9. update yang tertunda

Happy reading

Love yeahh

####

Dimas mengerutkan keningnya, dan merasa ngilu di tubuhnya terutama sendinya. Tapi dia tetap memejamkan matanya. Melanjutkan mimpi indahnya.

Dimas sengaja mengunci lemari dan membawa kuncinya ke ruang keluarga. Dia tersenyum. Saat ini hanya ada dirinya dan Silva di rumah karena penghuni rumah yang lain sedang mengunjungi Erik yang saat ini berbahagia karena mendapatkan anak lagi.

Dimas menonton Tv sambil tersenyum jahil. Silvanya, akan segera muncul dengan kondisi yang menggairahkan.

Benar saja. Tidak berapa lama, Silva datang menghampirinya dengan aroma sabun karena habis mandi dan rambutnya yang basah. Dia hanya mengenakan handuk kekecilan melilit tubuhnya.

"Mas, kamu ambil kunci lemari?" tanya Silva ketus.

Dimas mengangkat bahunya mengabaikan Silva. Ini bentuk hukuman dari Dimas karena Silva tidak hormat padanya.

"Mas, aku ngomong sama kamu!" suara Silva mulai meninggi.

Dimas menoleh lalu menatap Silva dengan sebelah alis terangkat. "Mana aku tau," ucapnya santai.

Silva tau Dimas berbohong. Dia sudah kesal karena Dimas mengganti semua handuk dengan handuk berukuran Mini, menetapkan aturan tidak boleh berganti pakaian di kamarn mandi dengan mencabut semua gantungan baju hanya menyisakan satu yang tidak bisa menanggung beban yang berat. Pakaian dalam Silva juga diganti, apalagi pakaian tidurnya yang sopan. Dimas benar-benar tidak sebaik apa yang ditampilkannya.

"Mas, aku pinjam kuncinya sebentar. Aku mau ambil baju doang. Habis itu aku kasih lagi deh sama kamu."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Aku masih marah," ucapnya.

Silva membuka mulutnya tidak percaya. "Kamu marah sama aku? Astaga Dimas, kamu udah gede Mas. Stop kekanakan dong. Masak karena aku nggak mau__Ekhem" Silva berdeham karena merasa malu dengan apa yang akan diucapkannya. "Cuma karena aku nggak mau coba oral, kamu marah," suara Silva memelan.

Dimas memajukan bibirnya kesal. "Oral itu bagian dari seks. Kamu aja yang nggak tau."

Silva menggelengkan kepalanya. "Aku malu, Mas. Malu! Kamu enak, tinggal maksa. Nah aku?"

"Aku juga mau jilat punya kamu, kenapa kamu enggak? Aku kan suami kamu."

Silva memejamkan matanya frustasi. "Mas, plis. Oke nanti aku coba tapi sekarang, aku pinjam kunci ya? Aku mulai kedinginan."

Dimas menoleh menatap Silva dan seakan melahap Silva dengan tatapan intensnya menelusuri tubuh Silva dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia merasa senang saat melihat bekas cumbuannya di paha dalam Silva.

"Mas!" tegur Silva berusaha menutupi paha dalamnya dari pandangan Dimas.

Dimas tertawa geli. "Mau kamu tutup juga percuma. Nanti malam aku lihat lagi," ejek dimas.

Silva menarik nafas dalam, berusaha menguatkan batin dan mengusir rasa malunya. Dia mendekati dimas, duduk di sebelah Dimas dengan posisi menyamping menghadap dimas.

"Mas, aku mohon. Pinjam kuncinya ya?"

Dimas kembali tertawa membuat Silva rasanya ingin memukul kepala Dimas dengan vas bunga. "Nggak usah pakai apa-apa. Pakai handuk aja. Toh nggak ada siapa-siapa kok," godanya.

Silva merona malu. "Ya ampun mas. Handuk ini gampang lepas. Aku juga nggak pakai apa-apa di dalam. Risih."

