Malu dan Resah
"Morning.." Ucap Nizar saat tubuhnya ia dudukkan di bangku di samping Alvina untuk sarapan pagi. Alvina melongo bingung. Apa ia sedang bermimpi? Nyatakah sekarang? Disapa sopan oleh Nizar? Bahkan sepertinya Nizar sedikit mengulas senyum. Hujan meteor baru terjadi sepertinya?
Atau jangan-jangan semalam mimpinya berlanjut? Semalam saja kalau tidak salah ia bermimpi Nizar membukakan sepatu dan mengusapkan tangannya lembut di kepalanya. Menggelikan bukan mimpi Alvina? Ah seperti tidak ada kerjaan lain saja Nizar melakukan hal itu. Pria yang katanya sukses dalam kesendirian.
Kau terlalu berkhayal Alvina.
"Menjawab sapaan seseorang adalah wajib." dan suara datar itu yang menyambut pagi hari Alvina.
"Ah iya pagi juga.." Jawabnya kikuk. Setelah dijawab, Nizar terlihat fokus dengan sarapannya. Roti bakar akan ia siram dengan madu, tak lupa satu piring apel segar di samping dirinya. Porsi yang sama yang juga dimiliki Alvina. Hanya saja ia tidak mengambil roti atau sarapan untuk mengisi perut. Mulutnya terasa malas untuk mengunyah berat.
"Kenapa anda tidak sarapan dengan benar? Semalam anda kan tidak makan." Alvina mengerutkan alisnya. Darimana dia tahu semalam tidak makan?
"Tau darimana kamu semalam aku tidak makan?" selidik Alvina, Nizar diam sejenak dan dengan berani menatap wajah Alvina.
"Saya tidak melihat anda di restoran bersama yang lain untuk makan malam." Nizar memang pandai mengendalikan diri. Tepuk tangan untuk Nizar!
Alvina mengangguk saja. Ia tidak akan menjelaskan jika dari sore hingga malam dirinya memilih mabuk, nekat mencoba wine yang tersedia di bar. Sungguh itu adalah pengalaman pertamanya. Pria di sebelahnya pasti akan mencemooh dirinya kalau tahu gadis baik-baik mabuk tak jelas.
Cukup rasa pusing dan mual ia rasakan dipagi hari. Jangan lagi pusing akan ejekan Nizar atas perilaku dirinya. Ia sedang malas berdebat.
Sungguh malas mengingat kenapa ia merasa frustasi kecewa semalam.
Mengingatnya, rasa-rasanya Alvina ingin pindah negara saja. Sungguh ia malas memijakkan kaki di tanah kelahiran. Langkah sehari-hari yang ia punya semua menyimpan kenangan bersama Dimas. Bukan karena cinta yang masih terasa, tetapi rasa kecewa lebih dominan sekarang.
Alvina mau menjadi manusia baru yang tak bisa ditindas begitu saja oleh keadaan atas nama cinta. Tetapi janji ia untuk selalu menjaga kedua orangtuanya tak bisa ia sepelekan begitu saja. Hei itulah alasan kamu menyerah bersama Dimas!
"Ini roti dengan madu bagus untuk mengawali pagi anda. Konsentrasi bisa semakin meningkat kalau anda mengisi sarapan dengan benar." Nizar memberikan potongan roti berlumur madu. Mendadak Alvina menelan ludah. Kenapa perutnya seperti menjerit menerima tawaran menggiurkan ini? Rotinya atau orang yang menawarkan?
"Terimakasih." Alvina menurut tanpa membantah. Ia mengingat kembali tingkah Nizar dalam mimpinya. Usapan itu sungguh nyata dan membuat Alvina tersihir. Ia merasa tidur pulas setelah itu.
Tidak, tidak boleh dilanjutkan rasa kagum ini. Jelas semua fana sesaat. Mungkin karena pengaruh anggur sialan itu, Nizar tidak mungkin mempunyai waktu untuk dirinya. Mengenai kemarin, bukankah kemarin Nizar sudah mempunyai pasangan?
