15
happy reading.
love yeahhh
####
Makan malam terasa canggung. Silva masih enggan berbicara dengan San San dan wanita itu sepertinya mengerti. Dia membiarkan Silva melakukan apa yang dia mau. Sedangkan Silva, dia dengan sabar melayani kerewelan Dimas di meja makan. San San melihat semuanya dan tidak mengerti bagaimana bisa Silva lebih lunak setelah hal yang belakangan terjadi.
Selesai makan malam, Silva dan Dimas langsung masuk ke dalam kamar. Dia membantu Dimas belajar karena kata Dimas jika nanti kondisinya sudah memungkinkan dia akan segera kembali kuliah. Sesuatu yang sebenarnya membuat Silva semakin tertekan.
Dia mencintai Dimas dengan caranya sendiri. Dia selalu menahan untuk tidak memperlihatkannya karena dia tahu Dimas selalu menggunakan kelemahannya untuk membuat Silva tidak berdaya. Kembali kuliah, artinya Dimas akan kembali pada teman-teman brengseknya dan wanita-wanitanya. Merusak semua yang sudah mulai membuat Silva merasa nyaman.
"Kamu cantik," ucap Dimas tiba-tiba, membuat Silva langsung mengerjapkan matanya.
Dimas terkekeh lalu mengecup bibir Silva. Silva tidak sempat mengelak dan sialnya itu membuat hatinya berbunga-bunga. Dimasnya yang jahil.
"Va, aku capek belajar. Bacain novel lagi, ya? Aku ada beli novel baru, ceritanya bagus."
"Nindy lagi? Dia kan ceritanya gitu-gitu aja, Dy. Cerita nggak jelas, banyakan mesumnya. Kamu baca yang lain dong, yang lebih mendidik. Chicken soup, atau apalah selain karangan dia."
Dimas tertawa lalu menjepit hidung Silva. "Kamu udah baca semua karya dia memang? Belum, kan? Nggak semua tentang mesum, Sayang. Bacain, ya?"
Silva yang malas berdebat hanya mengangguk. Dimas naik ke atas ranjang dan menyodorkan novel pilihannya. Silva duduk dengan punggung menempel di kepala ranjang dan mulai membuka novelnya. Dia tertawa. Kata Dimas tidak mesum? Pembukaannya saja sudah adegan di atas ranjang.
Silva membacakannya, berusaha tidak terbawa perasaan seperti hari-hari sebelumnya. Dimas menarik tangan kiri Silva dan meletakkan tangan itu di atas kepalanya, menuntunnya agar membelai kepala Dimas.
"Susah, Dy, balikin halamannya," keluh Silva.
Dimas diam saja, tapi tidak membiarkan Silva menarik tangannya. Silva hanya bisa bersabar membalikkan kertasnya dengan satu tangan, meski sulit. Setelah beberapa saat, Silva mengerutkan kening karena merasa Dimas memiliki maksud lain dengan isi novel ini.
Dia melirik Dimas—yang kini tersenyum penuh makna. Jelas Dimas menyindirnya. Kisah di dalam novel, ada seorang gadis yang selalu dingin pada siapa pun dan menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Dia menolak kehadiran si pria meski pria itu berusaha sekuat tenaga meyakinkan si wanita kalau pria itu mencintai si wanita dan akhirnya wanita itu menyerah, dia membalas cinta pria itu dan mereka hidup bahagia.
Itu sama dengan Silva—sebagian besar. Wanita itu dan Silva sama-sama terdesak keluarga dan tidak bisa berpisah juga karena keluarga.
"Tidur, Dy, udah malam," ucap Silva berbaring miring memunggungi Dimas.
Dimas menggeser tubuhnya ke depan, mendekati Silva lalu memeluknya. "Harusnya, kita tidak terlalu keras dengan hati. Sama seperti yang dikatakan dalam novel bahwa setiap penolakan hanya membuang waktu hingga akhirnya sisa waktu untuk hidup dalam pernikahan yang penuh cinta tinggal sedikit."
Silva terkekeh karena kata-kata Dimas terdengar seperti omong kosong baginya.
