#26
"Semalam aku bertengkar lagi dengan mama," ungkap Liam membuka perbincangan. Kali ini tak ada hamparan pantai di hadapan mereka, melainkan hanya sebuah pemandangan taman kota di siang hari. Angin sepoi-sepoi seolah ingin menggoda kebersamaan mereka.
Danisa belum menjawab. Lagi-lagi ia harus meninggalkan gorengannya karena kemunculan Liam yang tiba-tiba. Seperti kemarin. Dan gadis itu terpaksa menyuruh ayahnya untuk menunggu dagangannya selama ia 'diculik' oleh Liam.
"Aku dan mama pernah bertengkar seperti ini beberapa tahun yang lalu, tapi, tetap saja nggak ada jalan damai di antara kami berdua." Liam melanjutkan kalimatnya.
"Aku tahu ini pasti sulit buat kalian berdua," ujar Danisa pelan. Gadis itu memahami apa yang sedang Liam rasakan. Ia sedikit menyesalkan apa yang menimpa Liam dan mamanya. Setidaknya semua ini terjadi karena kehadiran dirinya. "kamu tahu, Liam? Aku merasa menjadi seorang tokoh dongeng sekarang. Tapi, sayangnya aku nggak tahu akhir dari dongeng yang sedang aku perankan," gumam Danisa beberapa saat kemudian sembari tersenyum kecil. Ia menertawakan diri dan kisah cinta pertamanya.
"Dan aku merasa seperti seorang pangeran tampan dari negeri dongeng," imbuh Liam cepat. Karena ucapannya itu ia harus mendapat timpukan kecil di atas pundaknya. Memaksanya meringis kecil karena rasa sakit.
"Bisa nggak sekali aja kamu nggak merasa angkuh seperti itu?" ucap Danisa seraya merengut.
"Apa aku seangkuh itu?" tanya Liam sembari menunjuk mukanya sendiri dengan jari telunjuk.
"Jadi, selama ini kamu nggak merasa angkuh?"
Pertanyaan Danisa hanya disambut gelengan kecil dari kepala Liam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan Danisa dan malah meneguk minuman dari botol air mineral yang sejak tadi digenggamnya. Liam menghirup napas dalam-dalam dan menebarkan pandangannya ke sekeliling taman. Tak banyak yang berkunjung ke sana, hanya beberapa orang saja.
"Apa jualanmu ramai hari ini?" tanya Liam kemudian. Berganti topik perbincangan. Rupanya Liam tidak mau terlalu membahas persoalannya yang jika diperbincangkan terus akan tampak semakin berat.
Danisa menggeleng pelan. Gadis itu menerawang ke depan seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Tak seperti biasa, ia bisa menikmati udara sebersih ini. Sejuk dan tak berpolusi.
"Yang sabar, ya," ucap Liam seraya menepuk-nepuk punggung Danisa. Tapi, ucapan Liam malah terdengar seperti sebuah ejekan bukan dukungan semangat atau semacamnya.
"Kamu mau meledekku?" desis Danisa seraya mendelikkan matanya. Ia memasang wajah yang dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan kecurigaannya.
"Siapa yang meledek? Aku kan cuma bilang, yang sabar. Mana ada kata-kata ledekan?" bela Liam dengan wajah serius.
Danisa cemberut.
"Minum ini, kamu haus kan?" tawar Liam menyodorkan botol minumannya pada Danisa. Untuk menetralkan suasana hati gadis itu sekaligus meredakan kekesalannya.
Danisa tak bisa berbuat banyak kecuali menuruti perintah Liam. Gadis itu meneguk isi botol minuman milik Liam sampai tak bersisa. Membuat pemuda itu melongo menatapnya.
"Kok dihabiskan sih? Nanti aku minum apa?" protes Liam dengan alis yang kedua-duanya terangkat ke atas.
"Itu ada penjual es krim," tunjuk Danisa pada penjual es krim keliling yang sedang mangkal di sudut taman.
"Kamu mau?" tawar Liam cepat. Namun, pemuda itu tidak menunggu jawaban dari bibir Danisa dan segera bergegas pergi ke arah penjual es krim yang baru saja ditunjuk gadis itu.
Sementara Danisa tak bisa menahan tawanya melihat kelakuan Liam. Padahal ia tadi hanya bercanda.
Beberapa menit kemudian Liam datang dengan membawa dua buah cone es krim cokelat di dalam genggaman tangannya. Ia memberikan Danisa salah satunya.
"Aku tadi nggak serius," ucap Danisa sambil sesekali menjilat es krim cokelatnya yang mulai meleleh perlahan. Ia harus ekstra cepat sebelum lelehan cokelat itu mengotori tangannya.
"Aku tahu," sahut Liam datar. Ia pun sibuk menjilati es krimnya. "tapi, kamu suka kan?"
"Suka apa?"
"Aku dan es krimnya."
Danisa tergelak mendengar ucapan Liam. Namun gadis itu segera terdiam saat Liam mengusap lelehan cokelat yang menempel di sudut bibirnya. Danisa merasa malu bukan main. Semoga ini bukan alasan Liam membelikannya es krim, batinnya.