"Pacar kamu mana?" tanya Alvina tanpa malu. Nizar mencerna pertanyaan ngawur Alvina. Masih adakah efek mabuk semalam pada diri Alvina?
"Pacar? Saya anti berpacaran." dan kenapa juga Nizar menjelaskan prinsip sosialnya? Keduanya kembali kikuk karena pertanyaan dan jawaban tak membuat mereka puas. Tanpa sadar keduanya mengambil potongan apel di piring masing-masing. Menelannya cepat guna mengalihkan perasaan gugup. Apel memang solusi pertama bagi mereka saat rasa gundah menyerang.
"Hari ini kamu ikut rombongan?" tanya Alvina berusaha memecah situasi canggung. Nizar mengangguk saja sambil menikmati apel.
"Dan kalau tidak salah besok kita pindah tempat penginapan." jelas Alvina sambil terus menatap wajah Nizar. Sepertinya keangkuhannya sedikit memudar di pagi hari ini. Meskipun pakaiannya masih resmi memakai setelan jas hitam.
Dia tetap mirip botol kecap..
Tapi kalau tidak salah, semalam sepertinya Alvina melihat Nizar dengan pakaian yang lain. Di mimpinya Nizar terlihat normal memakai kaos berwarna putih. Wajahnya jadi terlihat muda. Semakin menambah kadar ketampanan.
"Boleh aku masuk botol kecap?"
Alvina menggeleng karena sekelabatan kejadian tak jelas dapat ia rasakan. Dan Nizar memperhatikan tingkah aneh itu.
"Kenapa?" tanya Nizar datar.
"Apa semalam aku datang ke tempat kamu?" tidak perlu berlama- lama bagi Alvina untuk memendam rasa penasaran. Ia butuh kepastian.
"Tidak, saya semalam tidur cepat." Nizar mengalihkan tatapannya ke arah apel. Alvina mengangguk saja seolah beberapa adegan yang di terimanya memang mimpi sesaat. Anggap saja itu keanehan saat ia sedang dalam pengaruh minuman keras.
"Iya tidak mungkin juga aku datang menghampiri kamu." ucap Alvina yakin. Nizar mengejek dalam hatinya. Biarkan sajalah wanita menang dengan pemikirannya."Iya tidak mungkin." ucap Nizar menyenangkan hati Alvina. Dasar wanita sinting. Jelas-jelas kacaunya ranjang menjadi bukti otentik. Menyesal tidak diabadikan.
"Bos Nizar hari ini ikut bersama rombongan?" sapa tiba-tiba Andi sang pemandu. Pria itu berdiri di antara mereka.
Nizar mengangguk. "Saya ikut."
"Urusan pekerjaan sudah selesai?" Andi terlihat sok akrab dan Nizar sebenarnya sedang malas berbasa-basi. Ia sedang fokus sarapan dan memperhatikan Alvina. Jangan dikacaukan dengan basa-basi tak penting.
"Sudah." jawabnya singkat. Berharap Andi sadar diri dan enyah dari pandangan.
"Saya doakan semoga kerja sama berhasil terjalin. Anda memang pebisnis handal. Semangat anda menjadi panutan buat saya ke depannya. Peluang memang harus diambil selagi kita mampu." Nizar hanya mengangguk bangga mendengar pujian dipagi hari. Ia sudah sering mendengarnya. Dan tiba-tiba rasa ingin diperhatikan Alvina meningkat. Ada keuntungannya juga keberadaan Andi sekarang.
Sekaranglah saatnya..
"Iya terimakasih, karena itu kita harus fokus. Jangan campur adukan cita-cita dengan urusan perasaan cinta yang membuang waktu." Alvina yang sejak tadi diam merasa terusik. Kenapa ia merasa tersindir.
