8....
happy reading
love yeahhh
###
"Ma, Silva kok begitu ya Ma?" tanya Dimas saat San san menyuapinya makan.
San san terkekeh pelan. "Kenapa lagi Silvanya? Kamu ngeluh terus," ejek San san.
"silva kayak nggak cinta sama Dimas. Dimas sakit dia ogah-ogahan rawat Dimas. Masih ngotot mau ke kampus. Padahal Dimas kan bosan, maunya ada Silva."
San san hanya tersenyum kembali menyuapi Dimas.
"Apa jangan-jangan Silva dekat sama cowok lain ya Ma, di kampus? Jangan-jangan Silva selingkuh makanya dia begitu ke Dimas. Dia nggak cinta lagi sama Dimas."
San san mengerutkan keningnya. "Memangnya Dimas cinta sama Silva?"
Dimas menganggukkan kepalanya. "Ya cinta, Ma." Ia kemudian tersenyum nakal. "Kalau nggak cinta nggak Dimas perkosa."
San san terbatuk. Tidak menyangka Dimas akan mengatakannya sesantai itu bahkan saat ia lupa ingatan. Tapi, tunggu dulu....
"Kamu__kamu ingat kalau kamu sudah perkosa Silva?"
Dimas mengangguk.
"Terus kamu ingat apalagi?"
"Ingat kalau Silva jadi istri Dimas, terus___udah sih sampai sana aja, Ma."
San san menganggukkan kepalanya. Dalam hati dia berpikir tentang kondisi anaknya ini. Mungkin besok dia harus memanggil dokter ke rumah. Tentu saja saat Silva ada atau Dimas akan kembali rewel.
"Ma, memangnya yang kasih izin Silva kuliah siapa?" tanya Dimas.
San san terdiam, bingung harus menjawab apa. Dulu, Dimas tidak pernah mengizinkan silva melanjutkan kuliahnya. Untuk menamatkan SMAnya saja Silva harus membujuk Dimas itupun sekolah paket agar Silva lebih sering di rumah.
San san tidak pernah menyalahkan Dimas. Dia menyesalinya tapi dia juga merasa salah. Terlalu banyak contoh tidak baik di rumah ini. Kisah kakak-kakak Dimas juga kisahnya sendiri mungkin menjadi latar belakang Dimas melakukan semua ini dengan mudahnya. Padahal San san sudah berusaha agar setidaknya, permasalahan rumah tangga yang pelik hanya terjadi pada dirinya, Erick dan Brandon.
Tidak pernah disangkanya bahwa dia harus terlebih dahulu menikahkan Dimas dibanding Ambar. Dimasnya, anaknya yang paling menggemaskan.
"Ma, Mama kok malah melamun? Mama ada masalah?"
San san menggelengkan kepalanya, menggerakkan jemarinya kembali menyuapi Dimas.
"Ma, siapa yang kasih Silva kuliah?" desak Dimas lagi.
San san tersenyum terpaksa. "Kamu," dustanya, hanya agar Dimas diam.
"Pasti Silva bujuk-bujuk Dimas ya Ma? Kalau enggak mana mungkin Dimas kasih. Mending Silva di rumah aja kayak Mama sama kak Eve, jadi istri yang baik."
San san terkekeh. "Kakak kamu ikut suaminya ke kantor."
"Ya kan nggak untuk kerja, Cuma supaya kak Brandon bisa awasin kak Eve. Supaya kak Eve nggak kesepian. Itukan karena Aska makanya kak Eve begitu. Untung Dimas nggak punya anak. Bisa-bisa Silva sama stressnya sama kak Eve, kan Ma?"
San san menggelengkan kepalanya. "Anak itu, justru penyemangat seorang ibu. Kamu tau kan kakak kamu fisiknya lemah sejak melahirkan? Yang buat dia semangat ingin sehat ya Aska. Bukan Aska yang buat dia sakit."
"Ah, Mama. Aska dibela terus Dimas enggak. Mama nggak sayang sama Dimas."
San san tertawa. "Kamu sudah jadi suami, kok masih manja! Malu sama istri," ejek san san.
"Habisnya mau manja sama Silva, Silvanya cuek Ma. Ma, nanti kalau Silva pulang mama bilangin ke Silva ya supaya jangan cuek sama Dimas? Kan dia pasti segan sama Mama. Kalau Mama yang suruh dia pasti nurut."
San san tersenyum lalu mengangguk. Lupa ingatan atau tidak, ternyata Dimas memang tetap sama. Masih tetap manja dan ingin memonopoli kehidupan Silva. Selalu memanfaatkan San san untuk menjadi media mengatur Silva.
***
"Lo gila Sil tinggal di rumah mantan lo? Yang bener aja?" ucap Dina kaget.
