13. Silva ceria

Soooo.....
Aku mau pamer cover baru Babang Dimas, dong. Ya, cover lama tetap ada. Cuma di bagian dalam, halaman pertama. Why diganti? Karena ada omongan kalau ini gaboleh. Muka jelas berkaitan dengan hak si artis. Kalau kimbum tau, terus dia nuntut, bisa miskin aku. Mana laku juga paling lima bijik bukunya kan.

Kalau di dalam kan bisa alasan cast doangan. Wkwkwk






happy reading.

Love yeahhh

#####


"Kamu senang?"

Silva menoleh menatap Dimas yang baru saja menaiki ranjang, tentu saja dengan bantuan Silva.

Silva tersenyum, bukan senyum lebar karena faktanya meski senang bisa berkumpul dengan keluarganya meski hanya di meja makan, tapi dia juga sedih karena orangtuanya terlihat tidak merindukannya sebenar ia merindukan keluarganya.

Miris memang, keluarganya yang terkungkung pemikiran lama bahwa menikah hanya sekali seumur hidup dan perceraian meski apapun masalahnya bukanlah suatu solusi. Perceraian adalah aib. Sama anehnya dengan pemikiran bahwa jika seorang wanita yang diperkosa maka ia harus menikah dengan si pemerkosa. Padahal, bukankah itu sama saja dengan memasukkan si wanita ke kandang singa?

"Kalau senang, senyumnya yang lebar Va. Kamu jangan kebanyakan mikir, nanti cantiknya hilang." Dimas tersenyum lebar pada Silva dan menggerakkan tubuhnya agar bisa berbaring dengan nyaman.

Silva terkekeh pelan. Cantik? Bukankah wanita yang cantik menurut Dimas itu nomor satu San san, nomor dua Eve dan nomor tiga Silva. Silva merasa sakit hatinya kembali muncul ke permukaan mengingat bagaimana dulu Dimas suka menyakiti egonya.

"Va, kamu jangan diam aja. Aku rindu ngobrol sama kamu. aku mau dengar suara kamu."

Silva menarik nafas panjang lalu menarikkan selimut Dimas sampai ke dada.

"Mau bicara apa? Udah jam sebelas loh. Udah waktunya tidur."

Dimas menangkap tangan Silva lalu menariknya. Terpaksa Silva duduk di ranjang mengikuti kemauan Dimas.

"Kamu benci sama keluarga kamu?"

Silva menggelengkan kepalanya namun mengalihkan pandangannya.

"Aku sengaja minta mama undang keluarga kamu karna aku tau kamu bosan di rumah, dan aku nggak mau kamu yang ke rumah mereka. Aku takut kamu keasikan di sana jadi lupa pulang. Soalnya, aku butuh kamu, Va. Aku nggak bisa kalau kamu pergi ninggalin aku meski cuma sehari. Kamu kuliah aja aku kesepian."

Silva merasa canggung dengan ucapan Dimas. Dia menarik tangannya lalu tertawa pelan. Dimas sedang amnesia. Makanya dia bisa berkesimpulan seperti itu. Jika Dimas yang biasanya, dia hanya lembut saat meminta jatah ranjang dan kasar di saat lainnya. Setidaknya itulah yang Silva ingat.

"Kamu cinta aku kan Va?" tanya Dimas. "Aku nggak akan cacat kok. Aku bisa sembuh. Aku udah bisa jalan kan buktinya, meski agak pincang dan harus pakai tongkat. Kamu nggak akan nyari laki-laki lain karna aku sakit kan Va?"

Airmata lolos dari pelupuk mata Silva. Dia memandang Dimas dengan tatapan tidak percaya. Berpaling? Dimas tidak salah bertanya? Dimas yang melakukannya, bahkan saat Silva masih sehat!

"Va, kok nangis? Kamu kenapa?" Dimas berusaha untuk duduk namun Silva menahannya cepat.

"sebaiknya, Dy, kita jangan bahas yang terlalu berat. Udah malam. Aku juga nggak mood. Boleh?"