Dimas melirik Silva lagi lalu tersenyum mesum melihat belahan dada Silva. Silva memukul Dimas kesal.

Dimas membuka baju kaosnya membuat Silva berpikir Dimas hendak mengajaknya bercinta dan itu membuatnya merasa gerah. Apalagi tangan Dimas terulur menarik handuk Silva hingga terlepas.

"Mas, jangan di sini" gumam silva.

Dimas tertawa. "Ih mesum" ejeknya. "Orang aku mau suruh kamu pakai kaos aku kok." Dimas memakaikan kaos itu ke tubuh Silva.

Silva merona malu. Dia mengangkat sedikit tubuhnya hingga kaos itu sampai ke pahanya.

Rasanya sedikit lebih baik. Dia melilitkan handuk di kepalanya agar bajunya tidak ikut-ikutan basah.

"Kamu mau makan? Biar aku ambilin," ucap Silva gugup.

Dimas menggelengkan kepalanya. "Temenin aku nonton aja." Dimas merangkul bahu Silva dan menariknya merapat ke tubuh Dimas. Silva menekuk kakinya diatas sofa agar kaos itu menutup pahanya lebih panjang. Perlahan, tangan Dimas mulai nakal. Tangan itu turun dari bahu dan menyambar dada Silva. Hanya meremasnya pelan tapi tubuh Silva sudah menegang.

"Mas, jangan gitu" ucap Silva bergerak tidak nyaman saat Dimas sesekali mencubit putingnya.

"Mas!" pekik Silva kaget saat bukannya menghentikan tangannya Dimas malah meremas dadanya dengan sangat kuat. Membuat Silva tidak sengaja menggerakkan kakinya hingga terpisah dan membuat Dimas bisa melihat kewanitaan Silva yang sudah begitu bersih.

Dimas menarik sebelah kaki Silva ke tengah kakinya sendiri sehingga kaki Silva mengangkang dan tetap menahan tangannya meremas payudara Silva.

"Mas, dingin" rengek Silva.

Dimas terkekeh. "biar dia kena udara, Va. Biar nggak lembab terkurung terus" ucap Dimas.

Silva menggigit bibirnya saat Dimas dengan tangannya yang satu lagi, yang tadi menarik kakinya, kini menggerakkan kakinya menggesek kejantanan Dimas yang sedang menggunakan celana rumah yang agak tipis.

"Mas, kamu__"

"Enggghhh" Dimas melenguh dan mengadahkan kepalanya dengan mata terpejam. Tangannya yang tadi hanya meremas kini memainkan payudara Silva. Merambat masuk ke dalam kaos Silva lalu tangannya memutar puncak payudara Silva.

"Mas, jangan begini. Malu," bisik Silva.

Dimas menoleh menatap Silva lalu memajukan wajahnya. Silva memalingkan wajahnya. Dimas menciumi rahang Silva dan menggigit kulit lehernya.

"Mas, sakit!" pekik Silva.

"Va_Silva," Dimas menghentikan aksinya menggesekkan kaki Silva ke kejantanannya. Mengatur bantalan Sofa, menumpuknya di sisi ujung satu lagi, lalu menarik Silva ke pangkuannya.

Silva terkesiap kaget. Belum sempat Silva protes Dimas sudah membaringkan Silva di sofa.

"Dimas!" pekik Silva lagi saat Dimas memukul kewanitaannya.

Dimas terkekeh. "Gemas, Va. Kamu seksi banget."

Wajah Silva merona malu. Dimas menurunkan celananya. Silva memalingkan wajah saat melihat kejantanan Dimas yang siap untuk bercinta.

Dimas melakukannya dengan lembut karena dia sedang senang. Dia memasuki Silva perlahan karena Silva belum benar-benar siap.

"Va, cium" pinta Dimas yang sudah menindih Silva.

