14. cinta

Happy reading

Love yeahhh

###

Silva mengenakan cincin kawin mereka atas desakan Dimas. Meski itu bukan cincin yang sama, tapi tetap saja rasanya aneh. Dimas sudah semakin membaik, tapi ingatannya belum kembali. Ada sisi di mana Silva berharap ingatan itu hilang selama-lamanya karena mulai nyaman. Semuanya berbeda. Tidak ada lagi Eve yang menjadi pesaingnya mendapatkan perhatian Dimas dan San San juga mulai akrab dengannya.

San San memberikan kasih sayang seorang ibu yang perlahan mulai tidak dirasakannya dari ibu kandungnya sendiri. Dia tahu, bukannya orang tuanya tidak menyayanginya, mereka hanya terlalu disiplin akan prinsip lama.

"Va, kamu di sini?"

Silva menoleh dan tersenyum pada Dimas yang berjalan pincang dengan bantuan tongkatnya. Lelaki itu lalu duduk di sebelah Silva.

"Kamu kenapa nggak manggil aja?" tanya Silva.

"Aku mau cepat sembuh. Kalau aku sembuh, kita jalan-jalan, ya, Va? Kamu mau ke mana?" Dimas mengulurkan tangannya mengambil jeruk dan membukanya.

Silva menatap tangan Dimas yang masih terdapat bekas lukanya. Kecelakaan Dimas, karena apa? Mungkinkah dia minum sampai mabuk lalu kecelakaan? Saat itu dia sendiri. Ke mana teman-temannya? Ke mana wanita-wanitanya?

Hati Silva merasa perih menerkanya.

Kepala Silva memundur kaget saat Dimas menyodorkan jeruk yang sudah dikupasnya ke depan bibir Silva.

"Aaakk ...." Dimas mengajari Silva membuka mulutnya seperti anak kecil.

Silva tertawa lalu membuka mulutnya. "Apaan sih," gerutunya malu.

Dimas ikut tertawa. "Aku kan mau jadi suami romantis, Va. Supaya kamu ingat terus sama aku."

Silva tersenyum lalu menundukkan pandangannya.

"Va, aku minta maaf kalau selama ini aku ... aku jahat atau buat kamu kesal. Kamu janji ya, Va, nggak akan ninggalin aku? Apa pun yang terjadi?"

Silva mengerutkan keningnya, menengguk ludah. Dia terjebak antara rasa tersentuh, curiga, dan marah atas perkataan Dimas. Kenapa mendadak dia bertanya seperti itu? Apakah ingatan Dimas mulai kembali?

Silva mengangkat pandangannya menyelidik raut wajah Dimas. Lelaki itu tampak gelisah dan terluka. Kenapa?

"Kamu ... kenapa bilang gitu? Kamu ingat sesuatu?"

Dimas menggelengkan kepalanya. "Aku ... aku ngerasa aku nyaman dengan kondisi sekarang, Va. Aku nggak butuh ingatan aku asal kamu tetap di samping aku. Entah kenapa aku ngerasa kamu jaga jarak. Apa kamu masih marah karena aku perkosa, Va? Tapi, kan kamu aku nikahin, terus aku juga nafkahin kamu ... meski pakai uang orang tua aku. Kamu juga kuliah, dan aku dengar dari Mama, kamu udah dibukakan sekolah."

Silva merasa tidak senang dengan perkataan Dimas. San San berbohong. Dia berkata tidak akan mengatakannya pada Dimas. Jika sudah begini Dimas akan menggunakan pengetahuannya akan hal itu untuk menekannya. Silva mengalihkan pandangannya. Merasa kecewa pada San San.

"Va, cinta itu bisa tumbuh perlahan. Mama aku dulu diperkosa juga, waktu Mama masih belasan. Mama nggak ngerti apa itu cinta, tapi lihat sekarang, Mama bahagia sekali."

"Aku tau, Dy. Cinta itu bisa tumbuh perlahan asal ada penerimaan. Seorang wanita selalu mencintai suami mereka karena mereka berusaha menerima siapa pun pria yang menikahi mereka. Karena mereka ingin pernikahan mereka sekali seumur hidup. Tapi, cinta itu menyakiti wanita, Dy. Saat seorang istri mencintai suaminya, dan selalu berusaha mencintai suaminya meski suaminya bersikap tidak menyenangkan, sang suami bisa saja membagi cintanya pada wanita lain. Cinta tanpa kesetiaan, yang hanya kata-kata tanpa makna, itu nggak ada gunanya, Dy. Omong kosong. Jadi, jangan bahas cinta. Itu basa basi yang paling basi!"

