2. Amnesia

happy reading

love yeahhh

###


Dimas dinyatakan kehilangan sebagian ingatannya. San san menahan tangis saat anak kesayangannya itu terus bertanya tentang Silva dengan suara serak dan lemasnya.

"Sudah, Dimas tidur dulu. Nanti Silva datang mama bangunin. Ya?" bujuk San san.

Dimas menggelengkan kepalanya. "silva nggak boleh gitu ma. Dimas kan suaminya. Harusnya dia di sini dong. Memangnya dia dimana? Ngapain?" keluh Dimas sambil memejamkan matanya seolah setiap berbicara dia merasakan sakit.

"Iya, Silvanya kan sedang dijemput."

"Iya, harus dijemput" gumam Dimas kemudian nafasnya mulai teratur.

San san meloloskan isakannya tanpa suara. Dia tahu Kris sangat bisa diandalkan tapi apa saat ini juga sama?

Masalahnya, terjadi permusuhan keluarga akibat perpisahan dimas dan Silva. San san menunggu sebentar lagi, kemudian mengeluarkan ponsel dari tasnya dan menelepon Kris.

"Ketemu?" tanyanya begitu Kris mengangkat panggilannya.

"Bawa kemari Pi, cepat. Dimas sebut nama dia terus."

San san mengakhir panggilan lalu kembali memandang Dimas. Dimasnya, anak lelaki sulungnya, kesayangannya.

***

Silva duduk dalam diam dengan pandangan menerawang memandang ke luar jendela. Dia kaget dengan informasi ini sekaligus khawatir. Bagaimanapun juga, dia pernah terlibat dalam kehidupan Dimas meski hanya beberapa tahun yang kemudian berpisah.

Silva tidak mengerti, apa pentingnya dia dibawa ke rumah sakit. Untuk menjenguk? Bisa saja Dimas malah kesal dengan kedatangannya dan mengusirnya. Atau mungkin Dimas akan merasa terganggu karena di sana sudah ada Debora, atau April, atau mungkin malah gadis lainnya. Entahlah.

Sesampainya di rumah sakit, silva membuang nafas panjang memnguatkan batinnya akan kemungkinan rasa sakit yang ditimbulkan oleh Dimas.

"ayo," kris mengulurkan tangan mengajak.

Silva mengerutkan keningnya, kenapa mantan mertuanya ini mendadak lembut sekali?

Jantung Silva berdetak kencang saat mereka semakin mendekati ruang rawat inap Dimas. Tangannya gemetar dan membasah karena gugup.

"Di sini kamarnya" ucap Kris.

Silva menatap pintu kamar yang dibuka Kris lalu melangkah masuk dengan ragu-ragu.

"Silva, sayang," San san segera memeluk Silva lalu menangis.

Silva bingung, ada apa sebenarnya? Kenapa dia seolah-olah terlibat penting di kejadian ini?

"Sil__va?" lirih Dimas.

Silva melirik Dimas dari sudut matanya. San san melepaskan pelukan mereka, memutar tubuhnya menghadap Dimas.

Rasanya tenggorokan Silva mengering saat mata Dimas menatapnya intens.

"Sini, Va. Sini" panggil Dimas mengulurkan tangannya ke arah Silva.

Silva mengerutkan keningnya lalu memalingkan wajahnya memandang Kris dan San san bergantian dengan bingung. Dia melangkahkan kakinya mendekati Dimas seolah Dimas adalah pasien sekarang yang sedang memanggil seseorang untuk menyampaikan pesan terakhirnya.

"Kamu kemana aja, Va? Aku sakit kenapa kamu nggak ada?"

Silva menegerutkan keningnya tidak mengerti.

"Badan aku sakit semua Va" adu Dimas yang membuat Silva semakin tidak mengerti. "Suami sakit kan harusnya kamu ada di samping aku. Kamu istri macam apa!" keluh Dimas.

Jantung Silva berdetak kencang, bahkan seolah dia tersambar petir. Dimas berkata istri?

Silva menatap San san meminta penjelasan namun saat melihat wajah memelas San san agar Silva mengiyakan apapun perkataan Dimas membuat Silva terdiam. Dia terjebak, dalam suatu kondisi yang begitu membingungkan.

