#25
"Liam!"
Pintu kamar Liam terbuka lebar dan ditutup dengan bantingan keras. Teriakan Nyonya Hong juga tak kalah keras dengan suara pintu. Wanita itu tampak sangat marah begitu masuk ke dalam kamar Liam.
Liam yang sedang berdiri di depan jendela dan sesaat tadi menikmati pemandangan taman kecil di samping rumah pada malam hari, menoleh ke arah sumber keributan. Pemuda itu tidak kaget dengan kehadiran mamanya karena ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi.
"Apa-apaan lu, Liam?!" hardik Nyonya Hong kasar. Wanita itu menatap putranya dengan teliti, terutama pada bagian kakinya yang tertutup celana hitam berbahan halus. "kenapa lu menyembunyikan hal ini dari mama. Sebenarnya apa mau lu, Liam?"
Tampaknya Nyonya Hong berada di puncak batas kesabarannya. Wanita itu geram tiada terkira.
"Apa mauku?" ulang Liam. "mama bertanya apa mauku? Harap mama tahu, aku hanya ingin mama merestui kami. Aku dan Danisa. Itu aja," ujar Liam dengan nada enteng.
"Keterlaluan lu, Liam!" desis Nyonya Hong marah. "hanya karena perempuan miskin seperti dia... "
"Perempuan miskin seperti dia, mama bilang?" potong Liam cepat dan tegas. "dia adalah gadis yang dicintai oleh putra kesayangan mama. Mama tahu?" Liam memberi penegasan secara jelas kepada Nyonya Hong.
"Dia nggak pantas buat lu, Liam," timpal Nyonya Hong tak mau kalah.
"Kenapa?" Tampaknya perdebatan telah dimulai. "karena dia berbeda dari kita? Karena dia seorang gadis pribumi, miskin, dan bukan berasal dari bangsa nenek moyang kita? Begitukah? Lalu apa yang membuat kita berbeda darinya? Bukankah kita semua sama? Kita sama-sama manusia ciptaan Tuhan? Kita sederajat dan salah satu dari kita nggak ada yang lebih baik kecuali sikap kita yang membuat kita lebih baik dari orang lain. Lalu apa sebenarnya yang kita permasalahkan?" urai Liam panjang penuh dengan kalimat protes.
"Hentikan, Liam!" teriak Nyonya Hong keras. Liam telah berhasil meledakkan emosinya kali ini. "lu mau menceramahi mama, hah?!" hardik Nyonya Hong.
"Aku nggak ingin menceramahi mama," elak Liam membela dirinya sendiri. "aku cuma mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku. Dan kurasa semuanya itu benar. Apa menurut mama aku salah?" tanya Liam seolah ingin menguji kesabaran mamanya.
Nyonya Hong menahan emosinya yang kian meledak. Sampai-sampai gigi-giginya berbunyi gemelutuk.
"Lalu apa yang akan lu lakukan?" tanya Nyonya Hong berusaha menahan diri. "jangan lu bilang, lu mau menentang mama dan leluhur kita demi perempuan itu. Mama nggak rela, Liam." Ucapan Nyonya tampak sebagai sebuah ancaman bagi Liam.
"Rela atau nggak rela, Liam tetap akan menikahi Danisa, Ma. Apapun yang terjadi. Aku nggak mau terikat tradisi apapun dan akan memutuskan sendiri hidupku. Jika perlu aku akan meninggalkan rumah ini demi bisa menikahi Danisa," ucap Liam bersungguh-sungguh. Sesuai dengan apa yang hatinya telah tetapkan sebelumnya.
"Liam!" Sebuah tamparan keras melayang keras seiring dengan teriakan itu. Mengenai pipi kanan Liam dan menyisakan bekas berwarna merah di sana. "papa dan leluhur kita akan marah karena kelakuanmu yang melampaui batas itu, kamu tahu?!"
Liam tersenyum pahit mendapat tamparan yang cukup menyakitkan itu. Rasanya lebih sakit dari tamparan sebelumnya. Tapi, Liam membiarkan rasa sakit itu menghilang dengan sendirinya meski butuh waktu sedikit lebih lama.
"Siapa yang Mama bicarakan? Leluhur kita yang sudah menjadi abu dan sekarang tersimpan di dalam guci itu? Peduli apa mereka dengan kebahagiaanku? Kenapa mereka membuat tradisi menyebalkan itu? Aku benci mereka, Ma!" Liam berteriak dengan lantang seperti orang yang sedang kerasukan setan. Pemuda itu menumpahkan semua kemarahan yang ada di dalam dadanya.
"Liam!"
Satu lagi tamparan harus mendarat di pipi kanan Liam. Padahal tamparan sebelumnya belum sembuh rasa sakitnya, sekarang harus bertambah lagi. Pemuda itu mencoba menahan rasa panas yang membakar pipi halusnya.
"Kenapa tradisi itu hanya berlaku di dalam keluarga kita, Ma? Kenapa kelurga lain nggak?" Liam masih ngotot dan ingin mendebat mamanya lebih lama lagi. Pemuda itu ingat, tidak ada peraturan yang melarang menikahi bangsa pribumi di dalam keluarga teman-temannya. "aku benci dilahirkan di keluarga ini, Mama tahu?"
"Mau ke mana lu, Liam?" tegur Nyonya Hong melihat putra kesayangannya melangkah ke arah pintu usai menyelesaikan kalimatnya. Wanita itu terlihat panik.
"Aku mau mencari tempat untuk menenangkan diri, di mana nggak ada suara bising dan pemandangan menyebalkan seperti di sini," sindir Liam sembari membuka pintu kamarnya.
"Malam-malam begini?" kejar Nyonya Hong tampak kian cemas. "jangan pergi, Liam. Mama nggak mau terjadi apa-apa dengan lu. Lu masih ingat kan kejadian dua tahun yang lalu?" Nyonya Hong berusaha mencegah kepergian Liam dengan membuka ingatan putranya itu tentang kejadian dua tahun yang lalu.
Namun, Liam hanya menyunggingkan senyum tipis.
"Kenapa? Bukankah jika aku mati, aku bisa bertemu dengan leluhur kita dan mengajukan protes pada mereka tentang tradisi konyol yang mereka buat," tandas Liam sekenanya. Ia benar-benar di luar batas!
"Liam! Mereka nggak akan suka lu bicara seperti itu!"
"Aku juga nggak suka mereka, Ma!" Liam melambaikan sebelah tangannya dan menutup pintu depan dengan sebuah bantingan yang cukup keras. Pemuda itu menghilang dari pandangan Nyonya Hong setelah ia menutup pintu.
Wanita itu hanya bisa menahan amarah yang kian meletup-letup di dalam dadanya. Sebisa mungkin ia harus bisa menahan dirinya atau sederet penyakit yang diidapnya akan berdatangan secara massal.
Sementara Liam sudah meluncurkan mobil kesayangannya di jalan raya dengan kecepatan rata-rata. Tanpa tujuan pada awalnya. Namun, setelah mengingat-ingat sederet nama teman-temannya, Liam memutuskan untuk mengunjungi salah satu dari mereka. Mungkin ia bisa mengumpulkan teman-temannya yang lain dan menikmati malam ini bersama-sama. Apa salahnya memberi mereka kejutan sekaligus merayakan kesembuhan kakinya. Sudah lama sekali ia tidak bersenang-senang bersama teman-temannya. Untuk sejenak Liam akan melupakan permasalahannya seolah tidak pernah ada persoalan apapun dalam hidupnya. Esok hari ia akan menghadapi semuanya. Persoalan seberat apapun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top