Silva berdiri dan beranjak meninggalkan Dimas karena dadanya sesak menahan emosi. Cinta? Dimas membahas cinta padanya? Kenapa tidak membahas kesetiaan? Membahas cara memperlakukan pasangan?

Saat Silva hendak masuk ke kamar, dia berpapasan dengan San San. Pandangan wanita tua itu menyelidik wajah Silva yang memerah dan pipinya yang basah karena air mata.

"Kamu kenapa, Va?" tanya San San khawatir.

Silva membuang pandangannya. "Mama bilang ke Dimas kan, masalah sekolah? Sekolah itu, Silva kembalikan. Silva nggak mau sekolah itu lagi," ucap Silva dingin lalu meninggalkan San San.

San San terpaku. Dimas ini, sama sekali tidak bisa menjaga rahasia. San San bukan ingin memamerkan bantuannya. Dia hanya berusaha membuat Dimas mengerti bahwa Silva sudah memiliki kesibukan di luar. Bahwa Silva sudah memiliki sekolah dan Dimas harus memberi waktu Silva keluar rumah setiap harinya.

San San mendatangi Dimas yang tampak lesu di teras samping rumah. "Kan Mama sudah bilang," tegur San San.

Dimas memajukan bibirnya lalu membuang napas lesu. "Dimas cuma mau Silva terbuka sama Dimas, Ma. Dimas mau Silva nerima Dimas. Berhenti jaga jarak. Dimas ... Dimas cinta Silva."

San San menarik napas panjang dan duduk di sebelah Dimas, menggenggam tangannya. "Kamu cinta Silva?"

Dimas mendecak kesal. "Cinta, Ma. Cinta! Mama udah tanya berapa kali coba? Dimas cinta sama Silva makanya Dimas tahan dia di sini. Dimas mau Silva selamanya jadi istri Dimas!"

San San menerka dalam hati, apakah ini perasaan Dimas yang sesungguhnya atau hanya pemikiran sementaranya karena lupa masa lalu pernikahannya dengan Silva. Dulu Dimas memang menunjukkan ketertarikannya pada Silva, tapi sejauh yang San San ingat, Dimas tidak pernah terang-terangan mengatakan cinta pada Silva.

Sebagai seorang ibu, San San tahu Dimas tertarik pada Silva dan sebagai anak yang selalu mendapatkan apa yang dia mau, Dimas memaksakan keinginannya memiliki Silva bagaimanapun caranya. Tapi, dia juga masih ingat saat kuliah, Dimas kembali bergaul dengan teman-temannya yang nakal itu dan mulai bersikap kasar pada Silva. Tidak ringan tangan, tapi mulai bersikap ketus. Bahkan begitu dingin.

Pernah, San San mendapati Silva menangis di kamar sehabis melihat Dimas keluar kamar dengan langkah tergesa. San San ingin bertanya, tapi tidak sanggup. Dia masih terbebani dengan kisah Ambar, jadi dia memutuskan membiarkannya saja dulu. Eve dan Brandon awalnya juga suka berkelahi, tapi mereka akhirnya menyelesaikannya sendiri. Mereka hanya butuh waktu untuk saling mengerti satu sama lain.

"Ma?" tegur Dimas.

San San tersadar dari lamunannya lalu tersenyum. "Kalau misalkan ternyata kamu pernah meninggalkan Silva, bagaimana?" tanya San San penasaran.

Dimas mengerutkan kening, diam saja, lalu kemudian mengerang sakit kepala. Dia merintih sambil memegangi kepalanya. San San ketakutan. Dia berdiri dan mendekati Dimas, tapi Dimas mendorongnya hingga terjatuh. Bukannya meminta maaf Dimas malah menatapnya sinis.

"Silva cuma punya Dimas, Ma! Punya Dimas!" teriaknya lalu berjalan dengan langkah cepat meski tertatih menuju kamar.

