#19

"Apa benar kemarin Koko Liam nggak memakan sarapannya?" Yuni setengah berbisik kepada Bik Nah yang sedang sibuk mengupas bawang. Dapur aman dan hanya ada mereka berdua, sehingga mereka leluasa untuk bergosip meski harus selalu waspada jikalau tiba-tiba Nyonya Giok atau yang lain datang.

"Iya betul," sahut Bik Nah membenarkan pertanyaan Yuni.

"Tumben-tumbennya dia begitu. Apa dia sakit?" Yuni mengajukan pertanyaan kembali seraya menduga-duga.

"Nggak. Dia baik-baik saja," sahut Bik Nah lagi. Meski tangannya sibuk mengupas bawang, tapi, ia meladeni pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Yuni.

"Tapi, kenapa dia nggak memakan sarapannya?"

Bik Nah mendengus sambil menghentikan pekerjaannya. Lalu ia menatap Yuni dengan pandangan tidak begitu suka.

"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Koko Liam?" tanya Bik Nah bermaksud menyindir. "sebaiknya kerjakan pekerjaanmu sebelum Nyonya Giok datang dan marah-marah," ujarnya kembali. Bermaksud tegas ingin mengusir Yuni dari wilayah kekuasaannya, karena dari tadi gadis itu terus bertanya dan mengganggu pekerjaannya.

"Iya, iya," tukas Yuni sewot. Gadis itu ganti mendengus sebelum beranjak dari tempatnya berdiri. Ia telah gagal mengorek informasi dari Bik Nah dan pergi meninggalkan wanita itu dengan perasaan kecewa.

"Kamu baru datang, Danisa?" tegur Bik Nah setelah Yuni menghilang dari pandangannya dan digantikan oleh Danisa. Gadis itu tampak tergopoh-gopoh dan sibuk merapikan seragam kerja yang melekat di tubuhnya.

"Apa aku terlambat, Bik?" tanya Danisa agak cemas.

"Nggak," jawab Bik Nah disertai gelengan ringan. "tapi, sarapan untuk Koko Liam sudah diantar Nyonya Giok sendiri tadi."

Danisa mengerutkan kening mendengar pemberitahuan dari Bik Nah. Tidak biasanya Nyonya Giok mengantar sendiri sarapan untuk Liam. Apa mungkin karena kemarin Liam menolak memakan sarapannya?

"Oh." Hanya gumaman pendek yang keluar dari bibir Danisa. Gadis itu menoleh ke arah pintu dapur saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Nyonya Giok datang.

"Kamu sudah datang?" sapa Nyonya Giok langsung disambut anggukan kepala Danisa. "ikut aku. Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya kemudian. Ia memberi kode dengan gerakan kepala agar Danisa mengikutinya pergi ke suatu tempat.

Meski dirundung tanda tanya, gadis itu menuruti perintah Nyonya Giok tanpa bertanya lagi. Ia mengekor langkah wanita itu dengan perasaan waswas.

Nyonya Giok mengajak Danisa pergi ke ruang baca di mana mereka pernah ke sana sebelumnya juga dalam rangka keperluan yang sama. Untuk membicarakan sesuatu yang penting.

"Aku lihat beberapa hari belakangan ini sikap Liam berubah," tandas Nyonya Giok memulai percakapan setelah keduanya duduk dengan nyaman. Wanita itu menatap ke arah Danisa dengan tajam.

Danisa tercekat mendengar ucapan Nyonya Giok. Gadis itu mulai dihinggapi rasa khawatir. Tampaknya Nyonya Giok memiliki maksud tersembunyi di balik kalimatnya.

"Apa kamu tahu sesuatu tentang Liam?" Tampaknya Nyonya Giok sengaja ingin memojokkan Danisa kali ini. Sepertinya wanita itu ingin memancing sesuatu dari bibir Danisa, mungkin semacam rahasia tentang Liam.

Danisa menelan ludah. Nyonya Giok berhasil memojokkannya. Gadis itu berpikir dalam hitungan detik sebelum membuka mulutnya.

"Ya, Nyonya," jawab Danisa. "saya sudah memergokinya berdiri dan berjalan. Dan dia menyuruh saya untuk merahasiakan hal ini dari siapapun juga," imbuhnya. Informasi itu sebenarnya tidak begitu penting dan tidak mengejutkan bagi Nyonya Giok.

"Apa kamu tahu kenapa sikapnya mulai berubah? Dia juga nggak mau makan sarapannya pagi ini," beritahu Nyonya Giok.

"Dia hanya bosan, Nyonya," balas Danisa pelan dan hati-hati. "selama ini dia hanya makan sarapan yang sama setiap harinya. Orang lain pun pasti akan merasa bosan jika harus memakan makanan yang sama setiap harinya," tambahnya.

"Apa hanya itu saja yang kamu ketahui?" tanya Nyonya Giok kemudian. Nada suaranya terdengar penuh selidik.