Silva menggelengkan kepalanya. Dimas membalasnya dengan menggerakkan pinggulnya mendadak, keras dan dalam.

"Dimas!" pekik Silva lagi.

"Cium."

Silva tersenyum lalu mengangguk. Dimas menurunkan wajahnya, memagut bibir Silva dan menggeram saat Silva memberinya akses memasuki mulut Silva. Dimas suka berciuman dengan Silva. Membuatnya merasa intim dan disayangi.

Dimas bergerak pelan karena mengutamakan ciumannya. Dia berhenti, memberi waktu bagi Silva menarik nafas lalu kembali mencium Silva dalam.

"Mas?"

Dimas mengerutkan keningnya mengabaikan panggilan itu.

"Dimas?"

Dimas mengabaikannya lagi. memperdalam pagutannya. Dia bahkan mempercepat gerakan pingggulnya.

"Dimas, sayang, bangun"

Dimas membuka matanya perlahan, merasa sangat kecewa saat semua itu ternyata mimpi. Rasanya dia ingin marah pada San san yang membangunkannya.

"Kamu kenapa? Mimpi buruk?"

Dimas menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak fokus.

"Dimas makan malam ya?"

Dimas mengerjapkan matanya beberapa kali. "Makan malam?"

San san mengambil makan malam Dimas dan duduk di sebelah Dimas.

"Silva mana Ma?" tanya Dimas pelan.

"Silvanya sedang di rumah sayang. Tadi mama suruh Silva ke kamar lain dulu. Nanti gantian kalau mama mau istirahat, dia ke sini."

"Kok gitu? Kenapa mama suruh dia kesana?" suara Dimas meninggi.

"Loh, kan Silva juga butuh istirahat. Dia habis pulang kuliah ya istirahat dulu."

"Kan bisa istirahat di sini!"

"Dimana? Di sofa?"

Dimas mengangguk. "Atau sama Dimas di sini."

San san tertawa. "Masak Silva kamu suruh baring di ranjang kamu. mana dia berani. Mandiin kamu aja dia nggak berani," ejeknya.

Dimas memajukan bibirnya kesal. "Silvanya aja penakut!"

"Mas, kamu nggak boleh sering-sering marah sama Silva. Kamu harus berubah. Kamu mungkin ingatnya kamu baru nikah sama Silva tapi ini sudah hampir empat tahun, sayang. Kakak kamu aja, Brandon, belajar berubah karena sudah menjadi suami. Apalagi kamu, anak mama yang biasanya manja. Nggak boleh dong jahat-jahat sama Silva."

"Dimas nggak jahat, Ma. Dimas kan sayang sama Silva. Dimas cinta sama Silva."

San san terdiam. Dia mencerna ucapan Dimas. Sejak lupa ingatan, gampang sekali bagi Dimas berkata dia mencintai Silva. Tapi bagaimana jika ternyata itu hanya perasaan sementara Dimas?

"Ma, Silva kok gitu ya? Apa dia masih cinta mantannya?"

San san tertawa pelan. "Mama tau Silva, dia nggak cinta mantannya."

"Terus, Silva cinta Dimas Ma?"

San san terdiam.

Ingatan satu tahun setengah yang lalu saat Silva menangis mengadu pada San san tentang Dimas yang memiliki wanita lain. Dia juga mengeluhkan Dimas yang tidak pernah menghargainya dan Silva meminta San san membujuk Dimas menceraikannya. Silva tidak sanggup lagi. Silva ingin bebas, melakukan apa yang dia mau untuk masa depannya.

Sewaktu San san mengatakannya pada Dimas, Dimas mengamuk. Dimas memarahi Silva dan San san hanya bisa menahan tangis dari luar kamar sembari menunggu Kris pulang. Dimas menyeret Silva keluar kamar dan membawa Silva pergi. Dan Dimas pulang tanpa Silva.

