#20

"Apa yang Nyonya katakan pada Danisa?!" hardik Liam ketus. Pemuda itu menoleh tajam pada Nyonya Giok saat wanita itu melangkah ke arah meja dengan membawa nampan makan siang. Tampaknya ia telah mengambil alih semua tugas Danisa untuk melayani Liam.

"Kenapa kamu memanggilku seperti itu, Liam?" tegur Nyonya Giok setelah berhasil meletakkan nampan di atas meja. "aku bibimu. Apa kamu juga akan memusuhiku seperti kamu memusuhi mamamu?"

"Apa masih pantas kamu menjadi bibiku setelah apa yang kamu lakukan pada Danisa?" tanya Liam geram. Giginya gemelutuk menahan amarah. "bukankah tadi Nyonya memanggil Danisa dan mengajaknya berbicara? Memangnya apa yang kalian bicarakan sampai Nyonya sendiri yang mengantar makan siangku? Kenapa bukan Danisa atau pelayan lain?"

Nyonya Giok melenguh tak begitu keras. Dia sudah sangat mengenal sifat keluarga Hong yang keras kepala tak terkecuali Liam. Pemuda itu sangat temperamen. Hampir sama dengan ibunya.

"Mulai sekarang Danisa akan bertugas di tempat lain, Liam. Jadi, sebelum ada pelayan baru, aku akan menggantikan tugasnya," tandas Nyonya Giok mencoba memberi pengertian. Ia juga harus menata gaya bicaranya sekalem mungkin dan tidak ikut-ikutan terpancing emosi.

"Kenapa?" tanya Liam penuh desakan. Meski ia sudah bisa meraba isi pikiran bibinya sendiri.

"Karena...," ucapan Nyonya Giok terputus. Ia sengaja berhenti untuk berpikir karena tidak punya persediaan jawaban.

"Apa Nyonya takut kejadian itu akan terulang kembali?" sahut Liam melontarkan dugaan. Ia menatap Nyonya Giok dengan pandangan dingin.

"Liam." Nyonya Giok mendesah berat. "kamu sudah tahu kan resikonya mencintai gadis seperti dia? Kenapa kamu lakukan lagi?"

Liam menyunggingkan senyum getir. "Apa aku bisa menentukan kepada siapa aku jatuh cinta?" ucapnya kemudian. "kalau aku bisa, aku pasti nggak akan jatuh cinta padanya," tandas Liam datar.

"Kamu hanya akan menyakiti semua orang, Liam."

"Menyakiti siapa?" tanya Liam mengulangi pernyataan Nyonya Giok. Ia sedikit membesarkan pupil matanya. "siapa yang akan tersakiti jika aku menikahi gadis pribumi? Mama? Nenek moyang kita? Bahkan mereka sudah menjadi abu... "

"Liam!" teriak Nyonya Giok kaget mendengar ucapan kasar Liam. Tidak seharusnya ia mengucapkan kata-kata itu. "jaga bicaramu, Liam."

Liam menghela napas panjang. Dan ia tidak pernah menyesali kata-kata yang sudah mengalir dari bibirnya sesaat lalu. Jiwa pemberontaknya mulai bereaksi.

"Kenapa kita masih memegang tradisi itu sedang kita hidup di tanah mereka?" gumam Liam seolah ingin menyadarkan Nyonya Giok tentang keberadaan mereka. "kita nggak bisa menyangkal kalau kita juga mencintai negeri ini kan? Kita lahir dan besar di sini. Jiwa dan hati kita sudah menyatu dengan tempat ini. Kenapa kita masih belum bisa menjadi bagian dari negeri ini seutuhnya?"

Kalimat Liam benar-benar membuat Nyonya Giok bungkam. Ucapan anak itu berhasil menyentuh hatinya. Setidaknya Liam benar. Namun, kadang mereka mengingkari kebenaran itu.

"Sebenarnya apa yang membedakan kita dengan mereka?" Rupanya Liam belum puas mengeluarkan semua yang mengganjal di dalam dadanya. "apa karena warna kulit kita yang lebih putih? Rambut kita yang lurus? Hidung kita? Mata kita? Apa Nyonya? Kita nggak lebih baik dari siapapun. Kita semua sama. Kita sederajat, Nyonya."

"Hentikan Liam!" Nyonya Giok berteriak dengan keras. Wanita itu benar-benar sudah tidak tahan dengan ucapan Liam. Anak itu keterlaluan. Melampaui batas.

