#2

Danisa membawa sebuah tas kresek bermotif garis-garis hitam dan putih di tangan kanannya. Pastinya karena tangan kanannya lebih kuat ketimbang tangan kirinya. Kuncir kuda di belakang kepalanya tampak terombang ambing tak beraturan. Peluhnya mulai menetes membasahi pelipis gadis yang sudah memasuki rumahnya itu.

"Ayah!" serunya sembari meletakkan bawaannya di atas lantai persis di depan pintu dapur. "Danisa pulang."

Ayah Danisa keluar dari kamarnya dengan langkah berat. Kepalanya sedikit pusing. "Dari mana, Nisa?" tanya Ayah dengan suara parau. Pria itu memperhatikan tingkah Danisa yang sedang mengeluarkan bahan-bahan jualannya ke atas lantai. Tepung terigu, minyak goreng, beberapa macam sayur, ubi, dan sesisir pisang.

"Ayah, kenapa keluar kamar?" tanya Danisa seraya menoleh ke arah Ayah. "Ayah kan masih sakit."

"Nggak, Ayah sudah mendingan, kok," sahut Ayah mencoba menenangkan hati putri semata wayangnya. "dari mana kamu dapat semua itu? Kamu ngutang lagi?" Ayah tahu jika Danisa sedang tidak punya uang sepeserpun. Wajar saja jika ia curiga melihat putrinya membawa belanjaan sebanyak itu.

Danisa melenguh pelan. "Iya," sahutnya tampak pasrah. "mau bagaimana lagi, Yah. Danisa terpaksa ngutang, kalau nggak bagaimana kita bisa makan hari ini," keluhnya memelas.

Ayah hanya menanggapi ucapan Danisa dengan helaan napas panjang. Putrinya benar. Pria itu kian merutuki dirinya sendiri. Gara-gara ia sakit, putrinya harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Sesungguhnya ia tidak tega membiarkan gadis itu berjualan gorengan, tapi, nasib sudah menentukan garisnya sendiri. Danisa memiliki paras yang lumayan cantik jika saja ia mau berdandan sedikit. Tapi, agaknya gadis itu tidak mempedulikan penampilannya sama sekali. Mungkin lebih baik jika Danisa segera dinikahkan, tapi, dengan siapa? Apa ada yang mau dengan orang miskin sepertinya?

"Apa ada yang bisa Ayah bantu, Nisa?" Ayah menawarkan bantuannya usai menyelesaikan pemikirannya tentang Danisa.

"Nggak usah, Ayah," sergah Danisa. "sebaiknya Ayah istirahat saja," suruhnya kemudian.

Ayah menghela napas dalam-dalam. "Benar kamu nggak butuh bantuan Ayah?" tanya Ayah sekali lagi. Karena Danisa tampak sibuk mengupas ubi. Belum lagi mengupas wortel, mengaduk adonan tepung, dan seabrek pekerjaan lain.

"Nggak, Yah," tegas Danisa seraya mengembangkan senyumnya. "Ayah istirahat saja di kamar."

"Baiklah, kalau begitu. Panggil Ayah kalau kamu butuh bantuan," pesan Ayah sebelum memutar tubuhnya dan melangkah ke arah kamarnya.

"Ayah!" Teriakan spontan yang keluar dari bibir Danisa berhasil membuat Ayah berhenti mendadak. Pria itu membalikkan tubuhnya kembali demi mendengar teriakan putrinya.

"Ada apa?" tanya Ayah Danisa kalem.

"Anu, Yah." Danisa menggaruk kepalanya padahal tidak gatal. Ia bingung bagaimana mengatakan pada Ayah soal utangnya pada Nyonya Hong. "umm, soal utang pada Cik Hong. Mulai besok Danisa akan bekerja di rumahnya sebagai pelunasan utang. Nggak lama kok, Yah. Cuma tiga bulan, jam 8 sampai jam 4 sore," papar Danisa akhirnya meski rasa ragu menyelimuti hatinya. Kalimatnya agak terbata dan ekstra hati-hati. Karena ia takut Ayah akan marah.

Namun, Ayah Danisa menunjukkan reaksi yang berbeda. Tidak berlebihan. Ia terdiam beberapa saat sekadar untuk berpikir dan mencerna pemaparan Danisa.