Dimas tidak pernah mengatakan dia mengantarkan Silva kemana. Keesokan harinya Dimas membawa barang-barang Silva, mengantarkannya entah kemana pula. San san sempat khawatir tapi saat Kris mengatakan kalau Silva baik-baik saja, San san jadi tenang.

Memang hari-hari berikutnya setelah perpisahan mereka, Dimas lebih kacau. Dia lebih nakal dari yang sebelumnya.

San san menyuruh Dimas membuat surat cerai dan Dimas membuatnya dengan cepat. Tapi Dimas meminta agar dia yang memberikannya pada Silva.

San san tidak tau apa-apa lagi. dia tidak mau ikut campur. Dia hanya sering meminta Kris mengawasi Silva, takut kalau mendadak anaknya berbuat yang tidak-tidak.

Tapi setelah mendapat laporan kalau Dimas sibuk bermain dengan teman-temannya, San san berhenti memantau Silva.

"Mama kok diam?" tanya Dimas lesu. "Silva nggak cinta Dimas ya, Ma?"

San san tersenyum. "Harusnya dia cinta. Silva itu sama dengan mama. Kami sama-sama terikat pada budaya, bahwa seorang istri harus mencintai suami. Begitu menikah, kami belajar mencintai suami."

"Mama kan cinta papa karena banyak anak. Dimas sama Silva belum punya anak."

"Ya, kan kamu yang nggak mau punya anak."

"Tapi sekarang Dimas mau. Dimas mau deh punya anak. Biar Silva berhenti kuliah, biar Silva di rumah aja. Ya kan Ma?"

San san terbatuk.

"Kamu___kamu mau punya anak?"

Dimas mengangguk. "Dimas mau punya anak empat. Dua perempuan dua laki-laki. Nanti anak Dimas, Dimas manja sama kayak mama manjain Dimas. Silva kan orangnya ketus, Ma."

San san mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menyuapi Dimas tapi dia yang jadi tidak selera makan.

Meminta silva menemani Dimas memang tidak sulit, tapi masalah memiliki anak? Mana mungkin ada wanita yang mau. San san takut, kalau Dimas akan menuntut banyak hal dari Silva sembari menunggu tubuhnya membaik dan siap untuk bercinta. Dia tau anaknya, tidak akan berhenti sebelum mendapatkan yang ia mau. Hal yang dipelajarinya dari papa dan kakaknya, Brandon. Seandainya dia sebaik Erick, batin San san.

"Assalamualaikum,"

San san dan Dimas menoleh ke pintu.

Silva dengan nafas terengahnya masuk ke dalam ruangan.

Dimas mengerutkan kening. Silva masih mengenakan pakaiannya saat pergi kuliah tadi, dan penampilannya terlihat lusuh, jelas bukan penampilan seseorang yang habis istirahat.

"Mama bohong kan!" teriak Dimas.

Silva yang tidak mengerti apa-apa terdiam. Dia tidak pernah melihat Dimas membentak San san.

San san meletakkan piring di tangannya ke atas nakas lalu menghampiri Silva.

"Silva, sudah mama suruh mandi dulu kan sebelum ke sini? kenapa belum ganti baju? Tadi farah sudah makan?"

Silva menenggak ludah sembari menatap San san yang memberi kode padanya untuk mengikuti kebohongan San san.

"Ah ya, eum, tadi aku terbangun dan buru-buru ke sini. takut kamu marah kalau aku kelamaan. Tadi Fahranya lagi di kamar, Ma. Mungkin belum lapar."

"Nah, karna kamu sudah di sini, kamu bantu Dimas minum ya?"

Silva mengangguk. Dia tau mantan mertuanya ini tidak bisa berbohong makanya dia tidak mau berdekatan dengan Dimas dulu. Dia takut Dimas tau dia sedang berbohong.

"Makannya habis, Dy?" tanya Silva basa basi.

Dimas mengangguk. Silva membantu Dimas minum.

