#10
Danisa meletakkan gelas berisi jus strawberry di atas meja. Sesuai permintaan Liam. Pemuda itu ternyata sangat menyukai jus strawberry dan tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa meminumnya.
"Kenapa kamu sangat menyukai jus strawberry?" tegur Danisa saat melihat Liam meneguk jusnya. Gadis itu seperti tergelitik untuk mengorek isi hati Liam.
"Apa aku perlu menjelaskannya padamu?" balas Liam sembari meletakkan gelasnya yang isinya tinggal separuh. Bukan jawaban yang memuaskan hati Danisa. Sebuah jawaban yang malah terdengar sangat menyebalkan.
Danisa melenguh. Ia tiba-tiba merasa menyesal telah mengajukan pertanyaan itu pada Liam.
"Aku menyukainya karena rasanya enak dan menyegarkan," tandas Liam akhirnya. Sepertinya ia sudah bisa membaca kemarahan yang terlukis di wajah Danisa.
"Lalu, bagaimana dengan penawaran perdamaianku?" Gadis itu berganti topik pembicaraan. Soal jus strawberry tidaklah penting sekarang ini.
"Kupikir aku nggak mau berdamai denganmu," ucap Liam. "memangnya kenapa aku harus berdamai denganmu? Kamu ingin mencari zona aman di rumah ini?"
Danisa merengut. Jawaban yang benar-benar mengecewakan.
"Jadi, kita akan melanjutkan peperangan kita?" tanya Danisa sedikit hati-hati. Ia takut menggunakan kata-kata yang salah.
"Mungkin." Liam mengedikkan bahunya.
Huh. Danisa benar-benar merasa dikecewakan oleh jawaban Liam. Pemuda itu sengaja ingin mempermainkan dirinya.
"Baik," sahut Danisa kemudian. Dengan nada yang mantap. "jika kamu lebih suka kita berperang, ayo kita berperang."
Danisa bergerak melangkah ke dekat jendela dan tiba-tiba ia menarik tirai tipis yang terbentang di hadapan Liam. Gadis itu membuka tirai jendela dengan paksa dan dalam sekejap mata pemandangan di luar sana tampak sudah. Bunga-bunga mawar dan beberapa macam lainnya sedang bermekaran. Ada juga yang sedang berkuncup. Beberapa tanaman liar dan rerumputan juga tampak memenuhi taman di sebelah rumah. Kolam kecil di sana juga tampak meski hanya sebagian kecil saja yang terlihat.
"Bagaimana? Pemandangan di luar jauh lebih bagus kan?" Gadis itu berkata dengan lantang. Ia setengah tersenyum saat menunjukkan pemandangan di luar jendela kamar Liam.
"Apa-apaan kamu, Danisa?" seru Liam tampak marah. Sebenarnya ia agak terkejut dengan tindakan gadis itu. Ia tidak menyangka jika Danisa benar-benar berani melanggar larangannya.
"Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa pemandangan di luar sana jauh lebih indah ketimbang suasana di dalam kamarmu yang pengap. Apa kamu nggak bosan menatap tirai itu setiap waktu? Apa hidupmu semenyedihkan itu?" ungkit Danisa. Sedikit menyinggung kelakuan Liam.
"Berani-beraninya kamu... "
"Memangnya selama ini nggak ada pelayan yang berani menentangmu, ya?" Danisa tersenyum sinis. Ia ingin menunjukkan sisi lain dirinya. Tampaknya orang seperti Liam harus dihadapi dengan keberanian.
Giliran Liam yang melenguh. Ia tampak jengkel melihat tingkah Danisa yang benar-benar 'berani'. Gadis itu memang berbeda.
"Kamu mau dipecat, ya?" Liam menggertak gadis di hadapannya.
Danisa tersenyum pahit.
"Apa semua orang kaya selalu bersikap sombong sepertimu?!" Danisa balas menghardik. Ia sudah kepalang tanggung dan memuntahkan emosi yang hampir meledak di kepalanya. Apapun resiko yang akan terjadi nanti, ia sudah tidak begitu peduli. "apa orang kaya diberi wewenang untuk menindas orang miskin seperti kami, hah? Memangnya tahu apa kalian tentang hidup kami? Kalian nggak pernah merasakan betapa sulitnya kami bertahan hidup. Kami harus bersusah payah bekerja apa saja demi mencari sesuap nasi. Sedangkan kalian seolah nggak pernah menghargai kerja keras kami. Kita ini sama-sama manusia yang punya derajat yang sama, tahu nggak?!" Suara Danisa terdengar keras dan bergetar. Pipi gadis itu memerah dan hidungnya basah. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Entah apa yang merasuki diri Danisa sampai-sampai ia berkata seperti itu.