"Va, sini" panggil Dimas lagi mengulurkan tangannya dengan mata setengah terpejam.

Silva menyambut uluran itu, dan terpaksa duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang rawat inap Dimas.

Dimas tertidur, dan selama ia tertidur, Silva hanya bisa diam ditempat karena tangan Dimas masih menggenggam tangannya erat sedang San san dan Kris bungkam. Ingin sekali rasanya Silva bertanya pada mereka tapi tampaknya mereka tidak akan menjawab karena sedikit saja suara akan membangunkan Dimas.

Silva jatuh tertidur, dan tangannya tersentak saat kepalanya terjatuh dan itu membuat Dimas terbangun.

"Maaf, nggak sengaja" ucap Silva cepat secara spontan. Mulutnya bereaksi terlatih karena dulu Dimas suka sekali marah jika Silva dianggapnya melakukan kesalahan.

Dimas tersenyum. "Kamu ngantuk ya?"

Silva kembali mengerutkan keningnya dan mengangguk ragu-ragu.

"sini, Va" Dimas menepuk sisi ranjang di sebelah lengannya agar Silva membaringkan kepalanya di sana.

Silva mengangguk lagi lalu membaringkan kepalanya.

***

"Papa mohon," ucap Kris seperti biasa, dingin.

"Tapi Pa, nggak bisa. Kami sudah bercerai."

"Sementara saja, sampai ingatan Dimas kembali."

"Tapi itu salah, Pa"

"Mama mohon, sayang" bujuk San san. "Kamu lihat Dimas, tubuhnya penuh luka. Dari kemarin dia menyebut nama kamu terus dan dia enggan menjalani proses pengobatan. Mungkin dia ingin dirawat kamu."

"Tapi Silva kuliah Ma. Silva sekarang punya kehidupan sendiri dan Silva nggak mungkin terus bersama Dimas karena kami sudah berpisah."

San san menangis, membuat Silva merasa serba salah tapi dia harus berkeras.

"Papa janji, setelah ini semua kesulitan keluarga kamu akan teratasi dan kuliah kamu pasti akan selesai. Tapi, kalau kamu tidak mau___" Kris sengaja menggantung kalimatnya. Tersenyum tipis saat melihat Silva memejamkan matanya frustasi.

"Mama mohon Va, sampai Dimas membaik. Sampai Dimas cukup sehat, sayang" bujuk San san lagi.

"Iya ma," jawab Silva lirih.

Mereka kembali ke kamar inap Dimas. Begitu masuk ke dalam kamar, Dimas sudah menyambut Silva dengan senyum manisnya membuat lutut Silva bergetar. Pasalnya, senyum itu yang dulu membuatnya terjatuh dalam pesona Dimas, sayangnya, meski wajah itu begitu manis, tapi perbuatan Dimas padanya itu cukup sadis.

***

Dimas sudah tertidur, dan Silva membuang nafasnya lelah. Dia merasa semua ini salah, tapi jika sudah Kris yang turun tangan maka semua akan menjadi rumit.

Silva menatap wajah damai Dimas yang sedang tertidur. Wajah yang begitu tampan. Wajah yang terus mengingatkan Silva pada hal paling memalukan dalam hidupnya.

Saat itu, Silva sedang membawa bukunya latihannya yang harusnya dikumpul tapi dia terlambat mengumpulkan karena teman sekelasnya dengan iseng menyembunyikannya menuju ruang guru. Dia akan menyerahkannya hari ini juga. Bagi Silva, ketepatan mengerjakan sesuatu itu penting.

Dalam perjalanan menuju ruang majelis, tiba-tiba April menarik tangannya paksa meski dia terus menolak.

"Pril, aku harus ke ruang guru" ucap Silva berusaha melepaskan cengkraman tangan Silva.

"Diam lo! Dasar p*r*k!"

Silva tidak mengerti kenapa April marah padanya.

"Tapi Pril,___"

Belum sempat Silva menyelesaikan ucapannya April sudah mendorongnya masuk ke sebuah ruangan kosong yang di dalamnya sudah ada beberapa pria yang tampaknya, sedang dalam kondisi tidak baik.