"Kenapa?" Liam tidak terima dan tampak ingin menantang wanita itu. "apa ada ucapanku yang salah?"

Nyonya Giok mengatur napasnya yang tak berirama. Jantungnya juga berdegup lebih keras. Semua tidak bekerja dengan baik setelah mendapat guncangan keras dari kalimat Liam. Bagaimana bisa Liam berkata sebanyak itu? Dari mana ia mendapatkan kata-kata seperti itu?

"Cukup, Liam." Nyonya Giok mencoba menahan amarahnya yang nyaris meluap. Ia harus bisa menahan diri di hadapan Liam dan tidak memuntahkan emosi. "mamamu akan sangat marah jika dia mendengar apa yang baru saja kamu katakan. Sekarang makanlah. Aku akan pergi," pamit Nyonya Giok menghentikan perdebatan kecil itu. Ia memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan itu.

Memang, tidak ada yang salah dengan ucapan Liam, batin Nyonya Giok. Wanita itu menghentikan gerakan kakinya tepat setelah ia menutup pintu kamar Liam. Lagi-lagi ia harus mengatur napasnya.

Wanita itu seolah diingatkan kembali akan masa-masa beberapa puluh tahun silam. Saat ia masih remaja belasan tahun. Ia jatuh cinta pada pria pribumi, sama seperti yang Liam alami sekarang. Meski ia tahu ada sebuah tali bernama tradisi yang mengikat hidupnya, ia tak bisa mencegah dirinya untuk jatuh cinta dan menjalani sebuah hubungan meski dengan jalan sembunyi-sembunyi. Hubungan itu tidak pernah berakhir dengan baik. Mereka terpisahkan oleh segala perbedaan yang mereka miliki. Tradisi berlaku. Akhirnya pria itu menyerah dan beberapa tahun kemudian menikah dengan gadis lain. Sedang Nyonya Giok lebih memilih untuk tidak menikah sampai sekarang. Meski peristiwa itu sudah lama sekali, tapi, tampaknya luka yang ditimbulkan masih belum bisa sembuh sampai kini.

Nyonya Giok mengusap kedua matanya yang sedikit basah. Tak sampai meneteskan sebuah tangis. Tapi, itu sudah cukup untuk menggambarkan perasaannya yang kembali terluka oleh ingatan masa lalunya. Wanita itu harus memperbaiki hatinya segera.

Dari tempatnya berdiri, Nyonya Giok bisa melihat Danisa yang sedang bekerja mengepel lantai. Gadis itu seumuran dengannya saat pertama kali ia jatuh cinta. Polos dan hanya bisa menikmati indahnya getar-getar cinta pertama. Hanya saja Danisa berada di pihak yang berkebalikan dengan dirinya. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang tradisi yang mengikat keluarga Hong dan harus menjadi korbannya. Kasihan Danisa. Hidup gadis itu tampak sulit. Dan bertambah sulit lagi jika Liam benar-benar menyeretnya dalam urusan asmara.

"Belum selesai, Danisa?" Nyonya Giok mencoba untuk mendekat dan menegur gadis itu.

"Belum, Nyonya," balas Danisa sedikit canggung. Ia sama sekali tidak menduga jika Nyonya Giok akan menyapanya.

"Istirahatlah dan isi perutmu. Sudah waktunya makan siang," ucap Nyonya Giok seraya tersenyum. Wanita itu menepuk pundak Danisa perlahan dan melangkah pergi dari hadapan gadis itu.

Danisa tertegun menatap punggung Nyonya Giok yang bergerak menuju pintu dapur. Entah kenapa Danisa merasa ada sesuatu yang aneh dengan Nyonya Giok. Wanita itu tiba-tiba bersikap baik padanya setelah perbincangan mereka tadi pagi. Apa wanita itu sedang melakukan pendekatan secara halus untuk memuluskan rencananya? Atau ia hanya sekadar merasa kasihan pada Danisa? Sebuah trik yang direncanakannya untuk menjauhkan dirinya dari Liam.

Ah, Liam. Danisa menelan ludahnya. Gadis itu menatap pintu kamar Liam yang tertutup rapat. Ia sama sekali belum melihat Liam seharian ini. Dan ia ingin melihat wajah pemuda itu, mendengarkan suaranya, dan menikmati setiap waktu saat bersamanya. Ya, Danisa merindukan Liam. Pemuda arogan yang telah membuatnya jatuh cinta dengan segala keegoisannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top