#23
Sebenarnya apa arti hidup ini? Apa arti diriku? Apa arti cinta? Apa benar ada yang lebih penting dari cinta? Lalu seberapa penting cinta dalam hidup ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengalir seperti sungai di dalam pikiran Liam. Bertanya pada dirinya sendiri, namun ia tak bisa menjawabnya. Entah di mana dan siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendera pikirannya.
Pemuda itu pernah jatuh cinta. Untuk pertama kalinya pada seorang gadis bernama Hayu. Gadis biasa dan sederhana yang memiliki paras cantik. Ia lembut, polos, dan memiliki senyum yang memabukkan. Mereka menjalin cinta untuk beberapa lama sebelum semuanya berakhir dengan tragis.
Kisah itu sudah berlalu dan nyaris terpendam oleh guliran waktu yang terus mengalir. Ketika semua orang sibuk berusaha mengasihani kisah cinta yang tinggal kenangan itu, satu kisah lain mulai tercipta. Kisah cinta yang hampir sama dan belum diketahui di mana akan berakhir. Entah akan berakhir begitu saja atau dramatis seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Atau mungkinkah bisa berakhir dengan bahagia?
Liam tidak tahu. Ia belum tahu apa yang akan dilakukannya untuk mengakhiri kisah cintanya untuk seorang gadis bernama Danisa. Gadis itu memang berbeda dengan Hayu. Bahkan mereka memiliki sifat yang nyaris berkebalikan. Danisa seperti sebuah pelita di dalam kegelapan pikiran Liam. Gadis itu tiba-tiba datang dan mengacaukan semuanya. Hati dan kehidupan yang selama ini dijalaninya. Ia seperti mendobrak keputusasaan dalam benak Liam. Gadis itu sanggup menggoyahkan sisi angkuh pada dirinya yang dua tahun ini diciptakannya sendiri hanya untuk menutupi rasa kecewa dan penderitaan yang dirasakannya.
Liam hanya bisa menatap kosong keluar jendela yang terbuka tirainya. Padahal sebelum Danisa datang, Liam tidak pernah mengizinkan siapapun untuk membuka tirainya. Karena kehadiran gadis itu telah mengubah hidupnya perlahan-lahan hanya dalam waktu singkat.
Cinta. Liam yakin semua itu terjadi karena kekuatan cinta. Tapi, mampukah ia memperjuangkan cinta itu? Dengan apa? Bagaimana caranya? Liam belum menemukan sebuah jalan untuk menggapainya.
Kamar itu sepi. Hening tanpa kehadiran Danisa. Bahkan sarapan paginya masih tergeletak di atas meja. Sepasang roti tawar berlapis selai kacang di dalamnya yang telah dipanggang sebelumnya, susu putih hangat, dan beberapa keping biskuit. Kenapa mesti sarapan menyebalkan itu lagi? Danisa benci melihat makanan itu. Ia bilang itu adalah sarapan orang kaya dan Liam hanya ingin menjadi orang biasa semenjak hari itu. Ia tidak mau menjadi seperti sekarang. Andai saja ia bisa memilih untuk dilahirkan kembali...
Liam bangkit dari atas kursi rodanya perlahan. Ia telah memutuskan sesuatu yang besar dan mungkin bisa mengubah hidupnya kelak. Ada sesuatu yang perlu ia perjuangkan yang menurutnya lebih penting dari apapun.
Cinta.
Takdir.
Danisa!
Liam bergegas keluar dari kamarnya yang selalu tertutup rapat dan keramat bagi semua pelayan di rumah itu. Tidak sembarang pelayan diizinkannya untuk masuk ke sana. Kalaupun ada keperluan, harus dengan mengetuk pintunya terlebih dahulu. Pemuda itu melangkah ke dapur dengan tergesa.
"Bik Nah!"
Bik Nah menoleh setelah mendengar namanya disebut dengan keras. Wanita itu terbelalak melihat Liam telah berdiri di belakang tubuhnya. Untung saja ia tidak menjatuhkan pisau yang kini berada dalam genggamannya.
"Bik Nah tahu di mana rumah Danisa?"
Bik Nah masih tertegun dengan mulut terbuka. Sepasang matanya masih menatap takjub ke arah Liam. Wanita itu sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak sedang bermimpi. Yang sedang berdiri di hadapannya memang Liam.
"Kamu bisa berjalan?" tanya Bik Nah dengan bibir gemetar. Wanita itu terlalu terpukau dengan keajaiban yang kini terbentang di hadapannya dan butuh waktu beberapa detik untuknya untuk bisa menyadarkan diri.
