Perpisahan dan Pertemuan.

"Jadi apa keputusanmu?" pertanyaan ini sebagai keputusan akhir dari sekian banyak pertanyaan yang sudah mereka lewati. Berusaha mencari jalan keluar di tengah satu perbedaan yang sejak dulu mereka lupakan dan coba hindari namun pada akhirnya harus mereka ingat dan hadapi.

Komitmen sehati. Ternyata mereka belum sampai pada kata selaras dan sepenanggungan. Mereka tidak memiliknya.

Adalah Alvina seorang gadis ceria yang sedang bertaruh memutuskan kelanjutan masadepannya dengan sang tunangan Dimas. Janji suci mereka mengalami kemunduran lagi. Titik awal perbedaan mereka kembali dipermasalahkan.

Waktu semakin dekat saat mereka hendak menyatakan janji suci di sebuah ikatan abadi. Namun sekali lagi, ikatan mereka belum lengkap jika satu perbedaan itu tidak bisa terjalin.

"Maaf Vina aku tetap pada pendirianku. Tinggal di kota kelahiranku setelah menikah." ucap Dimas lugas.

Mereka berdiri di tengah kerumunan orang. Seakan tidak memperdulikan di mana mereka berada. Di trotoar jalan, tempat ramai para manusia sedang berlalu lalang. Siang itu, akhirnya mereka kembali bertemu. Di mana tempat itu menjadi sejarah awal pertemuan mereka.

Trotoar jalan di sekitar daerah pusat perkantoran ibukota. Jarak kantor mereka hanya bersebrangan di depannya.

Mungkinkah ini sebagai akhir dari semuanya? Alvina tidak punya pilihan dan memang tidak akan mau memilih. Ia putri tunggal dari kedua orangtuanya. Dimas sangat tahu itu, Alvina tidak akan bisa meninggalkan kedua orangtuanya, walaupun tidak ada paksaan dari mereka.

Tetapi kenapa ia tidak mau berjuang? Seolah ia hanya ingin Dimas yang berjuang meyakinkan hatinya? Atau jangan-jangan memang hatinya yang masih ragu dengan komitmen ini?

Dimas kembali menatap mata Alvina. Di tengah tubrukan dan makian beberapa pengguna jalan karena mereka berdua mengganggu alur kaki berpijak.

"Maaf." Alvina menggeleng lemah. Satu tetes air mata keluar tanpa terhindari. Dimas mengangguk pasrah. Ini mungkin memang akhir dari perjalanan cinta mereka? Sudah tidak bisa dicari jalan temunya. Sudah saatnya mereka pasrah, mungkin mereka tidak bisa berjodoh. Lalu cinta mereka bagaimana?

Cinta? Pantaskah ini dikatakan cinta? Tidak ada pengorbanan bahkan berjuang mencari titik persamaan dari mereka. Mungkin hanya sebatas ucapan tetapi belum sampai ke perjuangan.

Cinta saja bukan berarti berjodoh.

"Semoga kamu bahagia dengan jodohmu kelak." ucap Dimas pelan mendekat. Jarak mereka semakin menempel, ditambah senggolan di kanan kiri bahu. Ini memang waktu jam makan siang, lalu lalang dipastikan ramai.

"Maaf." ucap Alvina sekali lagi. Dimas kembali mengangguk sambil mengusap linangan air mata Alvina. Ia tidak lagi memperdulikan tatapan menyelidik orang-orang, banyak dari mereka yang berhenti ingin menatap mereka berdua sehingga kembali memperparah mandeknya alur lalu lalang di sana.

Ini tontonan gratis.

"Bye." ucap Dimas pelan. Ia mundur dari tubuh Alvina. Goyangan di bahu kanan kiri Alvina tak ia perdulikan lagi. Saatnya Dimas melangkah ke tempat seharusnya. Menjauh dan meninggalkan Alvina.

Inilah saatnya, mereka berpisah selamanya.

Dimas berjalan ke arah depan. Menyebrang melintasi boulevard penghubung dua jalan besar. Tempat awal mereka bertemu. Awal ia menolong seorang gadis yang tak bisa menyebrang jalan. Wajah si gadis kikuk yang takut melangkah. Maka dengan keberaniaan tanpa bisa dicegah ia menggandeng tangan gadis yang tak ia kenal sebelumnya melangkah melewati jalanan itu.

Awal dari pertemuan mereka. Dan sekarang menjadi akhir dari semuanya.

Alvina menatap Dimas melewati boulevard itu dengan mata nanar. Suaranya pelan berbisik. "Berbaliklah! Tatap mataku. Berbaliklah.." pintanya lirih. Dimas tidak berbalik, punggung itu tetap kokoh menatap pemandangan di depannya.

"Satu..dua..tiga.." ucap Alvina berharap.

Dahulu setiap mereka bertengkar Alvina selalu melakukan hal ini. Menghitung waktu hingga sang kekasih kembali berbalik berhambur memeluknya. Tapi sekarang...

