6. Rumah
Happy reading
Love yeahhh
****
Dimas dinyatakan sudah boleh pulang. Silva dengan sabar mendengarkan gerutuan Dimas yang sudah terdengar seperti nenek-nenek cerewet saja, mengeluhkan berbagai hal yang intinya, Silva tidak mau merawatnya dengan baik. Tidak seperti Silva yang biasanya, yang selalu menjalankan perannya sebagai istri dengan sangat baik. Jika dulu dia akan meminta maaf dan merubah sikap agar Dimas berhenti menggerutu, sekarang tidak lagi. Doktrin di kepalanya bahwa seorang istri harus selalu menyenangkan suami sudah berhenti mendiktenya seiring dengan perubahan status pernikahan mereka.
Begitu sampai di pekarangan rumah, perasaan canggung menggelayut di hati Silva. Akhirnya, dia kembali memasuki rumah ini, meski hanya sementara. Rumah yang pernah menjadi rumahnya juga. Rumah yang menjadi saksi perjalanan singkat rumah tangganya.
Mereka disambut oleh asisten rumah tangga yang sebelumnya tidak ada. Silva menebak mereka, dua orang wanita itu, dipekerjakan untuk membantu menjaga Dimas. Fahrani pasti masih sekolah karena hari masih menjelang tengah hari dan Kris pasti sedang bekerja. Yang Silva syukuri, San San masih bersama mereka. Kalau tidak, dia tidak akan mau mengantarkan Dimas. Dia di sini hanya membantu, bukan orang yang berkewajiban penuh atas diri pria itu.
Supir membantu memindahkan Dimas ke kursi roda dan mendorongnya sampai ke dalam kamar. Silva yang merasa tubuhnya kurang nyaman, segera mandi di kamar mandi tamu. Tidak perduli jika nanti Dimas akan mengeluh. Otaknya butuh penyegaran. Dia membutuhkan waktu sejenak, berjauhan dengan Dimas, agar kewarasannya tetap terjaga. Merawat orang sakit yang berkarakter seperti Dimas memang menguras tenaga. Setiap Silva beristirahat, Dimas membangunkannya dengan keluhan sakit, meminta ditemani sampai tertidur kembali. Atau dengan alasan lain yang Silva rasa hanyalah rekaan agar pria itu memiliki alasan untuk mengganggunya.
Silva sudah selesai mandi. Dia pun langsung menuju kamar Dimas. Ternyata Dimas sedang tertidur pulas. Melihat itu, Silva segera keluar kamar untuk mendatangi San san yang duduk di ruang tamu. Ada penjelasan yang masih harus dia tagih.
"Eum, Ma, Silva nanti tidurnya di mana?" tanyanya.
San San melirik ke belakang Silva dengan pandangan waspada, memastikan Dimas tidak mengikuti Silva, dan menguping pembicaraan mereka. Dia menarik napas, menyiapkan diri agar bisa mempertahankan tutur kata yang baik dan bijak, sehingga Silva mau mendengarkannya. Meski Silva sudah berjanji, bukan tidak mungkin wanita itu mundur karena alasan ketidak-nyamanan. Dia menepuk sisi sofa di sebelahnya, memanggil Silva agar bisa berbicara dengan suara pelan.
"Kalau ... kalau sekamar dengan Dimas?" tanya San San hati-hati.
Silva sudah menduganya, tapi tetap saja ide itu terasa aneh. "Permasalahannya, Ma, kami sudah—"
"Va, Dimas nggak tau dan dia sedang sakit. Kita sudah sepakat, 'kan? Anggap kamu itu sedang merawat orang yang sakit. Tidak mungkin juga kan Dimas mengajak kamu ... eum ... mengajak kamu melakukan 'itu', 'kan?" ucap San San canggung. "Untuk menggerakkan kakinya saja dia masih belum bisa. Ya?"
Silva membuang napas lesu. "Tapi aneh, Ma."