Dimas membuka pintu kamar dengan kasar lalu menutupnya, menguncinya. Silva yang sedang membaca novel mengangkat kepala lalu mengerutkan keningnya, melihat wajah Dimas yang tegang sekali.

"Ada apa, Dy?" tanya Silva bingung.

Dimas menatap Silva lama, lalu meneteskan air matanya. Silva tidak mengerti kenapa Dimas tampak sakit hati. Apa karena kata-katanya tadi?

"Aku cinta kamu, Va. Sumpah aku cinta sama kamu! Kamu minta bukti apa supaya percaya aku cinta sama kamu? Kamu mau aku ngapain?" teriak Dimas tampak frustasi.

Keyakinan Silva bahwa Dimas seperti itu karena ucapannya tadi membuat wanita itu hanya mendengus kesal. "Cinta itu nggak perlu dibuktikan mendadak, Dy. Waktu ... waktu yang membuktikan. Laki-laki, bisa saja rela mati detik itu juga demi menunjukkan bahwa dia berkata benar. Hanya pembuktian demi menuruti ego. Tapi, bisa saja lusanya dia sudah lupa akan ucapannya dan melakukan hal yang sebaliknya. Bukan tidak sedikit lelaki berkelahi demi memperebutkan perempuan, padahal bukan karena mereka terlalu mencintai. Mereka hanya tersinggung karena miliknya diusik. Bisa jadi keesokan harinya kedua lelaki itu saling meninggalkan wanita itu sendirian."

Dimas mengacak rambutnya frustasi. "Ngomong yang jelas, Va! Langsung aja, kamu maunya apa? Kamu mau uang, atau apa? Atau kamu mau aku siksa diri aku sendiri? Iya? Kamu mau—" Dimas tidak menyelesaikan ucapannya. Dia memutar-mutar kepalanya mencari sesuatu. Dia berjalan mendekati meja dan mengambil vas bunga.

Silva mengerutkan keningnya bingung, dan tidak pernah diduganya, Dimas memukul lututnya dengan vas bunga itu hingga Dimas berteriak sakit lalu jatuh ke lantai.

"Dimas!" teriak Silva menghampiri Dimas dan merebut vas bunga itu. "Kamu apa-apaan sih! Jangan bego, Dy!" teriak Silva menangis dengan pandangan meneliti lutut Dimas.

Tidak berdarah, tapi membiru. "Kamu jangan bodoh, Dy! Luka lamanya aja belum sembuh semua. Jalan juga masih pincang. Kamu selalu aja egois! Berhenti bersikap konyol, Dy! Jangan begini!" Silva berbicara mengutarakan semua isi hatinya, lalu kembali melirik lutut Dimas.

"Kamu khawatir sama aku, Va?" tanya Dimas lirih.

Silva menghapus air matanya. "Bego! Tentu saja aku khawatir! Aku panggil Mama dulu." Silva hendak berdiri memanggil San San. Namun, Dimas menahannya dengan menarik tangan Silva.

"Kamu cemas sama aku, Va?" tanya Dimas lagi.

Silva merasa kesal dengan pertanyaan itu. "Iya, aku cemas. Aku khawatir! Puas?" teriaknya.

Air mata Dimas ikut turun, meski hanya setetes. "Bilang, kamu cinta aku, Va. Biar aku tenang."

Silva kembali menangis, lalu menggelengkan kepalanya. Tidak sulit untuk mengatakannya, hanya saja rasanya memalukan. Mengatakan hal yang dirasakannya selama ini tanpa pembalasan dari Dimas, malah pengkhianatan.

"Bilang, Va." Dimas menarik Silva ke pelukannya. Suaranya sarat akan permohonan. "Aku cuma mau dengar kamu bilang cinta. Sekali aja, aku mohon, Va. Aku cinta kamu. Kalau nggak sanggup bilang begitu, cukup bilang cinta. Sekali aja, aku mohon."

Silva terisak. Dimas yang sedang memeluknya ini, adalah Dimas yang dicintainya. Dimas yang sempat manja padanya. Saat sebelum Silva terlalu banyak sakit hati karena merasa diperbandingkan dengan Eve dan San San, lalu kemudian ditambah dengan adanya April dan Debora, dan entah siapa lagi yang mungkin silva tidak tahu selama ini.

"Aku ... cinta kamu, Dy."

Tapi, kamu enggak.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top