"Wah itu susah bos. Tapi benar juga terkadang urusan cinta itu menghambat cita-cita." Nizar sekali lagi mengangguk. Alvina pasti tersindir.
"Karena itu pergunakanlah waktu sebaik-baiknya. Wanita dan segala permasalahannya jangan sampai menjadi batu sandungan. Jika kita sudah yakin untuk berkomitmen, percayalah pasangan sejati kita akan datang dengan sendirinya." Andi mengangguk antusias. Merasa sangat puas mendapat pencerahan dari sang idola. Siapa yang tidak mengenal Nizar di tempat ia kuliah? Andi sangat tahu sosok Nizar selalu dijadikan panutan sebagai pria muda sukses penuh ide cemerlang dalam berbisnis.
"Baik bos saya akan coba. Selamat menikmati sarapan. Permisi." Nizar kembali mengangguk dan melanjutkan sarapan. Alvina memperhatikan gerak-gerik Nizar. Pria ini sebenarnya tampan. Hanya saja jarang tersenyum. Ah tidak, sepertinya hanya pada dirinya saja dia tidak tersenyum. Sepertinya sih..
Dia sukses, katanya sih.
Dia juga tampan, yah ini benar.
Dia juga mandiri, baiklah aku salut.
Tapi.. Kenapa dia anti berhubungan?
"Ada yang salah dengan bentuk wajah saya?" tegur Nizar tidak menatap wajah Alvina. Risih juga ditatap terus menerus.
"Kamu gay yah?" Alvina menutup mulutnya, keceplosan memang tak bisa diperhitungkan. "Oups.."
Nizar menatap wajah malu Alvina. Memperhatikannya cukup lama. Perlukah dia menjelaskan? Tetapi Alvina hanya orang asing. Apa gunanya? Sedikit berguna sebenarnya, karena jaket miliknya ada di dalam koper miliknya dan sungguh membuat tidur pulasnya menyenangka. Aroma Alvina masih melekat di jaket itu. Ah apa yang sedang Nizar pikirkan?
"Saya normal bahkan sangat normal, tetapi prioritas hidup saya yang utama adalah sukses berkarir. Dan secara sadar saya harus mengorbankan kehidupan asmara demi keberhasilan cita-cita." Alvina perlahan mendengarkan. Pria ini unik sekali, pantas saja cara berkomunikasi nya kacau. Kaku lebih tepatnya, jelas kaku karena kurang asupan benih asmara.
Alvina yang sedang kau pikirkan?
"Pernah berpacaran?" dan kenapa Alvina seenaknya bertanya seperti ini? Nizar tak takut menatap mata Alvina. Gadis ini polos bertanya kepada pria kaku urusan asmara. Bukankah tadi sudah dijelaskan kalau dia anti berpacaran.
"Pentingkah saya menjawab?" nada sinis terasa dari jawaban Nizar. Menyesal Alvina bertanya.
"Bilang saja nggak pernah." cibir Alvina tak perduli.
"Kalaupun saya pernah berpacaran itu bukan urusan anda."
"Seratus buat kamu." meladeni pria seperti Nizar memang harus santai. Jangan terbawa perasaan jika tidak mau kecewa. Dan ada hikmah yang sebenarnya bisa Alvina ambil, egois untuk kebahagiaan diri sendiri itu tidak masalah. Mulai sekarang ia harus kuat dan tegar. Mungkin kandasnya hubungan cinta dengan Dimas adalah teguran buat dirinya.
Teguran karena terlalu menggagungkan cinta tanpa tahu dimana letak cinta itu sebenarnya. Buktinya saat mengetahui Dimas melangkah lebih dulu ia tidak cemburu. Hanya rasa kecewa dan gengsi yang menguasai. Alvina sadar ia hanya seorang manusia biasa. Tidak pernah mau mengalah, apalagi ia wanita.
