Kenapa?" tanya Danisa tidak mengerti dengan pemikiran Liam. Bukankah mayoritas orang akan senang memandang ke luar jendela untuk sekadar melamun, mencari inspirasi, atau memandang rintik hujan. Tapi, kenapa Liam malah melarangnya membuka tirai. Apa ia lebih senang dengan suasana kamar seperti ini? Tanpa sinar matahari.
"Aku bilang jangan dibuka, ya, jangan dibuka. Nggak usah banyak tanya," ucap Liam terdengar sedikit ketus.
Galak sekali, desis Danisa kesal. Kenapa sikap pemuda itu sangat berlebihan padanya, padahal itu hanya soal kecil dan ia meluapkan kemarahan seperti itu pada Danisa. Benar-benar keterlaluan.
"Pergilah."
"Hah?" Danisa mengangakan mulutnya usai mendengar perintah Liam. Ia menyuruh Danisa pergi? Sebuah pengusiran itu namanya. "pergi?" Gadis itu masih bertanya padahal ucapan Liam begitu jelas tertangkap gendang telinganya.
"Ya, gadis bodoh," olok Liam kasar.
Oh, desis Danisa tercengang. Apa ia tidak salah dengar? Gadis itu masih belum percaya jika Liam baru saja meyebutnya gadis bodoh. Ia benar-benar tertipu dengan penampilan fisik Liam yang tampak lemah. Hanya kakinya saja yang lumpuh, bukan mulutnya. Mulut dan otaknya sama-sama sehat, tapi, sepertinya kurang pendidikan moral. Danisa sempat salah menilai Liam. Ternyata Liam tidak jauh beda dengan Nyonya Hong. Malah lebih parah. Apa orang kaya selalu bersikap semena-mena seperti itu pada orang miskin? batin Danisa mengoceh tak karuan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja dan ia sudah mendapat makian seperti itu. Bagaimana dengan jangka waktu tiga bulan ke depan? Apa akan lebih parah dari ini? Apa ia akan sanggup menjalaninya?
"Ada apa, Danisa?"
Danisa tertegun mendengar teguran Bik Nah yang sudah berdiri di hadapannya. Wanita itu sedang membawa sebuah wadah berisi kentang yang sedianya akan dikupas, tapi, tiba-tiba Danisa masuk ke dapur dengan wajah yang ditekuk.
"Nggak pa pa, Bik," sahut Danisa seraya tersenyum kecil. Wajahnya telah berubah cerah dalam seketika. "sini biar Danisa bantu," tawar gadis itu seraya merebut wadah kentang itu dari tangan Bik Nah. Wanita itu tak bisa berbuat apa-apa selain menurut kehendak Danisa.
"Memangnya kamu nggak menemani Koko Liam?" tanya Bik Nah seraya mengikuti perbuatan Danisa yang mengambil tempat duduk di atas sebuah kursi yang khusus disediakan di dapur. Selama mengerjakan sesuatu Bik Nah biasa duduk di sana, mengurus sayuran atau makan misalnya.
"Tadi," sahut Danisa. Gadis itu mulai mengupas kentang di depannya. "sekarang nggak. Dia menyuruhku pergi. Mungkin dia lebih senang sendiri ketimbang ditemani," papar Danisa datar.
"Oh," gumam Bik Nah seraya manggut-manggut. "kamu harus sabar menghadapi dia. Sebelumnya juga ada beberapa orang yang bekerja di sini, tapi, semuanya nggak bertahan lama," ungkap Bik Nah.
"Apa karena Liam?" Danisa menghentikan gerakan pisaunya dan beralih menatap ke arah Bik Nah.
Bik Nah mengangguk dengan gerakan pelan.
"Semua orang di rumah ini sudah tahu sifat Koko Liam," ucap Bik Nah dengan berbisik. Ia melirik ke arah pintu dapur sekadar memastikan tidak ada yang mendengar suaranya sedang bergosip, terlebih Nyonya Giok. Jika wanita itu tahu ia sedang bergosip tentang Liam, tidak tahu apa yang bakal diterimanya nanti. Mungkin Nyonya Giok akan mengomel habis-habisan. "sebelumnya dia tidak sejahat itu. Sejak kecelakaan yang menimpanya dua tahun yang lalu, dia jadi berubah seperti itu."
Oh. Danisa mendengarkan pemaparan Bik Nah dengan antusias. Tampaknya kehidupan di rumah ini tidak baik-baik saja. Sebenarnya Danisa tidak suka bergosip, tapi, karena ia bekerja di rumah ini, segala sesuatu yang berhubungan dengan anggota keluarga Nyonya Hong agaknya menarik untuk diikuti.
"Kok, kamu ada di sini, Danisa?"
Danisa dan Bik Nah sama-sama terkejut mendengar teguran dari bibir Nyonya Giok. Wanita itu tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur dan untungnya saat itu Bik Nah sedang berhenti bicara.
"Ah, iya," sahut Danisa tergagap. Gadis itu segera berdiri dari tempat duduknya karena gerakan refleks. "tadi Koko Liam menyuruh saya pergi, Nyonya," jelas Danisa dengan suara terbata.
Nyonya Giok mengangguk usai mendengar penjelasan Danisa. Wanita itu tampak maklum.
"Baiklah, kalau begitu kamu bantu Bik Nah. Nanti siang kamu antar makanan untuk Liam," ucap Nyonya Giok kemudian.
"Baik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top