Es krim dalam genggaman Danisa telah habis. Sedang milik Liam telah habis lebih dulu. Senja sebentar lagi turun, tapi, Liam masih enggan untuk beranjak dari tempat duduknya.
"Apa kamu percaya reinkarnasi?"
Danisa tersentak dari kediamannya. Pertanyaan Liam sedikit mengejutkannya. Itu terdengar aneh dan tidak lazim. Setahu Danisa itu hanya ada dalam film. Entah itu mitos atau legenda, tapi, Danisa tidak pernah mempercayainya.
Danisa menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban pertanyaan Liam.
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?" Danisa mengajukan pertanyaan balasan.
"Karena hal itu ada dalam kepercayaan kami," sahut Liam. "meski aku nggak pernah tahu kebenarannya."
"Bukannya kalau kita menikah, kamu akan mengikuti kepercayaanku," ujar Danisa menimpali.
Liam mengangguk.
"Ya. Tapi, seandainya hal itu memang benar ada, aku ingin terlahir kembali sebagai orang lain. Bukan sebagai putra dari keluarga Hong yang terikat tradisi menyebalkan itu," ujarnya.
Danisa hanya mendengarkan ucapan Liam kali ini. Ia tak memiliki ide apapun untuk menanggapi ucapan pemuda itu.
"Seandainya reinkarnasi benar-benar ada, kamu ingin dilahirkan sebagai apa?" tanya Liam kemudian.
Danisa terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng.
"Aku nggak tahu."
"Kok nggak tahu?" protes Liam. "kamu nggak ingin menjadi putri dari seorang yang kaya raya? Bukannya kamu benci jadi orang miskin karena nggak bisa membeli apa aja yang kamu inginkan."
Danisa tersenyum kecil.
"Apa aku pantas menjadi seorang putri orang kaya?" gumam Danisa bertanya.
"Kenapa nggak? Kamu pantas menjadi apa yang kamu impikan," tandas Liam kemudian.
Danisa terbahak mendengar ucapan Liam. Pemuda itu pasti sedang menghiburnya, duga Danisa.
"Aku nggak percaya pada reinkarnasi," tandas Danisa akhirnya. Terdengar sangat yakin.
Liam mengangguk pelan.
"Tapi," sambung Liam. "seandainya aku terlahir sebagai orang lain, aku ingin kamu tetap terlahir seperti ini. Jangan pernah terlahir sebagai orang lain, karena aku akan kesulitan untuk menemukanmu." Liam bicara sangat serius seraya menatap lurus ke depan.
Namun, Danisa malah terbahak mendengar ocehan pemuda itu.
"Jangan tertawa," sentak Liam sembari membungkam mulut Danisa dengan telapak tangannya. Ia memasang wajah cemberut tanpa mengurangi ketampanannya sedikitpun.
Danisa menghentikan tawa dan geraknya seketika. Wajahnya berubah jadi panas dan ia menduga pasti pipinya semerah pantat jambu. Lagi-lagi ia merasakan dadanya bergemuruh. Gadis itu dengan cepat menepis tangan Liam yang mendarat di mulutnya dan segera mengendalikan perasaannya sendiri. Ia bergegas mengambil napas dalam-dalam dan membuang pandangannya ke arah lain. Untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya dari Liam pastinya.
"Kenapa? Kamu malu padaku?" desak Liam setengah menggoda.
"Siapa yang malu?" tanya Danisa balik. Ia yang ganti memasang wajah cemberut sekarang.
Liam mengembangkan tawa renyahnya. Ia berniat tidak akan meledek Danisa lagi kali ini. Gadis itu benar-benar pemalu.
"Bagaimana kalau kita pergi cari makan?" usul Liam tiba-tiba. "setelah itu kita berkeliling kota sampai capek lalu pulang? Bagaimana? Kamu mau?" tawarnya begitu manis.
Tanpa berpikir panjang, Danisa langsung menyetujui usul Liam. Gadis itu menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan.
"Bagaimana kalau kita makan nasi goreng spesial pakai udang?" Danisa mengusulkan apa yang tiba-tiba terlintas di kepalanya. "aku sudah lupa kapan terakhir makan itu," imbuhnya sembari menerawang. Mencoba membuka ingatannya kembali.
"Itu terlalu biasa," celutuk Liam menyatakan ketidaksetujuannya. "bagaimana kalau kita makan Chinese food aja? Aku sudah lama nggak makan di luar. Biasanya hanya pesan lewat telepon," tutur Liam.
"Aku nggak mau!"
"Kenapa? Di restoran Chinese food juga menyediakan nasi goreng kok. Malah pilihannya banyak. Ada yang pakai telur, ayam, kambing, babi juga ada," papar Liam sembari mengedipkan sebelah matanya.
"Liam!" Teriakan itu berbarengan dengan gerakan tangan Danisa yang melayang sekuat tenaga ke pundak Liam. Memaksa pemuda itu mengaduh kesakitan.
"Iya, iya. Kamu kan nggak boleh makan babi," ucap Liam seraya cengar-cengir. Ia memang sengaja menggoda Danisa tadi.
"Kamu juga," sahut Danisa cepat. "mulai sekarang kamu juga nggak boleh makan itu."
"Iya, iya. Dasar bawel."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top