"Sayang, Mama minta maaf. Tapi, sebagai seorang ibu, Mama tidak bisa menahan keegoisan Mama untuk melakukan segala hal agar Dimas sembuh. Dimas itu, anak Mama yang paling manja. Kami yang salah karena terlalu memanjakannya, dan sekarang ini, dia sedang lemah. Tidak mungkin kita memaksa Dimas merubah karakternya yang pemaksa itu, sekarang. Mama tau Dimas sudah salah langkah kemarin. Tapi Mama percaya Dimas bisa berubah. Siapa tau kejadian ini malah menjadi pengajaran untuk Dimas agar menjadi sosok yang lebih baik. Ya, Sayang? Mama mohon."
"Silva ... Silva ragu Silva bisa, Ma. Semua ini ... aneh." Silva menundukkan kepalanya menghindari tatapan tidak berdaya San san yang membuatnya tidak tega. "Silva nggak bisa terlalu lama di sini. Silva punya kehidupan sendiri, Ma. Sampai kapan Silva harus tinggal di sini? Kapan Dimas sembuh?"
San San menggelengkan kepalanya. "Mama nggak tau, Sayang. Semoga saja secepatnya. Mama juga mau Dimas cepat sembuh."
"Silvaaaaa!"
Teriakan Dimas membuat kedua wanita itu mengerutkan kening. Wajah mereka sama-sama menegang, takut Dimas berteriak karena terjadi sesuatu.
"Kamu ... kamu ke kamar, ya? Siapa tau Dimas—"
Silva mengangguk, membantu San San agar tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Dengan perasaan campur aduk, Silva masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa.
"Kenapa, Mas?" tanya Silva.
"Va!" tegur Dimas kesal. Dalam hati Silva mengagumi Dimas yang saat sedang sakit, tetapi mampu mempertahankan sifat pemarahnya. Padahal setiap berucap dengan nada keras, kernyitan langsung terlihat jelas di kening pria itu. Menggambarkan dengan gamblang rasa sakit yang Dimas rasakan.
Silva memejamkan matanya, membuang napas panjang. Dia melupakan permintaan Dimas tentang panggilan. "Maaf. Kenapa, Dy?"
"Kamu ke mana? Kaki aku rasanya denyut-denyut, Va. Sakit." Dimas mengadu dengan wajah manjanya.
Silva melirik kaki Dimas. "Terus aku harus apa?" tanyanya bingung.
"Kamu ngapain, kek! Jangan malah keluar kamar lama-lama, dong. Kamu ngapain coba?"
Silva membuang napas kesal. Dia sadar Dimas hanya ingin menahannya di kamar. Sakitnya hanya rekaan karena wajah Dimas pun tidak menyiratkan bahwa dia sedang kesakitan. Meski lupa ingatan, tapi sikap memang tidak bisa berubah. Dimas tetap saja suka memaksakan kehendaknya.
"Iya-iya!" ucap Silva ketus lalu duduk di sofa. Dia mengambil salah satu novel yang terpajang di rak buku Dimas lalu membukanya. Tidak benar-benar membacanya. Hanya menjadikan tulisan-tulisan itu sebagai pengalih perhatiannya agar Dimas tidak mengajaknya bicara. Rasanya kesal sekali saat seseorang menjadikan penyakit sebagai bahan untuk memperalat orang lain.
Suasana hening cukup lama. Dalam hati, Silva bersyukur karena Dimas tidak mengganggunya.
"Dimas?"
Silva dan Dimas sama-sama menoleh ke pintu yang terbuka dan menampilkan San San bersama dengan orang yang membuat Silva merasa canggung. Mereka adalah Eve dan Brandon yang sudah melangkah masuk membawa plastik berisi buah.
"Kakak!" Wajah Dimas berubah ceria.
Jantung Silva berdegup kencang, kepalanya mendunduk menghindari bertemu pandang dengan kedua orang itu. Ingatan Silva tentang kedua orang itu hanya tentang bagaimana mereka selalu memihak Dimas. Dia beranggapan kedua orang itu pasti membencinya karena Dimas pun membencinya. Mereka pasti tidak suka melihatnya sekarang ada bersama Dimas, menuduhkan banyak hal, menjadikannya kambing hitam atas kondisi Dimas.
"Ya ampun, Mas. Kok bisa begini?" tanya Eve menghampiri Dimas dengan tangan yang menarik Brandon agar ikut melangkah bersamanya.