"Iya, Bik Nah," sahut Liam kesal. Tubuhnya berguncang akibat wanita tua itu. "Bik Nah tahu di mana alamat Danisa?" Liam mengulangi pertanyaannya kembali.
"I... Iya," sahut Bik Nah tergagap. Ia masih ingat Danisa menyebut nama sebuah gang sempit tak jauh dari pasar. Tapi, gadis itu tidak pernah menyebut alamat rumahnya dengan pasti.
Liam bergegas setelah mendapat informasi dari bibir Bik Nah. Tanpa mengucap terima kasih atau basa basi apapun, ia meninggalkan wanita itu yang masih bengong di tempatnya.
Yuni yang kebetulan berpapasan dengan Liam di ruang tengah juga tak kalah terkejutnya dengan Bik Nah. Gadis itu bahkan nyaris meloncat kegirangan melihat idolanya itu bisa berjalan kembali seperti harapannya. Akhirnya doa-doanya yang ia panjatkan setiap sebelum tidur, dikabulkan Tuhan juga. Berkali-kali gadis itu mengucap syukur di dalam hatinya. Tapi, mau pergi ke mana dia? batinnya penasaran. Sepertinya ia tergesa-gesa.
Belum sempat Yuni melontarkan pertanyaan kepada Liam, mendadak Nyonya Giok muncul. Wanita itu secara tak sengaja melihat Liam berjalan ke ruang tamu dan ia bergegas mengejar pemuda itu.
"Tunggu, Liam!" teriak Nyonya Giok bermaksud menghentikan gerakan kaki Liam yang hendak melangkah keluar dari rumah. Pemuda itu sudah mencengkeram pegangan pintu ketika Nyonya Giok tiba di sana.
Liam berhenti. Ia ketahuan. Wanita itu berhasil menghentikan langkahnya. Ia memiliki insting yang tajam rupanya, batin Liam seraya membalikkan tubuh dan bersiap menghadapi bibinya itu. Meski ia tidak suka mengakui wanita itu sebagai bibinya.
"Kamu mau ke mana, Liam?" tegur Nyonya Giok tampak cemas. Wanita itu menghampiri Liam dan mencekal lengan sweater yang membalut tubuh pemuda itu.
"Aku mau jalan-jalan sebentar. Rasanya bosan di kamar terus," ucap Liam dengan gaya angkuh dan cuek. Menyebalkan melihatnya.
"Jangan pergi, Liam," cegah Nyonya Giok berharap. Setengah memohon.
"Kenapa?" Liam menyunggingkan senyum kecut di ujung bibirnya. Pemuda itu tidak heran melihat reaksi Nyonya Giok yang tidak kaget melihat kakinya yang sudah bisa berjalan kembali. Karena sejak awal bibinya itu sudah tahu keadaan Liam, namun merahasiakannya untuk disimpan sendiri! "apa Nyonya mau ikut?" sindir Liam seraya menepis tangan Nyonya Giok dari lengan sweaternya.
"Liam!"
Teriakan yang keluar dari bibir Nyonya Giok, sekeras apapun, tidak bisa menghentikan langkah kaki Liam. Pemuda itu tetap melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Dengan berbekal kunci kontak mobilnya, ia melenggang dengan tergesa menuju garasi.
"Apa kabar?" gumam Liam seraya mengurai senyum kecil manisnya. Pemuda itu menepuk kemudi mobil yang sudah dua tahun tidak disentuhnya. "kamu siap berangkat?"
Liam mengemudikan mobilnya pelan-pelan keluar dari garasi. Pemuda itu tidak menggubris Nyonya Giok yang tampak tergopoh-gopoh mengejarnya. Kasihan. Wanita itu sampai terjatuh di atas tanah saat berusaha mengejar mobil Liam yang melaju keluar halaman rumah. Sementara Pak Udin, sang petugas keamanan, terpaksa membuka pintu pagar rumah atau jika tidak, Liam pasti akan menjebolnya dengan paksa.
Ya, Liam telah memutuskan akan menemui Danisa siang ini. Ia akan berjuang demi cintanya pada gadis itu. Mungkin ia akan menjadi generasi pertama yang akan melanggar tradisi yang konon telah turun temurun berlaku di dalam keluarga Hong. Dengan segala resiko apapun. Liam akan menerimanya.
Tunggu aku, Danisa. Ada banyak hal yang harus aku bicarakan denganmu, batin Liam seraya menggenggam kemudi mobilnya erat-erat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top