#21

"Liam?" Danisa mendesis kecil begitu keluar dan mendapati Liam berada di teras rumah untuk menunggunya. Gadis itu hendak pulang karena jam kerjanya telah usai.

Pemuda itu tampak duduk tenang di atas kursi rodanya. Ia tersenyum tipis begitu melihat Danisa muncul dari balik pintu.
Sore ini ia tampak serasi mengenakan sebuah sweater biru tua dipadu sebuah celana longgar berwarna krem. Tampak kontras dengan kulitnya yang putih terang. Angin sore dan sinar matahari melengkapi penampilan Liam yang mempesona.

"Kamu baik-baik aja, Danisa?" tegur Liam saat Danisa sudah berdiri di hadapannya.

Gadis itu mengangguk. Ia sudah paham apa maksud Liam.

"Aku baik, Liam."

"Kamu yakin?" Rupanya jawaban Danisa tidak cukup untuk meyakinkan Liam sehingga pemuda itu harus bertanya ulang. Ia mencermati wajah Danisa dan menemukan tanda-tanda ketidakberesan pada gadis itu.

Danisa mengangguk semantap mungkin.

"Apa yang dikatakan wanita itu padamu?" cecar Liam setelah mendapat jawaban yang sama.

Danisa menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan sesuatu pada Liam.

"Kurasa kamu sudah tahu apa yang dikatakan Nyonya Giok," gumam Danisa pelan.

Liam terdiam. Meski ia sudah bisa menduga apa yang dikatakan Nyonya Giok pada Danisa, tetap saja keterangan langsung dari bibir gadis itu terasa penting buatnya.

"Apa yang akan kamu lakukan, Liam?" tanya Danisa. Setelah beberapa saat menunggu, namun tak sepatahpun kalimat yang keluar dari bibirnya. Ia mengira Liam sedang memikirkan sesuatu.

"Menurutmu?" Liam malah balik tanya.

Danisa menggeleng sebentar. "Aku sungguh-sungguh nggak tahu."

Liam mendesah seperti ingin menghempaskan beban yang kini mendera dadanya.

"Aku hanya merasa hidup ini nggak adil buatku." Liam mengulas sebuah senyum getir di wajah sorenya. Ia setengah bergumam.

"Jangan berpikir seperti itu, Liam," timpal Danisa terdengar tidak suka akan kalimat yang baru saja dilontarkan pemuda itu. "kenapa kita nggak mencoba mengubah takdir? Maksudku kenapa kita nggak mencoba untuk berjuang?" Pertanyaan Danisa tampak seperti sebuah saran. Tapi, sayangnya Liam tidak terlalu meresponnya.

"Aku sudah pernah memperjuangkan hal semacam ini, Danisa," tandas Liam mencoba mengingatkan Danisa bahwa ia pernah mengalami hal yang sama seperti ini sebelumnya. "dan semuanya nggak pernah membuahkan hasil. Kata-kata nggak akan cukup mengubah segalanya. Mamaku memegang teguh tradisi itu seperti melindungi nyawanya sendiri. Bahkan aku sudah pernah mencoba bunuh diri sekalipun, kamu tahu kan? Tapi apa? Semuanya nggak bisa mengubah takdir," papar Liam bersungguh-sungguh. Tampak segurat kecewa menghias wajah murungnya.

Danisa paham. Ia tak perlu diingatkan lagi tentang hal itu.

"Kenapa nggak mencoba sekali lagi, Liam? Siapa tahu... "

Kalimat Danisa tidak pernah terselesaikan. Sebuah mobil tampak memasuki halaman rumah dan membuat Danisa urung melanjutkan kata-katanya. Gadis itu tampak pasrah ketika melihat Nyonya Hong turun dari mobil. Sedang Liam hanya menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

Dahi Nyonya Hong tampak berkerut lumayan dalam ketika mendapati putra kesayangannya sedang berbincang berdua dengan Danisa. Wanita itu melangkahkan kakinya dengan mantap seperti seekor rubah betina yang mendekati mangsanya. Meski bobot tubuhnya yang agak berlebih membuat jalannya sedikit lambat dari orang kebanyakan yang memiliki berat ideal.

"Kenapa lu di luar, Liam?" tegur Nyonya Hong pada putranya dengan nada heran. Ia melihat sekilas pada Danisa dengan tatapan penuh curiga.

"Aku ingin memberitahu mama sesuatu," tandas Liam tak menggubris pertanyaan mamanya.

"Memberi tahu apa?" tanya Nyonya Hong bingung. Sementara itu tak ada yang bisa diperbuat Danisa kecuali berdiri kaku di samping kursi roda Liam.