Silva membuang nafas panjang lalu mengangguk dengan wajah lesu. "Aku nggak ada pilihan lain, Din. Keluarganya maksa"
"Ya elah, Sil. Mau keluarganya maksa mau satu indonesia maksa, lo punya hak kali sama hidup lo! Dia udah ceraiin lo ya udah berarti dia nggak ada hak lagi sama hidup lo. Apalagi keluarganya."
"Kamu nggak tau keluarganya, Din. Mereka keras, dan kejam. Mereka nggak segan berbuat keji sama orang yang dianggap mereka merusak kebahagiaan keluarga mereka. Aku takut bukan Cuma aku, tapi keluarga aku kenapa-napa Cuma karena aku nolak kemauan mereka."
Dina tertawa. "Biar aja. Sekalian tuh keluarga lo kena batunya. Mereka kan jahat juga sama lo. Mentang-mentang lo janda mereka nggak sudi nerima lo? Bukan salah lo kali lo jadi janda. Dimasnya aja yang nggak bener. Lagipula, apa lo nggak ngeri terlibat sama keluarga preman begitu?"
Silva mengangkat bahunya. Sebenarnya dia merasa malas menceritakannya dengan Dina karena tau reaksi Dina akan seperti ini. Tapi rasanya terlalu berat jika Silva pendam sendiri.
"Lo dinikahin pakai cara maksa, diceraikan dengan cara nggak terhormat, sekarang dipaksa balik dengan cara paksa lagi, nggak lucu kalau lo yang udah jadi jandanya Dimas kembali di talak pas itu tuh, neng April muncul."
Silva tertawa. "Bagus dong, kalau perlu talak tiga sekalian."
Giliran Dina yang tertawa. "Hayooo sebenarnya lo harap di talak tiga sekaligus biar Dimas mabok janda kan?"
Kening Silva berkerut. "Mabok janda?"
"Iya. Lo nggak tau? Mitosnya, kalau ada cowok nalak tiga istrinya, tanpa mikir panjang langsung tuh nalak tiga, dijamin, nggak berapa lama dia bakalan menyesal dan mabuk kepayang sama mantan istrinya itu. Efek karma kali ya? Kan kalau udah talak tiga nggak bisa lagi kecuali yaaaa lo taulah kan, sang mantan harus menikah dengan orang lain dulu. Mungkin itu kali yang buat perasaan sang mantan suami lebih menggebu-gebu pengen balikan. Biasanya yang terlarang itu yang nikmat. Ya nggak?" Dina mengerling nakal.
Silva tertawa lalu memukulkan bukunya ke kepala Dina. "Ngawur. Mana ada yang begituan!"
Mereka sama-sama tertawa.
Dina adalah sahabat Silva, satu-satunya. Dina yang mengajak Silva untuk kuliah, juga yang mengajaknya bekerja. Dina menjadi satu-satunya orang yang menyemangati Silva saat Silva terpuruk.
Bagaimana tidak terpuruk? Sudah bercerai dengan Dimas, Silva yang merasa dunianya runtuh kembali merasakan sakit hati ketika dia pulang orangtuanya malah mengatakan dengan gamblang tidak mungkin mereka menanggung Silva lagi. Silva sudah dewasa dan sudah pernah menikah jadi jika Silva memutuskan berpisah dengan suaminya, maka Silva harus siap dengan konsekuensinya yaitu menjalani hidupnya dengan perjuangannya sendiri.
Sama saja orangtuanya mengusirnya.
Silva tidak tau kenapa dia disalahkan. Memangnya seorang wanita tidak berhak marah jika suaminya, baik kaya ataupun miskin, sering pulang larut dengan mulut bau alkohol, sering bepergian dengan teman-temannya yang terkenal nakal, dan beberapa kali terdengar sedang berbicara dengan wanita lain saat tengah malam.
Silva tidak ingin Dimas berubah drastis saat menikah dengannya. Sikap Dimas yang semena-mena berusaha ditolerirnya karena dia bukan lagi perempuan yang terbebas. Dia sudah menjadi seorang istri dan menjadi seorang istri dia tidak bisa seleluasa saat masih sendiri.
Dia berusaha mengerti dimas. Dia sering mengalah pada Dimas. Dia juga sering mengabaikan rasa kecewanya saat Dimas menyentil egonya. Bahkan perlahan Silva mulai merasakan yang namanya cinta. Dia akhirnya mengerti bahwa seorang wanita, meski menikah dengan keadaan terpaksa, tetap saja kemungkinan besar akan mencintai suaminya karena begitu statusnya berubah menjadi seorang istri, doktrin di kepalanya sudah mengultimaltum bahwa dia akan selamanya menjadi seorang istri sehingga bagaimanapun Dimas saat itu dia harus belajar menerimanya.
