#18

"Kamu masih marah?" Liam menegur Danisa yang baru saja masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan nampan sarapan di atas meja. Biasanya gadis itu akan mengucapkan sesuatu saat memasuki kamar Liam, namun pagi ini ia berbeda. Tak ada ucapan sepatahpun saat Danisa masuk. Apa ia masih marah soal candaan Liam kemarin?

"Marah?" Danisa menatap ke arah Liam dan menyunggingkan senyum pahit. "marah soal apa? Memangnya aku berhak marah padamu?" tanya Danisa terdengar menyindir.

Liam mendesah berat. Gadis itu benar-benar membuat batinnya kacau pagi ini.

"Baiklah, aku minta maaf," tandas Liam kemudian. Dengan suara kalem dan lembut. Entah ia tulus atau terpaksa mengucapkan permintaan maaf itu, hanya Tuhan yang tahu.

Hoh? Danisa melongo. Gadis itu tersenyum pahit sekali lagi demi mendengar permintaan maaf Liam. Siapa sangka seorang Liam bisa meminta maaf padanya.

"Oh," sahut Danisa pelan dan terdengar acuh. Gadis itu beranjak ke depan jendela dan membuka tirainya. Dan anehnya Liam tidak protes kali ini. Ia membiarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya.

"Aku serius soal kemarin," tandas Liam memaksa Danisa untuk segera memutar tubuhnya hingga membelakangi jendela. Menutup sebagian pandangan Liam ke arah luar jendela.

Danisa mengerutkan dahi dan menatap Liam dengan lekat-lekat. Tampaknya pikirannya diliputi sebuah tanda tanya besar tentang maksud kalimat Liam.

"Soal yang mana?" tanya Danisa bingung.

"Saat aku bilang aku menyukaimu," balas Liam. Ia memasang wajah serius demi meyakinkan Danisa.

Tapi, gadis itu malah mengembangkan senyum pahit. "Kamu mau menipuku?" hardik Danisa seraya meletakkan kedua tangannya di pinggang.

"Menipu apa?" balas Liam kaget mendengar reaksi Danisa.

"Aku nggak bisa kamu tipu, tahu nggak?" timpal Danisa sewot. Ia sengaja memasang wajah galak kali ini.

Liam menghirup napas dalam-dalam. Padahal tadi ia sudah memasang wajah serius demi meyakinkan gadis itu, tapi, tampaknya usaha Liam tidak membuahkan hasil. Akhirnya pemuda itu bangkit dari atas kursi rodanya dan melangkah mendekat ke arah Danisa. Tanpa diduga, tiba-tiba Liam mendaratkan bibirnya di atas permukaan pipi Danisa dengan gerakan cepat.

"Bagaimana? Kamu masih nggak percaya padaku?" tanya Liam. Pemuda itu berdiri dan menatapi raut wajah Danisa yang telah berubah merah jambu hanya dalam sekejap mata.

"Apa yang kamu lakukan?" gumam Danisa tersendat. Terbata. Seolah ia baru saja mendapat sengatan lebah di pipinya dan membuat tubuhnya bergetar hebat. Seperti demam tinggi tanpa disertai flu, batuk, atau pilek. Duh, Danisa tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya. Hati dan perasaannya seperti tersengat sesuatu yang dahsyat. Dan juga ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. Semacam isi buah kedondong tersangkut di dalamnya dan membuatnya sulit mengeluarkan kata-kata.

"Aku hanya ingin membuatmu percaya bahwa yang aku katakan serius," tandas Liam. Pemuda itu mencermati bola mata Danisa yang mulai salah tingkah dan bergerak ke kanan kiri, seperti ingin meloncat keluar dari tempatnya.

"Hmm... " Danisa seolah kehabisan kata dan gaya. Sungguh, hal semacam ini baru pertama kali ia alami. Dadanya ingin meledak dan memuntahkan semua yang ada di dalamnya. Gadis itu buru-buru mengambil napas panjang dan dalam. Lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia harus bisa mengontrol diri dan sikapnya.

"Aku nggak memaksa kamu untuk percaya kok," ucap Liam kemudian. Ia melangkah kembali ke kursi rodanya dan menempati posisi semula. Berpura-pura sebagai orang lumpuh.

"Lalu?" pancing Danisa penasaran. Agaknya ia mulai bisa menguasai diri.

"Aku hanya seorang yang sedang jatuh cinta. Dan aku ingin menunjukkan perasaanku padanya. Hanya itu," papar Liam lugas.

"Oh," gumam Danisa pelan. Ia masih merasakan pipinya panas gara-gara ulah Liam tadi. Ia menghela napas dan memaksa otaknya agar berpikiran jernih. "cepat makan sarapanmu," suruhnya beberapa detik kemudian. Mencoba mengalihkan suasana di dalam kamar Liam yang tiba-tiba berubah menjadi aneh.

"Aku nggak lapar," sahut Liam tak biasa. Tumben ia menolak sarapan favoritnya pagi ini.

"Nggak lapar?" ulang Danisa terheran-heran. "kenapa?" tanya gadis itu kemudian. Setengah bergumam.

Namun, Liam hanya menggelengkan kepalanya perlahan dan menatap Danisa dengan ekspresi yang tidak terbaca oleh gadis itu.

