#16

Kedua pasang mata itu mengintip dari balik tembok dan nyaris tak berkedip. Keduanya sepakat mengarah ke arah ruang tengah. Sebenarnya ada apa di sana?

"Mereka ganteng-ganteng, kan?" bisik Yuni dengan pandangan fokus ke arah ruang tengah di mana empat pemuda termasuk Liam sedang duduk di sana. Mengobrol dan sesekali diselingi canda tawa. Tapi, sayangnya mereka mengobrol dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti Danisa. Bahasa asing yang sama seperti saat ia menonton film kungfu.

"Iya, kamu benar," sahut Danisa balas berbisik. "kamu tahu siapa mereka?"

Yuni mengangguk. Tapi, Danisa tidak melihatnya karena gadis itu terlalu asyik memperhatikan Liam dan teman-temannya. Sungguh, mereka seperti para bintang hallyu yang sedang reuni. Seperti member boyband yang sedang berkumpul. Ah, pikiran Danisa terlalu mengkhayal.

"Yang memakai jaket cokelat itu namanya Chen," beritahu Yuni menunjuk seorang pemuda berkulit putih dan posturnya tampak menjulang. Rambutnya cepak dan dilapisi gel rambut. Ia memakai sebuah jaket berwarna cokelat muda berpadu dengan celana jeans belel. "dia sepupu Koko Liam. Dia itu seorang pemain basket nasional dan sering tampil di layar televisi. Kamu pernah lihat, nggak?" papar Yuni menjelaskan.

"Nggak," sahut Danisa tampak menyesal. Televisi di rumahnya rusak sejak lama dan ia belum punya uang lebih untuk memperbaikinya. Gadis itu memperhatikan wajah Chen lamat-lamat. Ia memang tampan dan sekilas mirip dengan Liam.

"Kalau yang memakai anting sebelah itu namanya Kevin. Dia itu seorang DJ. Konon katanya dia seorang playboy. Tapi, aku nggak percaya sih," papar Yuni beralih pada seseorang di sebelah Chen. Ia sedang duduk santai dan menyandarkan punggungnya di sofa. Ia tampak manis dengan memakai anting di sebelah telinga kirinya. Ia memakai sebuah kemeja putih dengan kancing terbuka pada bagian dadanya. Sehingga tampaklah kulit tubuhnya yang putih mulus. Andai saja ia seorang perempuan, pasti ia sangat cantik.

"Kalau yang satunya itu seorang barista, namanya Marcell. Dia itu sahabat Koko Liam sejak SMP." Kali ini Yuni menunjuk seorang pemuda yang tidak kalah tampan dari ketiga lainnya. Ia duduk tidak jauh dari kursi roda Liam dan sesekali menepuk pundak sahabatnya itu. Penampilannya lebih kalem dan sederhana. Tampaknya ia seorang yang berhati lembut. Ia memakai sebuah kemeja kotak-kotak perpaduan warna merah dan hitam. Keren dan tampak dewasa.

"Oh." Danisa bergumam takjub. Mereka semua tampak keren. Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka berkumpul menjadi teman? Apa untuk menjadi teman Liam harus memiliki wajah tampan dan berpenampilan keren? Persahabatan sesama ras?

"Tapi, Koko Liam tetap jadi idolaku nomor satu," bisik Yuni lagi. Memuji Liam. "di antara mereka semua Koko Liam yang paling ganteng. Andai saja dia bisa berjalan lagi... "

"Tapi, bagaimana bisa kamu tahu nama teman-teman Liam?" Danisa mengerutkan keningnya heran. Memang hal itu patut dipertanyakan mengingat mereka berbincang dalam bahasa Mandarin.

Yuni mengembangkan senyum lebar. Senyum kebanggaan.

"Aku mencari info dari sumber terpercaya," ucap Yuni dengan mengedipkan sebelah matanya. Penuh rahasia.

"Sumber terpercaya? Siapa?" desak Danisa didera rasa penasaran yang mendalam.

"Koko Liam," bisik Yuni dengan bangga.

Hah? Liam? Danisa nyaris tidak percaya dengan penjelasan Yuni. Liam yang angkuh itu memberitahukan nama teman-temannya pada Yuni?

"Kok bisa? Bukankah Liam itu orang paling angkuh sedunia? Mana mungkin dia... " gumam Danisa belum sembuh dari rasa herannya.