***
"Boleh saya duduk di sini?" Pinta Nizar sopan di dalam mini bus. Perjalanan memang sedikit jauh dan sejak tadi Nizar tak berkonsentrasi karena seorang bapak di depannya tidur dengan sangat lelap dan tak lupa menyelipkan suara dengkuran keras. Bahkan berirama menyebalkan. Hampir seisi ruangan mini bus dapat mendengar dan posisi Alvina dirasa paling rendah mendengar suara itu. Tidak ada salahnya berpindah tempat.
Alvina hanya melirik lalu menggeser tempat duduknya ke arah jendela.
"Saya mau melihat pemandangan." alasan Nizar sungguh dibuat-buat. Mengenal Nizar selama beberapa hari ini sudah sangat jelas. Tatapan Nizar selalu bermuara pada tablet kesayangannya. Pemandangan tidaklah penting bagi Nizar.
Alvina dibuat bingung karena Nizar seperti membuang waktu atas nama liburan. Percuma hamparan luas keindahan alam tersaji kalau tablet sialan itu selalu menjadi prioritas. Cih, bahkan menatap dirinya saja bisa dihitung dengan jari. Alvina sampai meragukan orientasi seksual Nizar.
"Ayolah anda sudah sangat puas foto-foto tak guna." Bayangkan rasa jengkel yang Alvina rasakan. Ah pria ini benar-benar.
Menyebalkan tapi sukses. Perpaduan yang aneh.
Alvina menggeser tubuhnya sambil menggerutu. Nizarpun seperti tak merasa bersalah duduk dengan santainya menatap kaca dengan pemandangan indah. Sekedar pemberitahuan mereka sudah berada di pulau selatan. Setelah satu minggu di pulau utara. Sesuai jadwal pulau selatan memang menjadi tempat destinasi selanjutnya.
Banyak yang bilang pulau selatan lebih indah daripada pulau utara. Salah satu destinasi wisata wajib di sana adalah mengunjungi Milford Sound dan masih banyak lagi. Perjalanan yang mampu membuat mata segar akan kekuasaan alam yang memukau. Contoh lainnya keindahan Danau Tekapo.
"Bunganya sangat indah.." Seru Alvina mendorong tubuhnya mendekati kaca jendela yang secara tidak langsung bertubrukkan dengan tubuh Nizar. Belum sempat Nizar protes suara Andi selalu pemandu bergema.
"Lihat di sepanjang jalan ini! Yang berwarna-warni itu adalah bunga Lupins. Nanti kita akan berhenti di dekat danau Tekapo. Banyak yang bilang danau Tekapo merupakan mimpi bagi setiap para fotografer. Keindahan gunung diselimuti salju dipadu dengan danau berwarna biru pirus membuat semua mata ingin sekali mengabadikan lukisan nyata milik alam. Semakin indah karena aneka warna bunga Lupins mengelilingi." penjelasan Andi memang benar adanya.
Alvina tersenyum menatap lukisan indah di hadapannya. Seketikah Nizar luluh. Tidak ada lagi pandangan sendu dari wajah Alvina. Kenapa Nizar merasa bahagia menatap kecerian yang Alvina pancarkan. Satu minggu berdekatan dengan Alvina memang membuat ia sedikit hilang arah. Walaupun mereka tidak banyak berbicara demi menghindari pertengkaran, tetapi sepengetahuan Nizar semenjak aksi mabuk Alvina beberapa malam yang lalu, Alvina seperti berusaha bangkit. Berubah dan melupakan masalah asmaranya.
Dan sampai sekarang gadis itu melupakan keberadaan jaketnya.
"Hei botol kecap fotoin aku dong!" pinta Alvina sambil menyenggol lengan Nizar. Mereka sudah turun dari kendaraan dan acara bebas bercengkrama dengan alam adalah suatu keharusan yang sayang untuk dibiarkan. Itu bagi Alvina, sedangkan Nizar berbeda, sejak melihat senyum ceria Alvina di dalam kendaraan, hati Nizar terenyuh dan seperti ayam kehilangan induknya dengan sadar Nizar membuntuti Alvina kemana gadis itu melangkah.