"Kamu tau kenapa rasa marah, dendam, dan kecewa itu harus ada? Agar orang yang berbuat jahat tau dan mengerti bahwa tidak semua kesalahan bisa selesai dengan maaf dan jika dia hendak melakukannya lagi, dia akan berpikir dua kali."
Dimas mencium tengkuk Silva. "Kamu nyindir aku?"
Silva menggelengkan kepalanya pelan. "Cuma mengutip kata-kata dalam novel."
***
Silva berusaha menghindari San San, tapi wanita itu gigih sekali. Silva merasa kesal, dan kecewa. Dampak dari bohongnya San San menghasilkan rasa sakit yang berbeda. Dimas terbiasa berbohong padanya jadi dia tidak terkejut. Berbeda dengan San San yang mulai dianggap Silva sebagai seorang ibu sekarang ini.
"Va, Mama minta maaf," ucap San San lirih.
"Iya, Ma." Silva kembali melangkahkan kakinya menuju kamar.
Dia tidak mampu dikhianati berkali-kali. Dia ingin, sekali saja, ada orang yang benar-benar membelanya. Sekali saja. Sedari kecil dia diajarkan bersikap mandiri dan tegas. Jika tidak mendapat juara, maka dia tidak akan mendapat pujian. Jika berbuat salah, maka dia harus bertanggung jawab sendiri. Selain tegas, orang tuanya juga sangat terkungkung adat, budaya, dan aturan moral.
Silva merasa iri dengan Dimas yang dipenuhi dengan kasih sayang. Setiap Silva mendapati Dimas bermanja-manja dengan Eve atau San San, dia merasa tersisihkan. Meski Dimas menyebalkan, tapi dengan sikap manja lelaki itu padanya Silva merasa dirinya berharga.
Silva memang tidak profesional dalam masalah hati. Dia berpacaran sekali dan hubungannya yang masih seumur jagung langsung hancur karena Dimas memperkosanya. Dia tidak mengerti tentang hubungan lelaki dan perempuan dalam masalah asmara dan Dimas langsung memaksanya untuk mengerti banyak.
Flashbak
Dimas memeluk Silva dari belakang membuat Silva yang sedang memasak untuk sarapan memekik kaget.
"Dimas, apaan sih!"
Dimas tertawa lalu menciumi pipi Silva. "Aku bangun kamu nggak ada. Nggak boleh gitu. Seharusnya waktu aku bangun kamu ada di samping aku. Seorang istri harus melayani suami."
Silva merasa ingin melempar sayuran yang dipotongnya ke kepala Dimas. Melayani? Memangnya dia pembantu?
"Aku mau bantu Mama masak, Mas. Jangan ganggu!"
Dimas menggigit bahu Silva. Silva kaget dan meronta agar Dimas melepaskan pelukannya.
"Kamu—" Silva mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Dimas.
Dimas menarik tangan Silva dan memutar tubuhnya. "Yang sopan sama suami. Kalau Mama begitu sama Papa, mungkin tangannya udah dipotong!" geram Dimas.
Silva merasa kesal, meski merasa Dimas ada benarnya. Keluarga Dimas memang agak unik dalam hubungan suami-istri. Silva yang orang baru, tentu saja harus menyesuaikan diri, atau akan terkena akibatnya.
"Maaf," cicit Silva.
Dimas memperkuat kuncian tangan Silva. "Kamu dengar ya, Va, ini aturannya sebagai istri. Pertama, kamu nggak akan turun dari ranjang sebelum aku bangun. Kedua, kamu baru boleh keluar kamar sama-sama aku, sarapan. Ketiga, waktu aku pulang kamu harus sambut aku. Gampang, 'kan?"
Silva membuka mulut hendak protes, tapi menutupnya kembali. Dia tidak mau mendebat Dimas karena mereka sedang di dapur. Keributan yang mereka buat bisa mengundang orang yang sedang ada di rumah datang menghampiri mereka.
"Udah, Mas, lepasin," pintanya.
Dimas tertawa. "Satu lagi aturan yang lupa aku bilang sama kamu. Setiap pagi, satu kali orgasme buat aku kecuali aku bilang enggak," bisik Dimas nakal sambil menggigit pelan telinga Silva.