"Empat..lima..enam.." bahkan sudah hitungan ke enam dengan tempo lambat. Dimas tetap berdiri menunggu waktu menyebrang semakin menjauh. Dan Dimas berjalan cepat meninggalkan jalanan itu. Alvina tidak menghitung kembali, harapan menatap senyuman sang kekasih sudah sirna. Karena dia bukan miliknya lagi. Senyuman manis itu sudah ia lepaskan. Dimas sudah hilang di pandangan matanya. Akan pergi dari hatinya, itulah keinginannya sekarang.

"Bye Dimas." ucapnya lirih. Ia masih diam berdiri di tengah ramai jalanan. Anehnya suara bising itu seolah samar karena gendang telinganya malas mendengar suara-suara. Alvina tahu ia menjadi sorotan karena adegan nelangsa dirinya menjadi tontonan gratis di sana.

Di tengah jalan, menangis, ditinggal sang tunangan dan dijadikan tontonan memilukan. Lengkap sudah paket patah hati yang ia mainkan.

Tepukan tangan seseorang di pundak kirinya membuat ia menoleh. Kesadarannya mulai kembali, ia sudah terlalu lama menjadi pusat sebagian orang di sana.

"Maaf mbak bukannya saya ingin mencampuri urusan anda, tetapi ini fasilitas umum dan kehadiran mbak dengan adegan drama tadi cukup mengganggu kami pengguna jalan." ucap seorang pria tanpa takut menatap wajah Alvina.

"Anda menghambat waktu berharga saya karena saya kesulitan melangkah. Mereka merekam kalian berdua tanpa perduli orang di belakangnya. Carilah tempat yang strategis untuk kalian berdua berdialog picisan. Rekamannya saya yakin laris manis di media sosial." sinis sekali pria ini berkata. Alvina tertawa sumbang menatap wajah pria itu.

Kenapa ia lebih memilih tertawa? Menangis sudah melelahkan baginya. Ia sudah malu dan tak perduli lagi. Hari ini ia patah hati dan tidak ada batasan yang melarang tindakan seorang yang sedang patah hati.

Itu hak istimewa para penderita cinta. Alvina terkikik sendiri di dalam hatinya, ia sedang berjuang agar penderitaannya tidak diganggu. Seakan ia berbahagia dengan status patah hatinya.

Mereka saling bertatapan. Walaupun mata pria itu lebih mendominasi.

"Maaf Pak Nizar saya telat karena saya kesulitan memesan tempat di cafe yang kita janjikan. Mari saya antar, letak cafenya di gedung ini." seorang pria datang kembali mendekati Alvina, berbicara kepada pria di sebelah Alvina.

Alvina hanya tahu pria itu menatap pria ketus di sebelahnya dengan hormat. Pria yang tiba-tiba mengganggu acara drama nelangsa miliknya dan berkata pedas di awal perkenalan mereka. Ironi dalam satu waktu ia bisa membenci dua pria sekaligus karena mulut menyebalkannya.

"Tidak masalah saya juga baru sampai. Mari!" pria bernama Nizar itu menyikut bahu Alvina dan berjalan ke depan tanpa berpamitan dengan Alvina.

Memang siapa dirinya? Alvina tertawa, tubuhnya tetap diam menatap punggung pria yang kalau tidak salah bernama Nizar. Pria itu berjalan sedikit cepat, punggung belakang itu terlihat kokoh dengan jas hitam menutupi tubuh tingginya.

Sekilas Alvina memang sempat menatap wajah keras itu, tatapan sinis dan meremehkan tercampur menjadi satu saat matanya menatap Alvina.

"Berbaliklah..." seperti permainan yang ingin ia coba, Alvina bersuara dengan ajakan itu. "Satu..." belum sempat melanjutkan Alvina terdiam karena pria bernama Nizar itu berbalik dan menatap mata Alvina yang sedang menatapnya.

Mereka saling menatap.

Mata pria itu menantang mata sendu Alvina. Secepat kilat Alvina menunduk, entah kenapa ia merasa takut menatap mata itu. Mata yang sangat mengintimidasinya. Ia tidak mau itu lagi.

"Siap Alvina.. Hadapi dengan senyuman." ucapnya pelan masih menunduk. Ia mencoba mengatur nafas dan bersiap mengangkat wajahnya.

"Huffft..." ucapnya saat berani mendongak dan wajah pria sinis itu menghilang di keramaian jalanan. Alvina tersenyum masam.

"Apel. Aku harus memakan apel sekarang." Alvina berbalik menuju kantornya. Berharap satu buah apel merah kesukaannya bisa menjadi teman dikesendiriannya. Gadis patah hati yang sedang menikmati acara nelangsa.

TBC...
Rabu, 06 April 2016
-mounalizza-

Haii..
Ini hanya perkenalan, ntah gimana tadi lagi mau nulis cerita lain eh malah kepikiran ini. Di save aja dulu di library. Hahaha
Mini story diusahakan ga sampe 10 part. Mudah2an 5 part aja. Hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top