"Namanya kecelakaan, Kak."
Tangis Eve tidak terbendung lagi. Dia memeluk Brandon dan menumpahkan tangisnya di dada suaminya itu. Silva merasa iri melihatnya. Brandon, meski terlihat dingin, selama ini bisa menjadi tempat bersandar bagi istrinya. Meski tetap saja mereka juga pasangan yang kurang beruntung karena Aska, anak Eve dan Brandon, membenci mereka. Untung Silva tidak memiliki anak. Sekali ini dia bersyukur Dimas melarangnya hamil karena dia tidak akan sanggup jika ia harus bernasib sama seperti Eve, dibenci anaknya.
"Silva?"
Pertanyaan Brandon membuat Eve melepaskan pelukan dan menghapus air matanya lalu menoleh ke arah pandangan Brandon.
"Silva?" tanya Eve juga. Dia terlalu terfokus pada Dimas sehingga tidak menyadari keberadaan Silva.
Silva bingung harus bagaimana. Kekagetan mereka berarti mereka tadi tidak menyadari keberadaannya dan San San tampaknya belum banyak bercerita tentang kondisi Dimas.
"Eh, Mama lupa bilang. Dimasnya mau mandi dulu, ya? Sudah jamnya. Habis mandi Dimasnya kan bisa tidur." San San melempar tatapan memberi kode kepada Eve dan Brandon bahwa dia akan menjelaskan semuanya nanti, tidak di depan Dimas.
"Ma, kali ini Silva yang mandiin, ya? Kan Dimas punya istri. Kok yang urus Dimas malah Mama," keluh Dimas.
"Kan Silvanya takut salah lap badan kamu, Mas. Mama aja, ya? Silvanya masih takut mandiin kamu."
"Iya, Dy, aku takut." Silva membantu San San membujuk Dimas. Dia tidak akan mau mengelap tubuh Dimas. Itu terlalu intim bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan apa pun lagi.
Dimas memajukan bibirnya kesal. Tidak mengangguk tidak menggeleng. Dia hanya diam saat San San mulai menyibakkan kain tipis penutup tubuhnya.
"Eum, Silva keluar dulu, ya. Silva lapar," ucap Silva langsung keluar dari kamar. Dia tidak kuat lagi menghadapi detak jantungnya yang terus mengencang. Merasa terancam di tengah keluarga Subekti itu.
"Eum, Eve salin buahnya dulu, ya," ucap Eve. Dia langsung keluar kamar, mengikuti Silva. Brandon mengekori Eve tanpa berkata apa pun.
"Dimas kenapa?" tanya Eve begitu mereka keluar dari kamar.
Silva membalikkan badannya, menatap Eve dengan dagu terangkat. Sejujurnya, meski jarang bertemu, dia kurang menyukai kakak, ralat, mantan kakak iparnya itu. Dia sama bahkan lebih dari San San dalam membela Dimas. Wajar jika Aska berpikir lain terhadap hubungan mereka, batin Silva.
"Sil, Dimas kenapa?" tanya Eve lagi lebih mendesak.
"Dimas lupa ingatan, Kak. Dia lupa kalau kami sudah berpisah." Suara Silva yang bergetar menggambarkan rasa muaknya pada situasi yang menjebaknya. Dia harusnya tidak merasa tertekan karena mereka yang membutuhkannya. Dimas kesayangan mereka itu yang menginginkan Silva ada di sampingnya, bukan Silva yang dengan sengaja menempeli pria itu, memanfaatkan kondisinya yang sedang lemah.
Mulut Eve terbuka lebar, lalu dia menutupnya dengan tangannya. Air matanya kembali mengalir. Dia membalikkan badan menghadap Brandon. "Kak," adunya.
"Sudah-sudah," ucap Brandon lalu menarik Eve ke pelukannya.
"Silva ke belakang dulu," gumam Silva pelan lalu meninggalkan Brandon dan Eve.
Di dapur, Silva langsung menempelkan punggungnya di dinding. Dia butuhtopangan. Kehadiran dua orang tadi membuatnya semakinsadar bahwa mulai hari ini, akan ada kejutan-kejutan lain yang menanti.Kedatangan Debora dan April, misalnya.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top