Liam hanya tertegun kaku menatap Danisa. Gadis itu baru saja mengoyak harga dirinya. Selama ia menyandang gelar status sebagai kelas atas di kawasan itu, baru sekali ini ada seseorang yang menghardiknya tentang kehidupan. Jurang antara kaumnya dan kaum miskin.
Liam yang terlahir sebagai anak orang kaya, tentu saja bisa menikmati fasilitas hidup yang nyaman sejak ia lahir. Meski orang tuanya hanya memiliki sebuah toko kelontong di pasar, tapi, kehidupan keluarga mereka dibilang cukup berada. Memiliki rumah yang besar dan beberapa pelayan, mobil, pendidikan yang tinggi. Semuanya bisa ia nikmati. Terlebih setelah kakak perempuan Liam menikahi pengusaha restoran asal Taiwan, maka bertambahlah aset keluarga Hong.
Memang ia akui, Liam tidak tahu apa-apa tentang Danisa dan kehidupannya. Asal usulnya, orang tua, rumah, dan juga tentang kontrak tiga bulan itu.
"Hei," Liam tersenyum tipis. "kenapa tiba-tiba kamu jadi semarah itu? Memangnya apa yang kita bahas tadi? Aku jadi nggak mengerti," tandas Liam linglung. Pemuda itu agak bingung dan salah tingkah melihat sikap Danisa yang menurutnya sudah berlebihan itu.
Danisa terdiam. Gadis itu mengatur napasnya baik-baik. Ia mencoba berpikir dengan jernih. Mungkinkah ia terlalu emosi tadi?
"Lupakan perkataanku tadi," ucap Danisa usai berhasil menguasai emosinya kembali.
Liam semakin tidak mengerti dengan sikap Danisa. Sesaat yang lalu ia begitu marah dan sesaat kemudian ia menyuruh Liam untuk melupakan perkataannya.
"Apa kamu semiskin itu?" tanya Liam. Ia malah tertarik dengan kehidupan Danisa. Ia mulai mencermati gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia memang gadis biasa yang tidak terlalu buruk. Lumayan menarik jika saja ia dipoles sedikit saja.
"Apa?" tanya Danisa spontan. Gadis itu tidak terlalu fokus pada pertanyaan Liam. Sebenarnya ia mendengar pertanyaan pemuda itu, hanya saja ia tidak yakin pada pendengarannya sendiri.
Liam menyunggingkan senyum pahit. Ia bisa melihat kekakuan yang ditunjukkan gadis itu.
"Pergilah." Liam malah menyuruh Danisa untuk pergi bukan mengulangi pertanyaannya. "aku capek dan ingin beristirahat."
Danisa mengangguk.
"Apa kamu ingin kubantu?" tawar Danisa. Selama ini Liam tidak pernah meminta bantuan Danisa untuk menolongnya naik ke atas tempat tidur. Entah bagaimana caranya, tapi, tampaknya Liam bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Nggak usah," sahut Liam. "aku bisa sendiri."
Danisa mengerti. Ia juga bersyukur tidak perlu menyentuh tubuh Liam. Gadis itu beranjak keluar dari kamar Liam dan bergegas pergi ke dapur. Mungkin wanita itu perlu bantuannya.
"Ada yang bisa kubantu, Bik?" tawar Danisa begitu sampai di dapur. Bik Nah tampak sibuk mengepel lantai dan melempar senyum begitu tahu Danisa masuk.
"Bantu Bibik mengepel, ya," pinta Bik Nah tampak memohon. "punggung Bibik sakit kalau harus mengepel lantai," keluh wanita itu seraya menunjuk punggungnya dengan ujung gagang pel.
"Baiklah," sahut Danisa dengan cepat. Gadis itu mengambil alih gagang pel dari tangan Bik Nah lalu menggantikan wanita itu mengepel lantai dapur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top