"Ya," sahut Ayah Danisa kemudian. Pria itu tahu tidak ada yang bisa ia dan putrinya lakukan. "jika dengan cara itu kita bisa melunasi utang kita, apa boleh buat. Ayah nggak bisa berbuat apa-apa. Jaga dirimu baik-baik dan ingat, hati-hati, jangan pernah membuat kesalahan saat bekerja," pesan Ayah Danisa menasihati.

"Iya, Ayah." Danisa mengangguk. Gadis itu menatap Ayahnya yang kembali meneruskan langkah ke dalam kamar.

Danisa meneruskan kembali pekerjaannya. Ia harus berjualan agar bisa makan hari ini, juga menyisihkan sebagian uang penjualan untuk modal besok.

Siang ini matahari bersinar cukup terik  dan serasa membakar kulit. Aneka gorengan milik Danisa juga telah siap. Matang dan hangat. Menebarkan aroma gurih dan manis. Ada pisang, ubi, tempe, dan beberapa lagi. Semuanya serba digoreng. Gadis itu menyajikan dagangannya dalam wadah-wadah di atas sebuah meja kayu yang tidak begitu lebar. Danisa menutupi aneka gorengannya menggunakan selembar kertas koran yang sudah tidak terpakai agar lalat dan kotoran tidak hinggap di atas gorengannya. Gadis itu menggelar dagangan di teras rumahnya yang tidak terlalu luas. Orang-orang sudah hafal jika gadis itu menjual aneka gorengan, jadi, Danisa tidak perlu repot-repot menjajakan dagangannya berkeliling kampung.

Begitulah keseharian Danisa. Berjualan aneka gorengan di depan rumah untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan Ayah. Sebenarnya Danisa ingin seperti gadis-gadis lain yang memiliki pekerjaan tetap, di kantor atau instansi swasta misalnya. Namun, ijazah Danisa yang hanya lulusan SMU tidak memungkinkan ia untuk bekerja di tempat seperti itu. Danisa sudah pernah melamar pekerjaan di beberapa kantor, tapi, mereka hanya mempekerjakan lulusan SMU di bagian cleaning service atau office girl. Kalaupun Danisa bekerja di restoran atau toko, akan menghabiskan waktu seharian untuk bekerja. Sedangkan ia harus merawat ayahnya yang sedang sakit. Jadi, setelah lulus sekolah dua bulan yang lalu, Danisa terpaksa berjualan gorengan untuk bisa bertahan hidup.

"Danisa!"

Seorang gadis sepantaran Danisa berdiri di depan meja gorengan seraya tersenyum riang. Gadis itu sedikit lebih pendek dari Danisa, memiliki wajah oval, dan kulitnya lebih putih. Namanya Fanny, kakak kelas di SMU sekaligus tetangga Danisa. Rumahnya hanya berjarak 100 meter dari rumah Danisa.

"Sudah pulang,  Kak Fan?" tegur Danisa sembari balas tersenyum.

"Yup," sahut Fanny sigap. Gadis itu meraih sebuah kursi plastik dan segera duduk di atasnya. Buku-buku yang sejak tadi dipegangnya, ia taruh di atas pangkuan. "masih hangat, Nis?" tanya Fanny seraya membuka penutup gorengan dan mengambil sebuah pisang goreng. Tampaknya ia tidak sabar menunggu jawaban Danisa.

"Masih hangat, kok. Baru diangkat dari penggorengan," jelas Danisa meski keterangannya tidak begitu penting. "bagaimana kuliahnya, Kak?"

"Baik," sahut Fanny seraya menggigit pisang goreng di tangannya. Danisa benar, pisang goreng itu masih hangat. Manis pula. "bagaimana jualannya? Rame?"

Danisa melenguh pendek. "Aku barusan buka, kok. Kak Fanny pembeli pertama," ucap Danisa pelan.

"Oh," balas Fanny setengah bergumam. Gadis itu mengambil sebuah kantung plastik kecil yang telah disediakan Danisa dan memasukkan beberapa biji gorengan kedalamnya. "aku balik dulu, Nis. Capek banget nih," pamit Fanny setelah membayar gorengannya.

"Ok, trims ya, Kak," seru Danisa seraya mengulurkan uang kembalian pada Fanny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top