#27
"Kebetulan lu datang, Liam."
Nyonya Hong bangkit dari atas sofa begitu melihat putra kesayangannya memasuki ruang tamu. Seorang gadis muda berperawakan ramping dan berkulit putih pucat, ikut-ikutan bangkit dari tempat duduknya. Ia menyunggingkan senyum manis melihat Liam datang.
"Lu masih ingat Lily kan?" tegur Nyonya Hong kemudian. Mencoba mengurai ingatan Liam tentang gadis di sampingnya.
Liam tertegun di tempatnya. Bukan karena takjub melihat seorang gadis yang kini berdiri di samping mamanya. Ya, dia masih ingat dengan gadis itu. Lily Wang, gadis yang semasa kecilnya pernah menjadi teman Liam di sekolah taman kanak-kanak. Ia tak berbeda dengan gadis peranakan Tionghoa kebanyakan. Ia terlihat modis dengan rok pendek longgar yang membuat kakinya tampak lebih jenjang. Rambut panjang lurus yang diwarnai dengan cat rambut blonde, mata sipit, dan Liam merasa wajah gadis itu sangat membosankan meskipun ia cantik.
"Hai, Liam," sapa Lily menegur kediaman Liam. Ia mengurai senyum terbaiknya. "kamu masih ingat aku kan?"
"Ya," sahut Liam malas. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa ketertarikan sama sekali terhadap gadis itu meski hanya untuk sekedar menanyakan kabarnya. Malahan pemuda itu telah mengambil ancang-ancang untuk bersiap melangkah ke dalam kamarnya.
"Kamu tahu, Liam," Nyonya Hong mengambil tempat untuk berbicara di antara mereka tepat sebelum Liam berhasil melaksanakan niatnya pergi dari ruang tamu. "ternyata Lily sudah selesai wisuda dan dia sekarang bekerja di perusahaan asing, lho. Dan kabar baiknya lagi dia nggak punya pacar. Benar kan?" Nyonya Hong melempar senyum kepada gadis di sampingnya.
Liam paham modus yang tersembunyi di balik kalimat-kalimat yang baru saja dilontarkan Nyonya Hong. Pemuda itu memasang senyum sinis di ujung bibirnya.
"Jadi, maksud mama... "
Kalimat Liam terhenti karena Nyonya Hong memutusnya dengan sigap.
"Ya, Liam. Mama akan senang sekali jika kalian bisa berteman baik. Siapa tahu kalian cocok dan bisa berhubungan lebih dekat lagi," tandas Nyonya Hong sembari tersenyum. Lily Wang yang masih berdiri di sampingnya pun ikut tersenyum malu-malu.
Dasar rubah betina, desis Liam dalam hati. Wanita itu benar-benar licik.
"Tapi sayangnya aku sudah punya pilihan, Ma," timpal Liam sengaja ingin mempermalukan mamanya di depan Lily Wang, sekaligus ingin mematahkan hati gadis itu sebelum ia berharap padanya terlalu jauh.
Nyonya Hong langsung menunjukkan ekspresi geramnya ke hadapan Liam. Namun, sebisa mungkin ditahannya di depan gadis itu untuk menjaga gengsi dirinya.
"Liam hanya bercanda," ucap Nyonya Hong menimpali. "biasalah, memang banyak yang suka pada Liam. Kamu tahu kan, dia sangat populer di kalangan teman-temannya," imbuhnya.
"Nggak, Ma. Aku sangat serius," ujar Liam dengan nada datar. Ia tidak bercanda seperti ucapan mamanya yang hanya ingin menutupi status putranya.
Lily Wang tampak bingung. Gadis itu menatap Nyonya Hong lalu Liam bergantian dengan tatapan tak mengerti. Sepertinya anak dan ibu sedang terlibat salah paham.
"Liam," desis Nyonya Hong kesal melihat Liam sengaja ingin menjatuhkan harga dirinya di depan gadis itu.
"Iya, Ma. Dan aku sudah memutuskan akan menikahinya," ujar Liam sembari melempar senyum kepada Nyonya Hong. Juga Lily Wang. "kalian ngobrol aja dengan santai. Aku akan mencari udara segar di luar," ucap Liam bermaksud pamit dari hadapan mamanya dan gadis itu.
"Liam!"
Tapi, Liam seolah menutup telinganya rapat-rapat dan tidak menggubris teriakan Nyonya Hong. Pemuda itu terus melangkah meninggalkan ruang tamu meski gelap sudah turun di depan mata saat ia menutup pintu depan.
"Liam."
Liam mendesah kesal. Namanya disebut lagi dan lagi. Kali ini bukan mamanya tapi Nyonya Giok. Wanita itu menghadang Liam di teras.
"Mau ke mana, Liam? Kamu kan baru saja datang," ucap Nyonya Giok bermaksud mencegah niat pemuda itu.
"Pergi," sahut Liam agak ketus. "aku akan mencari udara segar. Rumah ini terlalu pengap dan panas," keluh Liam dengan mengibas-ibaskan tangannya. Berlagak seolah rumah itu benar-benar panas seperti ucapannya. Padahal itu hanya sindiran kecil untuk mamanya.
"Jangan pergi, Liam," cegah wanita itu menunjukkan kecemasannya. "jangan menuruti emosimu. Berpikirlah dengan jernih. Mamamu hanya ingin yang terbaik buat kamu. Dia melakukan itu karena dia sangat menyayangimu. Percayalah," tutur Nyonya Giok dengan lembut. Wanita itu berbaik hati menasihati Liam. Ia mencoba mengetuk hati anak itu dengan kalimatnya.
