#11

"Tumben diam saja," cetus Liam tanpa menoleh pada gadis yang sedang berdiri di samping kursi rodanya. Setelah menyelesaikan sarapan, ia meminta Danisa untuk membawanya jalan-jalan di taman samping rumah. Hal ini sedikit janggal mengingat Liam pernah mengatakan tidak suka berada di luar kamarnya.

"Aku sedang nggak ingin bicara," gumam Danisa sedikit jutek. Danisa masih belum lupa akan kalimat-kalimat yang ia lontarkan pada Liam kemarin dan itu membuatnya merasa canggung terhadap pemuda itu. Gadis itu menatap sebuah kuncup bunga mawar yang belum mekar.

Liam tersenyum tipis usai mendengar jawaban Danisa.

"Kamu ngambek?" tegur Liam kemudian setengah menebak.

Ngambek? batin Danisa kaget. Ia menatap Liam yang kini juga tengah menatapnya. Kenapa sikap diamnya diartikan ngambek oleh Liam?

"Siapa yang ngambek?" gerutu Danisa sambil membuang pandangannya ke tempat lain. "bukannya lebih baik diam daripada salah bicara."

"Benarkah?" Liam mengulum senyum. "bukannya kamu suka bicara? Bawel," ucap Liam sengaja menyindir Danisa.

Gadis itu menghela napas berat. Ia berusaha menenangkan diri. Bisa saja Liam sengaja mencari gara-gara dengannya agar ia menemukan alasan untuk menghukum Danisa. Tapi, bibirnya masih terkunci rapat.

"Jadi, apa imbalan kontrak tiga bulan itu? Apa mamaku memberimu bayaran yang tinggi?" Liam mencoba membahas hal lain. Rupanya pemuda itu masih penasaran dengan kontrak tiga bulan yang dikatakan Danisa.

Danisa menggeleng kuat-kuat. "Bukan sesuatu yang penting," jawab Danisa tak ingin berterus terang.

"Kamu nggak mau mengatakannya?" tegur Liam. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

"Bukannya aku nggak mau, tapi, apa itu penting buatmu?" Danisa balas bertanya. Ia merasa aneh mendapat pertanyaan seperti itu.

"Penting nggak penting," sahut Liam enteng.

Danisa tergelak mendengar jawaban Liam yang menurutnya mengambang. Tak disangka ternyata Liam penasaran juga dengan dirinya.

"Kamu penasaran?" pancing Danisa kemudian. Ia ikut-ikutan menyilangkan lengannya di depan dada. Memperhatikan sosok Liam dan mencari ketidakberesan pada pemuda itu.

"Kamu nggak mau menjawab?" Liam malah membalas pertanyaan Danisa dengan pertanyaan lain. Membuat gadis itu jengkel.

Danisa bergeming sesaat. Ditariknya oksigen dari sekitarnya dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya dengan oksigen baru. Apa ia harus mengatakan tentang utangnya pada pemuda angkuh itu?

"Karena aku miskin," ucap Danisa beberapa detik kemudian. Setelah ia menetralkan suasana hatinya. Membuat Liam tercengang. Ia pasti kesulitan mencerna maksud perkataan Danisa.

"Maksudnya?" Liam mengerutkan dahinya yang tampak berkeringat. Suasana di luar memang gerah, berbanding terbalik dengan suasana di dalam kamarnya yang sejuk karena ada mesin pendingin ruangan.

"Aku punya sejumlah utang pada mamamu." Akhirnya Danisa mengungkapkan rahasianya juga pada Liam meski dengan kalimat yang tak begitu terdengar telinganya.

"Oh." Bibir Liam langsung membulat begitu kalimat Danisa selesai. Ia paham sekarang.

"Jadi, kuharap kita bisa berdamai selama tiga bulan ini," kata Danisa dengan sedikit lantang. Ia mengulurkan jabat tangan kanannya ke hadapan Liam.

Namun, pemuda itu hanya mengukir senyum tipis di bibirnya. Jabat tangan Danisa hanya ditepisnya dengan gerakan pelan. Membuat wajah Danisa langsung ditekuk.

"Siapa bilang aku mau berdamai denganmu," tandas Liam masih tetap bersikukuh pada keangkuhannya.

"Kamu jahat, Liam," desis Danisa geram. Ia melemparkan tatapan angker kepada Liam.

"Hei!" Liam berteriak. "berani-beraninya kamu menyebut namaku seperti itu. Panggil aku Koko Liam," tandas Liam kesal. Ia membalas tatapan yang sama ke arah Danisa.

Danisa mencibir. Andai saja Liam bisa berjalan, mungkin ia akan mengejar gadis itu dan menjitak kepalanya.

"Aku nggak mau," balas Danisa ketus. Gadis itu keras kepala juga rupanya.

Liam terdiam. Entah mengapa ia tak bisa membalas kelakuan Danisa. Ia tak melakukan apa-apa sekalipun hanya melempar olokan pada gadis itu. Sekali lagi, gadis itu berbeda dari yang lain. Dan Liam mulai merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya.