"April! April!" teriak Silva menggedor-gedor pintu yang sudah dikunci dari luar.

"Eh, ada silva cantik. Hai!" sapa Egan.

Silva menoleh ketakutan. Tatapan mata mereka sayu, semuanya tampak menyeramkan di mata Silva.

"Aku___aku mau keluar. Tolong, tolong suruh April bukakan pintu" ucap Silva dengan suara gbergetar.

Beny tertawa. "Kenapa buru-buru sih, sayang?" tanyanya.

Silva semakin ketakutan. Dia sudah menangis. Tangannya memeluk buku ditangannya dengan begitu erat.

"Tolong, ini sekolah. Aku janji nggak akan cerita ke siapa-siapa tapi tolong biarin aku keluar."

Gerby berdiri, lalu melangkah sempoyongan mendekati silva membuat Silva berjalan mundur. Matanya mengawasi setiap gerakan para pria itu.

"Lo emang beneran cantik," ucapnya.

"Plis, kalian semua__kalian semua nggak mau kan bermasalah sama sekolah? Kalian nggak mau kan perbuatan kalian terbongkar dan kalian dikeluarkan dari sekolah?"

Semua mereka tertawa membuat Silva merasa semakin tertindas.

"Nggak akan bermasalah kalau ada Dimas," ucap Egan lalu menangkap tangan Silva. Silva berusaha melepaskan cengkraman tangan Egan dan karena sulit dia menggigitnya lalu saat terlepas dia berlari mendekati Dimas yang sedari tadi diam saja.

"Mas, Mas, plis bantu aku. Bukain pintunya. Aku mohon!"

Dimas membuka matanya lebar dengan paksa, lalu tersenyum membuat Silva panik.

"Mas, tolong aku. Aku mohon!" ucap Silva panik.

Ketiga teman Dimas mendekati Silva membuat Silva terus meronta meminta bantuan Dimas namun lagi lagi Dimas hanya tersenyum.

"Aww" pekik Silva saat Egan menjambak rambut Silva lalu menariknya membuat Silva terpaksa mengikuti tarikan tangan Egan.

"Sakit" isak Silva.

Egan menarik Silva dan mendorongnya hingga jatuh berbaring ke sofa yang panjang.

"Telanjangin aja" ucap Gerby.

Silva menggelengkan kepalanya panik dan saat dia hendak berteriak, Beny menyumpal mulut Silva.

Silva terus meronta berusaha melepaskan diri namun tangannya tertahan ditarik ke atas oleh Gerby dan Beny mengikat kaki silva ke kaki sofa hingga mengangkang.

Rasanya memalukan dan benar-benar menjijikkan. Jelas tubuhnya akan dijamah tiga pria gila ini. Silva terus berusaha mengeluarjkan suara berharap Dimas akan sadar dan membantunya namun Dimas masih terus duduk dan diam menyaksikan semua itu.

"Siap Bos. Silahkan."

Silva saat itu tidak mengerti maksudnya. Ternyata bukan mereka. Dimas yang tadinya terus diam dan tersenyum seolah sudah melayang kehilangan kesadaran, lalu berdiri dan mendekati silva.

"Kamu cantik," ucap Dimas lalu menatap rok Silva yang tersingkap.

"Lo mau lebih jelas lagi?" tanya Gerby. Tanpa menunggu jawaban Dimas, Gerbi menarik rok silva keatas hingga semua yang ada di ruangan itu bisa melihat celana dalam Silva lalu Beny menggunting pinggiran celana dalam Silva.

"Tinggal tarik bos," ucapnya jahil lalu mereka semua tertawa.

Silva terus meronta sedang Dimas dengan tatapan berkabutnya masih saja diam memandang ketidakberdayaan Silva.

"Mas, kalau lo nggak jadi perkosa nih cewek biar gue aja" timpal Gerby.

"Enak aja, gue juga mau" timpal Beny.

"Kita garap aja bertiga" timpal Egan dan semua tertawa.

Dimas yang tadi hanya diam, mengeraskan rahangnya , mengerutkan keningnya.

"Gue, gue yang perkosa nih cewek" ucapnya mulai meniaki sofa dan menindih Silva.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top