"Terima kasih atas nasihatnya, Nyonya," sahut Liam sembari tersenyum tipis. "tapi, aku benar-benar ingin mencari udara segar sekarang. Jadi, biarkan aku pergi, ok?"
Seperti yang ia lakukan sebelumnya, Liam tidak menggubris ucapan Nyonya Giok dan bergegas menuju ke garasi di mana mobil kesayangannya menunggu. Meski baru beberapa saat yang lalu ia meninggalkannya.
Nyonya Giok hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menatap kelakuan Liam. Anak itu sekeras batu. Harusnya peristiwa seperti ini tidak perlu terjadi seandainya tradisi itu tidak pernah ada. Pertentangan antara ibu dan anak. Kasihan Liam. Ia tidak bisa membayangkan jika anak itu bernasib sama dengan dirinya.
Liam mengemudikan mobilnya perlahan keluar dari kediaman keluarga Hong. Meski tanpa tujuan, ia terus melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang membentang panjang di hadapannya, seolah tak berujung. Pikirannya benar-benar kacau. Masalah yang dihadapinya semakin rumit ditambah dengan kehadiran Lily Wang. Kenapa juga gadis itu tiba-tiba datang dalam kehidupannya setelah lima tahun lebih menghilang ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Sebuah hembusan angin segar untuk mamanya mencari celah dengan menyodorkan gadis itu ke hadapan Liam.
Tidak ada yang salah dengan seorang Lily Wang. Bahkan gadis itu tumbuh dengan sempurna. Cantik dan memiliki tubuh yang indah. Bahkan ia jauh lebih cantik dari Danisa. Bisa jadi ia melakukan operasi plastik selama tinggal di luar negeri kan? Tapi, Liam sama sekali tidak butuh kecantikan dan kesempurnaan fisik. Karena fisik bukanlah segalanya. Fisik seperti ilusi. Bisa berubah dan menghilang seiring berjalannya waktu. Liam hanya jatuh cinta pada sebuah hati yang sederhana, polos, dan apa adanya. Tidak perlu menjadi cantik dan sempurna untuk menaklukkan hati pemuda itu. Dan pilihan Liam telah jatuh pada Danisa. Gadis sederhana, miskin, dan apa adanya. Yang kerap mengkritiknya dengan kalimat pedas. Ia pemberani, tangguh, dan kuat. Dan Liam menyukai semua yang ada pada diri gadis itu.
Liam tersenyum sendiri saat mengingat gadis itu. Senyumnya, tingkahnya, saat ia memasang wajah cemberut, saat ia berjalan, dan semua tentang gadis itu. Danisa benar-benar telah membuatnya mabuk kepayang. Tapi, sayangnya senyum itu tak berlangsung lama dan menghilang dalam sekejap. Tiba-tiba ia lenyap bersamaan dengan suara klakson yang menjerit panjang dan sorot lampu menerjang ke arah Liam dengan garang. Sebuah truk bermuatan penuh melaju dengan kencang dan tidak terkendali menuju ke arah mobil Liam, seolah bersiap menubruknya dengan kekuatan penuh. Jalanan yang ia lalui tak begitu lebar dan truk di hadapan Liam seakan ingin menguasainya sendirian. Tampaknya si pengemudi itu tidak bisa mengendalikan laju truk yang ia tumpangi karena kelebihan muatan dan naasnya lagi sepertinya remnya blong. Entahlah. Liam tidak pernah tahu dan tidak punya waktu untuk berpikir kenapa laju truk itu tidak terkendali. Bahkan pemuda itu tidak sempat untuk membanting setirnya untuk menghindari tubrukan dahsyat itu. Truk itu seolah sengaja ingin menghantamnya dengan kejam. Liam tidak bisa menghindari takdir kali ini.
Mobil Liam terlempar ke sisi jalan setelah dihantam bagian depan truk bermuatan penuh itu, sebelum akhirnya terguling beberapa kali dan mendarat dengan posisi terbalik. Truk itu tidak lebih beruntung. Ia juga sama-sama terguling dan terseret beberapa meter di atas aspal. Membuat sebagian muatan di bak belakang yang sejak tadi membuatnya hilang keseimbangan tumpah dan berceceran di sekitar lokasi peristiwa itu.
Jalanan sepi. Hening. Insiden itu terjadi begitu cepat dan tanpa saksi. Liam terlalu jauh mengemudikan mobilnya ke pinggiran kota di mana hanya ada pepohonan di kanan dan kiri jalan, tempat itu juga jauh dari pemukiman penduduk.
Pemuda itu tak bergerak. Posisinya terjepit di dalam mobil yang kondisinya sudah ringsek. Dari keningnya mengeluarkan cairan berwarna merah pekat dan mengalir ke atas permukaan pipinya. Matanya sedikit terbuka dan bibirnya tampak gemetar. Pemuda itu merasakan rasa sakit yang teramat sangat di seluruh tubuhnya.
Wajah papa mendadak melintas di benaknya dengan gerakan lambat. Disusul wajah-wajah asing yang tak begitu dikenalinya. Namun sekilas ada kemiripan meski itu cuma salah satu bagian wajah saja. Siapa mereka? Apakah mereka leluhur yang selalu Liam sebut dalam kemarahannya? Bukankah ia selalu berkeinginan untuk bertemu dengan mereka dan mengajukan protes tentang tradisi yang membuatnya menderita itu? Apa mereka semua sedang bersiap menjemput kedatangan Liam?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top