Dimas mengomeli Silva yang katanya berbohong. Silva berusaha mengelak tapi memang tidak sepenuh hati. Dia tidak pernah suka Dimas yang cerewet. Dari dulu Dimas selalu mengaturnya ini itu, mengeluh ini itu.

"Va, kamu nggak dengerin aku!" keluh Dimas.

Silva membuang nafas lelah. "Mas, aku capek habis kuliah. Kalau kamu marah-marah terus aku malah tambah capek."

"Dy, Va. Apa susahnya manggil aku Dy?"

"Semua manggil kamu Mas! Kenapa aku harus manggil kamu Dy? Siapa aja yang manggil kamu Dy?"

"Kan Cuma kamu, Va! Kenapa kamu malah bentak aku? Kan benar, kamu berubah! Kamu __ahhh" Dimas menggeram sakit.

Silva yang tadinya terbawa emosi langsung berubah khawatir.

"Dy, yang mana yang sakit?" tanyanya panik.

Dimas diam saja, tidak mau menjawab Silva.

"Dimas, yang mana yang sakit? Aku panggil mama ya?"

Dimas mendelik kesal. "Kamu itu, dikit-dikti mama! Dikit-dikit mama! Aku suami kamu, Va. Mama aja, dulu, semua urusan papa mama yang urus. Padahal mama dinikahin papa empat belas tahun! Bodoh, nggak pernah sekolah! Kamu, cewek paling pintar di sekolah, aku nikahin udah tujuh belas tahun!"

Silva memejamkan matanya menahan emosi, dia mengingatkan dalam hati bahwa Dimas sedang sakit, wajah mulutnya sesinis itu. Meski memang sebenarnya Dimas selalu seperti itu.

"Jadi, apa yang sakit, Dimas sayang?" tanya Silva dengan suara melembut. Dimas masih tidak mau menjawab.

"Dimas, sayang, apanya yang sakit?" bujuk Silva lagi.

"Tangan aku, Va. Sendinya sakit kalau gerak dikit aja."

Silva tersenyum. "Makanya jangan gerak. Jangan marah-marah. Sakit kan jadinya. Kamu tadi udah tidur?"

Dimas mengangguk. Dia merona saat ingat kembali mimpinya. Seandainya dia sudah lebih baik, mungkin dia sudah bisa memintanya pada Silva.

"Va, cium dong" pinta Dimas.

Silva merona, lalu terbatuk. "Dy___kamu___kamu___" ucapannya selalu terhenti karena batuknya.

Silva menarik nafas panjang setelah batuknya hilang. Dia terdiam. Bingung harus menjawab apa.

"Va, ya, cium?"

Silva berdeham. "Dy, kamu masih sakit. Nggak boleh macam-macam. Tadi aja marah sendinya udah sakit."

Dimas terlihat kesal. "Kan Cuma cium aja. Apa susahnya. Aku rindu bibir kamu." rajuknya.

Silva merasa salah tingkah. Tidak mungkin dia menuruti kemauan Dimas itu, sampai kapanpun. Mereka sudah bercerai dan perceraian mereka tidak baik. Masih ada rasa sakit hati di dada Silva mengingat perbuatan Dimas dan Dimas memintanya berciuman? Yang benar saja.

"Va, cium" pinta Dimas lagi, tidak mau menyerah.

"Dy, kamu apaan sih. Nggak mau. Kamu minum obat ya?"

"Nggak mau kalau nggak dicium."

Silva kehabisan kata-kata. Dia meletakkan lagi obat itu di nakas, lalu berdiri. "Kamu mau minum apa enggak terserah kamu, Dy. Yang sakit kan kamu. kalau kamu betah sakit terus ya nggak apa-apa. Udah ah aku mau mandi dulu."

Silva beranjak meninggalkan Dimas, meninggalkan kamar. Tidak perduli teriakan Dimas memanggil namanya.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top