Silva tidak tahan dengan bisikan yang dia rasa melecehkan dirinya itu. Dia menginjak kaki Dimas yang langsung melepas kuncian tangan Silva dan berjingkak.
"Kamu jahat, Mas! Jahat!"
Wajah Dimas memerah dan rahangnya mengeras. "Lo mau tau gue versi jahat gimana?"
Dimas mendorong Silva hingga membentur kitchen set lalu memutar tubuh dan mendorong punggung Silva.
"Lo mau gue jahatin? Hah?" geram Dimas sambil bergerak kasar menurunkan celananya.
Silva menangis. Dia berusaha menegakkan tubuhnya, tapi tidak bisa. Posisinya dan tangan Dimas yang menahan punggungnya membuatnya kesulitan.
"Di kamar, Mas. Aku mohon. Ini dapur," isak Silva.
"Dapur sama kamar sama aja!"
Dimas menarik rok Silva hingga ke pinggang, menahannya dengan tangannya yang masih menekan punggung Silva, lalu dengan tangan yang terbebas menurunkan celana dalam Silva.
"Mas, aku mohon. Aku malu," isak Silva lagi.
"Lo yang buat gue jahat, Va. Lo!" tuduh Dimas mendorong pinggulnya sampai kejantanannya memasuki Silva.
Tubuh Silva bergerak seiring gerakan pinggul Dimas. Dimas bergerak lambat, tapi Silva merasa sesak dan perih. Dia belum siap.
Dimas mengeluarkan kejantanannya, Silva mengeluarkan napas lega. Namun, Silva salah. Dimas bukan berubah pikiran, melainkan malah membaluri kejantanannya dengan ludahnya dan kembali memasuki Silva.
"Percuma lo nolak, Va. Soalnya ini agenda wajib suami istri," ucap Dimas dengan suara serak karena gairah.
Silva memekik kaget saat Dimas menarik kedua kakinya dengan tangan kiri dan kanannya hingga sepasang kaki Silva itu tidak lagi menyentuh lantai. Dimas menariknya hingga terbuka lebar dan itu rasanya seakan membelah Silva. Lelaki itu bergerak semakin cepat dan tidak malu-malu dengan erangannya.
"Lo enak, Va. Lo sempit, hangat, sumpah enak!"
"Mas, suaranya," tegur Silva. Berusaha mengeluarkan suara normal, tapi yang keluar seperti suara rengekan.
"Silva, Silva, Silva!" Dimas melepaskan kaki Silva hingga kembali menapak di lantai lalu menjambak rambut Silva, menariknya hingga wajah mereka berdekatan.
Silva mengalihkan pandangan, merasa malu dengan tatapan Dimas, namun lelaki itu menahan kepala silva dengan jambakannya. Dimas melenguh, dengan tubuh menggigil dan gigi bergemeletuk dia memeluk silva. Membiarkan sesuatu yang hangat darinya masuk ke rahim Silva sampai benar-benar habis.
"Mas," panggil Silva bingung karena Dimas tidak kunjung bergerak.
"Pagi yang indah." Dimas menegakkan tubuhnya memutar tubuh Silva hingga kini berbaring di kitchen set dengan kaki menggantung. Dimas menekuk kaki Silva dan menjilat kewanitaan sang istri.
Silva merasa geli dan aneh. Tubuhnya bergetar setiap kali lidah Dimas mengenai inti kewanitaannya.
"Sudah bersih." Dimas memukul paha Silva. Belum sempat Silva berpikir, Dimas sudah memungut celana dalam Silva dan memakaikannya kembali, lalu berjalan menuju dispenser. Menuangkan air dan langsung meminumnya. Menuangkan air lagi dan menyodorkan air itu pada Silva yang sudah berdiri tegak.
"Mulai besok, ingat aturan-aturan tadi. Paham?"
Silva yang malu, menganggukkan kepalanya. Dimas mencium puncak kepala Silva lalu beranjak meninggalkan dapur. Silva menghembuskan napas lega.
Padahal, baru lima harimereka menikah.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top