Danisa mengangguk kaku. Ragu. Apa masih ada lagi yang ingin Nyonya Giok ketahui darinya? Danisa merasa tidak ada hal lain yang harus ia ceritakan pada wanita itu terutama tentang ulah Liam kemarin. Cerita tentang balas dendam Liam rasanya tidak perlu ia ungkap pada wanita itu.

Nyonya Giok tersenyum pahit dan mengangguk pelan. "Bagaimana hubunganmu dengan Liam?" tanya wanita itu sejurus kemudian. "sedekat apa kalian?" imbuhnya memperjelas pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya. Wanita itu masih duduk di atas sofa dengan anggun dan tenang. Tak seperti Danisa yang sudah tidak betah duduk di tempatnya. Lama-lama pertanyaan Nyonya Giok menyudutkannya.

"Maksud Nyonya?" Danisa agak terbata saat mengajukan tanya.

Nyonya Giok melebarkan senyumnya. Sungguh, wanita itu sangat pandai menguasai dirinya. Dengan kalimat yang terdengar kalem dan sikapnya yang anggun, ia sanggup memojokkan Danisa sampai gadis itu berkeringat dingin. Nyonya Giok tampaknya mulai mencurigai sesuatu antara dirinya dengan Liam.

"Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian, Danisa?" tegur Nyonya Giok masih dengan sisa senyum yang membekas di bibirnya. "apa kamu menyukai Liam?"

Danisa tercekat. Pertanyaan yang sedari tadi ia takutkan, tanpa diduga akhirnya keluar juga dari bibir Nyonya Giok. Entah wanita itu punya indera ke enam atau ia telah mencium sesuatu yang tidak beres di antara Danisa dan Liam, nyatanya ia sudah mengungkapkan kecurigaannya.

"Kenapa diam, Danisa?" tegur Nyonya Giok. Masih setenang sebelumnya. Pun Danisa masih mengunci erat bibirnya. "apa yang kulihat kemarin bukan sebuah mimpi kan?"

Deg. Jantung Danisa berdegup kencang. Ya, Tuhan! pekiknya dalam hati. Wanita itu telah melihat semuanya! Saat Liam mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipinya. Ya, pasti Nyonya Giok melihatnya dari jendela yang terbuka tirainya.

"Saya bisa menjelaskan semuanya, Nyonya," tandas Danisa berusaha mencegah kalimat yang mungkin akan keluar dari bibir Nyonya Giok yang sekarang sudah memasang wajah dingin. Danisa harus mencegah wanita itu agar tidak tidak berpikiran buruk padanya.

"Kamu mau bilang Liam yang menyukaimu?" tebak Nyonya Giok sebelum gadis itu sempat mengajukan pembelaan diri.

Danisa tak berkomentar. Pikirannya telah tertebak dengan tepat. Apa lagi yang bisa dijelaskannya untuk membela diri?

"Danisa," lanjut Nyonya Giok. "apa kamu tahu apa resikonya menyukai seorang seperti Liam? Meski kalian saling menyukai satu sama lain, kalian nggak akan bisa menikah. Terlalu banyak perbedaan di antara kalian. Dan juga Liam terikat tradisi yang berlaku turun temurun di keluarga Hong. Harap kamu tahu, peristiwa semacam ini sudah pernah terjadi sebelumnya," papar Nyonya Giok. Rasanya sedikit menusuk perasaan Danisa meski kalimat-kalimat semacam ini sudah pernah ia dengar sebelumnya.

"Saya tahu, Nyonya," tandas Danisa mencoba menguatkan suaranya. "saya juga nggak pernah bermimpi sejauh itu. Saya sadar siapa diri saya." Gadis itu menundukkan kepalanya dan menatap ke lantai di mana kakinya berpijak.

"Bagus," sahut Nyonya Giok cepat. "aku hanya ingin mencegah tragedi yang mungkin akan terulang kembali. Sebenarnya aku bukan ingin menghalangi Liam untuk menyukai seseorang, tapi, ada beberapa hal yang masih dipegang keluarga ini sampai saat ini. Dan sejujurnya karena tradisi itulah aku nggak menikah sampai sekarang," ungkap Nyonya Giok membuat Danisa terperangah.

"Nyonya... "

"Iya, Danisa." Nyonya Giok mencoba mengurai senyum pahit di wajahnya. "tradisi keluarga Hong juga berlaku padaku, meski aku kerabat jauh mereka. Entah mengapa peraturan semacam itu dibuat oleh nenek moyang kami. Yang kami tahu, mereka takut darah kami tercampur dengan darah pribumi. Jadi, sebelum kalian benar-benar saling mencintai, hentikan semuanya sampai di sini. Demi kebaikan kita semua, kamu mengerti, Danisa?"

Danisa tak menyahut dan hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top