"Ayolah.. Setidaknya kehadiran kamu di sini bermamfaat. Daripada berdiri tak jelas dengan pakaian hitam. Ah kamu benar-benar mirip botol kecap. Di dapur saja kamu berdiri bersama botol saus lainnya." ocehan Alvina sungguh tak disangka Nizar. Tetapi kenapa suaranya sangat renyah di dengar. Empuk dan lembut, bahkan kenyal. Ah kenyal yah? Mendadak ia mengingat sesuatu. Salah satu bagian tubuh Alvina. Sayang tertutupi jaket. Apa ia harus mencuri semua jaket Alvina?
Nizar sadar!!!
"Ayo botol kecap!" panggilan menyebalkan.
"Saya punya nama." ucapnya berusaha tenang. Alvina nyengir tanpa dosa.
"Iya deh.. Mas Nizar tolongin yah.." Ingin rasanya Nizar menyentuh bibir itu. Itu panggilan yang membuat ia luluh. Terlebih saat ia melihat Alvina terkikik dengan sangat ceria.
"Ah nggak pantes yah aku panggil kamu mas. Ini yang pertama dan terakhir kali aku panggil dengan sebutan seperti itu. Maaf." Alvina mendekati Nizar dan menyerahkan ponselnya. Memerintahkan Nizar mengabadikan dirinya berpose bersama alam.
Nizar sungguh tak fokus menatap Alvina yang sungguh sangat cantik. Ini mengganggu prinsip hidupnya.
Usianya sudah sangat mapan dan sampai dengan detik ini ia selalu menjaga jarak. Katakan masa mudanya sungguh suram karena bisa dibilang hampir setiap hari ia selalu mendapat penolakan dengan teman kelasnya. Predikat Nizar sebagai cowok pecicilan memang menjadi batu sandungan dalam kisah asmara masa remajanya, belum lagi kisah sedikit pelik sang kakak dalam memandang suatu hubungan pernikahan. Dan yang paling membuat ia berhati-hati dalam urusan asmara adalah latar belakang pernikahan kedua orangtuanya.
Masa kecil Nizar tidaklah puas mendapatkan kasih sayang keluarga. Terutama peran seorang ayah dan itu semua membuat ia ragu jika sebuah hubungan rumah tangga cocok untuknya. Kebahagiaan dirinya adalah melihat sang mama tersenyum karena puteranya berhasil. Itulah yang selalu ia tanamkan. Hanya itu.
Dan sekarang, kebahagiaan baginya mulai meluas maknanya. Selain melihat sang mama bahagia ia juga mau melihat wanita yang sedang berpose macam gaya ini tersenyum karena dirinya.Sederhana sekali.
Rasa aneh ini memang semakin membuat ia gelisah dalam beberapa hari ini. Kilasan-kilasan adegan saat Alvina menangis sendiri di restoran dan tingkah menggelikan Alvina saat sedang tak sadar di dalam kamarnya membekas di hati. Sulit dihapus dan butuh jalan keluar. Alvina memperkenalkan rasa baru dalam hidup sepinya.
"Terimakasih." lama melamun Nizar sampai tak sadar Alvina sudah tersenyum manis di depannya, merampas ponsel, lalu kejadian tiba-tiba tak bisa dihindari Nizar adalah saat Alvina mengajaknya ber-selfi ria di ponselnya.
Alvina yang tersenyum manis sementara Nizar berdiri kaku. Ia tak siap walaupun tak bersentuhan. "Ah kamu tegang sekali. Ayo kita cari pemandangan lagi.." dan entah dorongan dari mana Nizar menahan tangan Alvina.
"Ke-kenapa?" tubuh Alvina terhuyung dan gerakan alami satu tangannya bertumpu di dada Nizar.
"Boleh saya cium kamu?" Pikiran Nizar benar-benar tak sejalan dengan prinsipnya.
***
Tbc
Jumat, 25-11-16
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top