Tapi semua berbeda, jika ada wanita lain. Itu adalah jenis kesalahan yang tidak bisa Silva tolerir apalagi Dimas tidak menunjukkan penyesalan. Silva lebih baik menjadi janda muda daripada terus hidup dalam rumah tangga yang berantakan.
"Hei, pada seru bahas apaan nih?"
Silva dan Dina menoleh ke arah Genta, pria yang juga akrab dengan mereka, sekaligus pria yang disukai Dina.
"Bahas suami silva."
"Mantan!" ralat Silva melirik Dina kesal.
"Dimas? Masih hidup dia? Kenapa nggak mampus sekalian?"
Dina menyikut Genta. "Lo apaan sih. Doa lo jelek banget kayak manusia nggak punya hati"
"Ya habisnya, dia nyakitin Silva. Dia nggak sadar diri banget udah dapat istri cantik malah ngulah. Edan tuh bocah."
Silva menggelengkan kepalanya. Genta dan Dina, dua manusia yang tidak pernah akur tapi selalu ada untuk Silva. Silva tau Dina menyukai Genta dan Silva juga tau Genta menyukainya. Itu kenapa dia sengaja lebih sering diam. Silva percaya, suatu saat perasaan Genta padanya akan memudar dan Genta bisa berpaling ke Dinda. Dinda cantik, pasti tidak akan sulit untuk menyukainya.
"Eh, gue habis gajian nih. Kita makan yuk? Gue traktir!" seru Genta.
"Wah, mau gue. Kemana??"
Silva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak ikutan ya? Soalnya angkot ke rumah Dimas nggak ada kalau sore. Susah. Kalian aja. Aku mentahnya aja. Mana?" Silva tersenyum lalu mengadahkan tangannya.
Genta memasang wajah tidak suka. "Bilang aja lo kangen sama suami lo itu, Sil. Susah amat."
Silva merasa tidak enak. "Bukan__"
"Aduh, gitu aja kok repot. Gue yang anter lo pulang deh."
Silva menoleh ke Dinda. "Kamu yakin Din? Kamu kan malam ada kerja?"
"Gue rencana mau resign juga. Gue udah ada kerjaa baru. Di tempat lama gue betah-betahin kan karna ada lo, Sil. Kalau enggak ada lo, malas gue."
Silva kembali merasa terenyuh. Dina berkorban terlalu banyak untuknya. Seandainya nanti San san memberikan materi yang diminta Silva, maka Silva ingin membuka usaha bersama Dina.
"Naaahhh!" suara keras Genta membuat Dina dan Silva sama-sama terkejut. "Kalau udah begitu, tunggu apalagi? Yuk cabut?"
"Cabut apaan! Tunggu kelas gue sama Silva kelar dong!" gerutu Dina.
Silva tertawa melihat pertengkaran kecil yang manis itu. Semoga saja kedua temannya itu bisa segera terikat dalam status berpacaran.
***
"Udah jam berapa Ma?"
San san menghela nafas lelah kembali melirik jam. Belum lima menit yang lalu Dimas menanyakan jam padanya.
"Masih jam lima, Mas."
Dimas kembali menguap, terlihat mengantuk tapi sepertinya sengaja menahan kantuknya.
"Ma, coba hubungin Silva. Kok jam segini belum pulang?"
"Mas, Silvanya kan nggak ada hp, sayang."
Dimas mengerutkan keningnya. "Kok nggak ada? Kalau ada apa-apa sama Silva gimana?"
"Silva anak kuat. Dia pasti baik-baik aja."
"Kalau ternyata dia ketemuan sama cowok lain, Ma?"
San san menggaruk kepalanya bingung. "Mas, mama tinggal dulu ya? Mama mau bantu bibik siapin makan malam."
Dimas mengangguk.
San san keluar dari kamar dan menutup pintu kamar Dimas. Dia menempelkan keningnya di pintu. Bagaimana kalau anaknya sekarang memang sudah mencintai Silva, dan bagaimana kalau Silva sudah terlanjur terlibat dengan pria lain?
Harusnya tidak.
Untuk wanita seperti Silva, menjalin hubungan pasti tidak segampang itu. Dia masih baru berpisah dengan Dimas, seharusnya masih ada rasa canggung untuk dekat dengan pria lain.
San san menarik nafas panjang, meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja lalu beranjak.
Sedang di kamar, Dimas terus berusaha menahan kantuknya. Padahal dia sudah mengantuk dari tadi siang efek dari obat-obat yang diminumnya. Hatinya gelisah. Sedari dia membuka mata saat di rumah sakit, dia gelisah akan Silva. Meski Silva di sampingnya dia merasa ketakutan Silva akan pergi meninggalkannya. Apalagi kalau Silva sedang berada jauh seperti ini.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top