"Aku ingin masuk kamar," ucap Liam setelah bergeming cukup lama. Ia tampak kegerahan. Pemuda itu tidak tahan jika harus berlama-lama di luar. Panas matahari membuatnya mengeluarkan banyak keringat.

Danisa mendengus kecil. Tapi, ia segera melaksanakan perintah Liam tanpa mengajukan protes.

"Kenapa kamu nggak belajar memakai kruk? Bukankah kamu akan lebih leluasa pergi ke mana saja jika memakainya?" tanya Danisa. Gadis itu membuka pintu kamar Liam kemudian mendorong kursi roda pemuda itu masuk.

"Aku nggak suka," balas Liam pelan. Terdengar seperti gumaman.

"Nggak suka?" Danisa ikut menggumam. Ia seperti bertanya pada dirinya sendiri. "jadi, kamu lebih suka duduk di atas kursi roda dan menyusahkan orang lain? Kamu nggak capek duduk seharian di atas kursi roda?" Kali ini Danisa mengajukan protes. Gadis itu mengerutkan kening.

"Bukannya dengan begini akan ada orang yang bekerja melayaniku dan mendapatkan gaji?" Liam berhasil membalikkan protes Danisa. "kamu juga bisa melunasi utangmu karena melayaniku, kan?"

Huh. Danisa membuang napasnya kuat-kuat. Seakan ingin mengusir emosi yang mulai merasuki dirinya. Pemuda itu masih memelihara keangkuhan dalam hatinya. Bagaimanapun Danisa mendebat Liam, ia tidak akan menang.

"Apa kamu nggak ingin bisa berjalan lagi?" Danisa mengajukan sebuah pertanyaan dengan hati-hati. Karena ia pikir pertanyaan itu agak sensitif dan ia hanya berjaga-jaga jika Liam tersinggung.

Liam mendesah keras. Pemuda itu bergeming sembari menatap tirai jendela yang terbentang di depannya. Danisa tidak berinisiatif untuk membukanya kali ini.

"Kurasa kamu sudah banyak mendengar cerita tentangku." Liam ganti menatap Danisa yang sedang berdiri seraya mempermainkan ujung kakinya ke lantai. Seperti anak kecil yang sedang bosan menunggu pembagian gula-gula.

Hah? Danisa mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Liam dengan pandangan kaget. Jadi, Liam tahu kalau para pelayan di rumah ini suka bergosip?

"Apa?" tanya Danisa bingung. Sebenarnya gadis itu sedang tidak memiliki persediaan jawaban jika sewaktu-waktu Liam menderanya dengan pertanyaan semacam itu.

Liam tampak tersenyum pahit. "Rumor tentangku itu semuanya benar," ungkap Liam mengejutkan. Ia berhasil membuat Danisa terbelalak.

Benarkah? Tapi, untuk apa ia mengatakan hal itu pada Danisa? Gadis itu hanya mampu membatin pertanyaan itu tanpa bisa bertanya langsung pada sang narasumber, Liam.

"Saat itu malam," tutur Liam beberapa detik kemudian. Menyambung kembali kalimatnya. "aku sengaja menabrakkan mobilku ke pembatas jalan setelah bertengkar hebat dengan mama. Kurasa kamu sudah tahu alasannya kenapa kami bertengkar."

Danisa mengangguk meski agak ragu. Gadis itu mulai mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan Liam.

"Jadi, kamu lebih suka seperti ini karena mamamu?" tanya Danisa berdasarkan kesimpulan pikirannya sendiri. Sekadar menebak. "atau mungkin kamu berharap sikap mamamu melunak karena melihat kondisimu yang seperti ini?"

Liam tersenyum mendengar kesimpulan yang dilontarkan Danisa.

"Menurutmu?" Liam malah bertanya. Tampaknya ia tidak mau mengemukakan alasan yang sebenarnya pada Danisa. Atau tebakan Danisa sudah benar? Dan Liam enggan mengakui jika tebakan gadis itu benar.

Danisa bergeming. Ia hanya menatap lurus ke arah Liam. Kini ia sedang mengasihani pemuda itu dan banyak berpikir tentangnya. Ia masih muda, kaya, dan lumayan tampan. Masa depannya masih panjang dan sayang jika harus dihabiskan di atas kursi roda, bukan?

"Aku ingin istirahat." Suara Liam memecah kesunyian di kamar itu. Juga membuyarkan lamunan Danisa tentang Liam. "bisakah kamu keluar dari kamarku sekarang?"

"Oh, iya," sahut Danisa tergagap. Gadis itu segera berlalu dari hadapan Liam secepat yang ia bisa. Pergi dari kamar Liam seperti mendapat sebuah oksigen baru baginya. Karena setiap Danisa berada di sana ia seperti merasa sesak napas. Kamar itu pengap dan dihuni oleh pangeran angkuh. Danisa enggan tinggal di sana lama-lama.

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top