"Apa yang selama ini mama takutkan terjadi lagi," ujar Liam sengaja tidak langsung memberi tahu apa yang ingin disampaikannya pada mamanya. Ia mengukir senyum kecut di bibirnya.

"Maksud lu apa, Liam? Mama nggak mengerti," balas Nyonya Hong merasa disodori sebuah teka teki oleh putra kesayangannya. Tapi, ia tak mau menebak atau mencari jawabannya dengan buah pikirannya sendiri.

"Mama tahu, aku jatuh cinta lagi," beritahu Liam seraya melirik Danisa yang berdiri tertegun di sampingnya. Pemuda itu menyimpan seulas senyum tawar di balik kalimatnya. Meski kalimatnya sangat beresiko tinggi, tapi, Liam harus mengatakannya pada mamanya. Ia hanya perlu menunggu reaksi mamanya setelah itu.

"Apa maksud lu, Liam?!" pekik Nyonya Hong terlihat panik. Wanita itu menatap Liam kemudian Danisa secara bergantian. Dalam sekejap suasana sore berubah menjadi panas dan tegang. "lu jatuh cinta pada perempuan ini?" ulang mama Liam mempertegas maksud putranya.

Liam mengangguk pasti.

"Ya, Ma." Liam mendehem. "seperti yang selama ini Mama takutkan, akhirnya aku jatuh cinta pada gadis yang hampir sama, bukan dari kelas kita. Dia seorang pribumi, sederhana, dan sama sekali berbeda dengan kita." Kalimat yang dilontarkan Liam seperti disengaja untuk menusuk perasaan mamanya yang kini sudah diselimuti amarah membara. Si rubah betina itu tampak mengepalkan tangannya. Wajahnya memerah dan sepasang matanya pun tak jauh beda.

"Cukup Liam!" teriak Nyonya Hong dengan kekuatan penuh. Amarahnya telah meledak akibat ucapan putra kesayangannya sendiri. "lu tahu mama nggak akan pernah merestui hubungan lu dengan perempuan seperti dia."

"Karena tradisi nenek moyang kita, iya kan Ma?" timpal Liam cepat dan dengan nada yang mulai meninggi.

Nyonya Hong menghela napas panjang. Wanita itu sangat tahu percapakan itu akan menjadi sebuah pertengkaran yang entah tak tahu di mana ujungnya. Permasalahan yang sama yang pernah mereka perdebatkan beberapa tahun yang lalu dan berakhir dengan buruk.

"Hentikan semuanya sekarang, Liam," perintah Nyonya Hong. Tampaknya ia enggan untuk bertengkar dengan putranya kali ini. "dan lu nggak usah bekerja lagi mulai besok. Utang lu lunas kalau lu menjauhi Liam selamanya," ucapnya kemudian beralih menatap ke arah Danisa.

Danisa masih tertegun kaku di tempatnya. Gadis itu hanya mengerjapkan matanya tanpa kata-kata.

"Sekarang lu pergi dari sini. Dan jangan pernah menampakkan diri di depan Liam lagi," ucap Nyonya Hong kembali terdengar mirip sebuah ancaman.

"Baik," sahut Danisa akhirnya. Gadis itu mencoba menahan gejolak di dalam dadanya. "saya pulang dulu," pamitnya kemudian. Gadis itu berlalu dari hadapan Nyonya Hong dengan langkah cepat. Bahkan ia tak menoleh lagi sekadar untuk melihat Liam untuk yang terakhir kali. Entah kapan mereka bisa akan bertemu lagi.

Danisa masih sempat mendengar teriakan Liam yang memanggil namanya dengan keras. Tapi, ia bergeming. Ia terus melangkah dan melangkah tanpa ragu. Meski selembar kabut tipis bergelayut di kedua matanya dan menghalangi pandangannya.

Kenapa hatiku sakit, ya Tuhan? batin Danisa saat melangkah di atas trotoar yang tersiram cahaya matahari senja. Seperti ada ribuan jarum yang menusuknya berulang. Apa sesakit ini yang dinamakan patah hati? Bukankah Liam pernah meggambarkan rasanya beberapa waktu yang lalu? Ya, dan ini menyesakkan paru-parunya. Kenapa begitu sulit untuk menghela sebuah napas? Lalu, bagaimana nasib Liam selanjutnya? Apa ia akan berbuat sesuatu yang akan menyakiti dirinya sendiri?

Cinta, desah Danisa dalam hati. Gadis itu sedang jatuh cinta. Sebuah cinta pertama yang terancam kandas sebelum terjalin.

Takdir.

Entah apa yang menunggu gadis itu di depan sana. Meski kakinya terasa berat, ia terus mengayunkan langkahnya menuju arah matahari terbenam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top