"Kurasa aku sudah jenuh dengan semua ini," tandas Liam datar. Ia seperti orang lain yang sedang merasuki tubuh Liam. Pandangan matanya nanar menatap ke luar jendela yang menyajikan pemandangan taman kecil di samping rumah. "kamu tahu, aku harus berpura-pura menikmati kelumpuhan ini, sarapan yang  sama setiap harinya bahkan membuatku ingin muntah setiap memakannya. Juga terkurung di dalam kamar yang membuatku tampak mengenaskan ini. Selama ini aku berpura-pura menikmati semua ini, kepura-puraan yang aku ciptakan sendiri hanya untuk membalas dendam pada mamaku. Aku ingin melihatnya menderita dan meratapi keberadaan anaknya yang mengenaskan ini. Dan selama ini aku sudah berhasil membuatnya seperti yang aku inginkan. Kamu mengerti, Danisa?"

Danisa terperangah mendengar kalimat demi kalimat yang diutarakan pemuda itu. Pernyataan Liam benar-benar mengejutkan dan di luar dugaan Danisa. Gadis itu butuh waktu beberapa saat untuk bisa mencerna maksud perkataan Liam.

"Jadi, kamu menjalani semua kepura-puraan ini karena mamamu?" gumam Danisa pelan. Ia tampak melipat dahinya menjadi beberapa bagian. "apa kamu nggak sadar kalau kamu juga menyiksa dirimu sendiri?"

Liam tersenyum getir. Ia mengangguk samar. "Ya, aku tahu," sahutnya. "karena aku nggak punya pilihan. Aku nggak punya hak atas hidupku sendiri. Kamu bisa bayangkan bagaimana menjadi aku. Hidupku benar-benar menyedihkan, bukan?" Meski ia tersenyum, namun, Danisa bisa mendengar getar-getar pada suara Liam.

Danisa terdiam. Ia bisa merasakan perasaan Liam dan semua yang dialaminya. Ia benar. Hidupnya memang menyedihkan dan Danisa yakin tidak ada satu orangpun yang mau menjalani hidup seperti itu. Kasihan Liam.

"Aku pikir aku nggak akan pernah jatuh cinta lagi setelah itu, tapi, ternyata aku salah," sambung Liam kemudian. Nada suaranya kini mulai stabil, tidak bergetar seperti tadi.

Danisa mendesah. Ia bisa memahami ucapan Liam dengan baik.

"Kamu tahu resikonya kalau jatuh cinta pada orang sepertiku kan?" tegur Danisa seolah mengingatkan bahwa di belakang Liam ada mamanya yang erat memegang teguh bendera bertuliskan 'tradisi' yang sudah turun temurun dijunjung tinggi keluarga Hong dari generasi ke generasi.

"Aku tahu," gumam Liam. Setidaknya ia masih ingat pada kejadian yang pernah ia alami. Dan mungkin kejadian yang sama akan terulang kembali. "itulah yang ingin aku perjuangkan sekarang."

"Kamu ingin menentang mamamu?" tanya Danisa kembali. Untuk menegaskan maksud pemuda itu.

Liam mengangguk.

"Kamu ingin berjuang tanpa menanyakan perasaanku?" Untuk ke sekian kalinya Danisa mengajukan pertanyaan. Dan ini lebih penting dari apapun.

"Memangnya kamu nggak menyukaiku?" Liam tampak kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Ya, tentu saja karena Liam terlalu percaya dengan dirinya sendiri. Rasanya mustahil ada seorang gadis yang menolak pesona Liam. Jika pun ada pastilah gadis itu idiot.

"Kamu tahu, bukan hal yang mudah menentang tradisi keluarga," tandas Danisa terdengar bijak. "resikonya terlalu besar, Liam. Dan hal terburuknya adalah kamu dicoret dari daftar keluarga... "

"Aku tahu, Danisa." Liam memotong ucapan Danisa dengan sedikit penekanan pada nada suaranya. "lalu apa kamu mau aku menikahi orang yang nggak aku cintai dan nggak bahagia? Apa aku harus mengorbankan hati dan perasaanku untuk ke dua kalinya? Memangnya kamu tahu bagaimana sakitnya patah hati, hah?" Liam mendesak Danisa dengan pertanyaan yang sedikit sensitif. Hingga Danisa merasa tak berkutik karena tak punya jawabannya.

Lalu...

"Kamu mau tahu rasanya patah hati?" tanya Liam beberapa detik kemudian setelah berhasil membuat Danisa tertunduk dengan raut wajah pecundang. "rasanya seperti ingin mati, kamu tahu? Dadamu sakit, sesak, seperti ada sesuatu yang menghantamnya dengan keras. Bahkan kamu nggak ingin makan sama sekali meski kamu tahu sangat lapar. Kamu juga nggak bisa tidur barang sebentar dan ingatanmu selalu tertuju pada orang yang kamu cintai. Apa kamu sanggup menanggung beban patah hati seperti itu?"

Danisa masih bergeming. Bahkan ia tidak mampu melihat wajah Liam sekarang ini. Gadis itu benar-benar terpojok oleh kalimat yang dilontarkan Liam. Bahkan dadanya mulai merasakan sakit sekarang ini. Pertanda apa ini?

Hening. Liam tak bersuara. Pemuda itu hanya menatap kosong ke arah taman di balik kaca jendela. Mencoba mengurai masa lalunya yang meski teramat pahit, masih ingin dikenangnya sekarang ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top