Yuni tergelak tanpa suara. Gadis itu tampak senang melihat Danisa dirundung rasa penasaran.

"Aku bertanya pada Bik Nah," ungkap Yuni akhirnya. Membuka rahasianya sendiri. "dia kan orang yang paling lama bekerja di sini. Jadi, dia tahu seluk beluk rumah ini. Siapa saja yang keluar masuk rumah ini. Semua kejadian di rumah ini juga dia ikut mengalaminya. Jadi, aku tahu nama-nama mereka dari Bik Nah. Kalau ada yang aku nggak tahu, aku suruh Bik Nah tanya pada Koko Liam," jelas Yuni. Dan itu membuat Danisa lega. Rasa penasarannya sudah terobati dengan pemaparan Yuni yang sangat jelas.

"Pantas aja," komentar Danisa. Ia tadi sempat berpikir jika Yuni bertanya langsung pada Liam. Rasanya sangat mustahil jika Liam membeberkan nama dan profesi teman-temannya pada seorang pelayan seperti mereka.

Yuni tak menyahut. Tampaknya ia terlalu sibuk mengagumi sosok pemuda-pemuda itu. Dan tak bisa dipungkiri oleh Danisa sendiri, jika mereka semua memang mengagumkan. Yuni juga benar. Di antara mereka, Liam memang paling menonjol. Ia tampan dan memiliki kharisma yang kuat ketimbang lainnya. Karakternya kuat dan ia memiliki daya tarik di balik sikapnya yang angkuh. Tapi, saat berkumpul dengan ketiga temannya, Liam seperti kehilangan gaya angkuhnya. Ia sama seperti yang lain. Ia bisa bicara lebih banyak dan lebih keras dari biasanya. Bahkan ia bisa tersenyum dan tertawa lepas, berbeda dengan sosoknya yang selalu tertegun di depan tirai jendelanya. Ya, ia sangat berbeda. Danisa yakin seperti inilah Liam yang sebenarnya. Hangat dan penuh dengan energi positif.

Kharisma? Karakter? Energi positif? Danisa menggaruk kepalanya sendiri. Kenapa kosa kata aneh itu tiba-tiba bermunculan di dalam kepalanya? Karena Liam? Kenapa bisa begitu?

Dan saat Liam melepaskan tawanya tadi, Danisa benar-benar merasakan perbedaan dalam diri Liam. Liam yang ceria dan murah senyum, yang kini sedang duduk di ruang tengah, dan Liam yang satunya. Yang angkuh dan jarang tersenyum, yang biasa Danisa temui di dalam kamarnya. Duduk tertegun di atas kursi roda sembari menatap kosong ke arah tirai jendela. Sosok yang sama namun dalam pribadi yang jauh berbeda. Dan Danisa menyukai Liam yang sekarang.

Menyukai Liam yang sekarang? batin Danisa bertanya pada dirinya sendiri. Ia menyukai Liam? Benarkah? Sejak kapan? Sejak tadi! Baru saja!

Oh, Tuhan. Sadarkan aku, keluh Danisa kemudian. Gadis itu buru-buru memutar tubuhnya untuk menghindari pemandangan indah di ruang tengah. Tiba-tiba saja dadanya sesak dan seperti baru saja dipukul dengan batu seberat dua kilo. Sakit.

"Apa yang kalian berdua lakukan?!" Suara lantang Nyonya Giok berhasil membuat keduanya kaget bukan kepalang. Wanita itu telah berdiri di belakang Yuni dan Danisa dengan sepasang mata melotot. Wajahnya masam dan memerah. Marah.

"Maaf," ucap keduanya serempak dengan terbata. Mereka dilanda ketakutan yang sama.

Nyonya Giok menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Wanita itu sedang mencoba meredam emosi yang mulai menggerogoti kesabarannya. Ia tak mau terkena penyakit darah tinggi atau semacamnya.

"Sebagai hukumannya kalian berdua harus membersihkan kolam renang dan gudang," tandas Nyonya Giok memerintah.

Yuni dan Danisa saling berpandangan. Kedua gadis muda itu tampak menyesali perbuatan mereka. Dan hukuman itu mau tidak mau harus mereka kerjakan atau Nyonya Giok akan lebih marah lagi.

"Baik, Nyonya." Keduanya mengundurkan diri dari hadapan Nyonya Giok untuk segera melaksanakan hukuman mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top