Dimas tersenyum canggung lalu mengangguk. "Kalau___kalau malam ini aku minta kamu tidurnya di sebelah aku, boleh? Aku udah mendingan Va. Sumpah!" Dimas membentuk jarinya menjadi v.

Silva tertawa lalu menghapus airmatanya. "Nanti luka kamu__"

"Nggak apa-apa Va. Kena juga nggak apa-apa. Biasanya nggak akan sakit, soalnya aku lagi senang bisa peluk kamu sambil tidur. Ya? Plis?" Dimas menyilangkan tangannya dan menjewer telinganya sendiri.

Silva menarik tangan Dimas. Itu kebiasaan Dimas saat merasa bersalah, atau benar-benar ingin sesuatu. Terlihat kekanakan tapi salah satu hal manis yang Silva rasakan dari Dimas.

"Malam ini aja, ya?"

Dimas tersenyum lebar, menunjukkan kesenangannya yang melimpah ruah, lalu kemudian mencemberutkan wajahnya lagi. "Kalau tiap malam kan lebih enak, Va. Kita kayak suami istri nggak akur, lagi pisah ranjang. Lama-lama nanti kamu lupa rasanya disentuh sama aku."

Silva merona, mendengar ucapan Dimas yang seolah mereka adalah pasangan normal yang baik-baik saja. Silva menatap Dimas intens. Jika sedang baik begini, Dimas itu sempurna. Tampan dengan wajah yang membuat Silva selalu merasa ingin menciumi wajahnya dengan gemas, dan senyumnya yang begitu meneduhkan. Seandainya, ini adalah Dimas yang asli, seandainya.

"Kamu pengen Va?"

Silva terbatuk. Dia secara spontan memukul lengan Dimas dan langsung memucat saat Dimas mengaduh.

"Eh, nggak apa-apa Va. Pukul lagi aja. Biarpun sakit asal kamu yang buat, aku suka. Sini!" Dimas menarik tangan Silva dan memukulkan ke lengannya lagi.

Silva tertawa lalu menarik tangannya kuat. "Dimas apaan sih. Nanti kamu lecet aku yang diserang keluarga kamu!"

Dimas memajukan bibirnya merajuk. "Keluarga aku nggak akan tau. Kan di kamar" ucapnya lalu membaringkan tubuhnya lagi.

"Sini Va" ucapnya menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Silva memejamkan mata sejenak, menepis ego dan logikanya, berusaha mendamaikan diri dengan masa lalu hanya untuk semalam. Ia membaringkan tubuhnya lalu menatap Dimas yang wajahnya hanya berjarak sejengkal darinya.

Aku cinta kamu, Dy. Tapi sayang, kamu enggak.

Silva tersenyum miris menertawai nasib kisah rumah tangganya lalu memejamkan matanya.

Silva menegang saat merasakan bibir Dimas mencium keningnya dan spontan menahan nafas saat Dimas mengecup bibirnya.

"Selamat malam, istriku" ucap Dimas pelan.

Silva tidak bisa tidur namun dia terus menutup matanya. Jantungnya berdetak kencang dan tubuhnya berdenyut ngilu. Dia bahagia, dengan bodohnya, meski tau semua hanya semu.

***

Silva membalikkan tubuhnya lalu memeluk San san haru. Dia bahagia sekali. Dia hendak menolak namun ini terlalu berharga untuk dilewatkan.

"Suka?" tanya San san.

Silva melepaskan pelukannya, tersengguk karena menangis terlalu bahagia. Ini impiannya dan entah bagaiman San san tau. San san mewujudkannya dengan cara yang tidak membuat Silva merasa telah memanfaatkan San san. San san membuatnya merasa ini hadiah bukan bayaran.

"Mama ambil lokasi yang nggak dekat dari rumah, jadi misalkan kamu mau tetap pisah sama Dimas kamu nggak perlu takut ke sini lagi. di depan juga ada minimarket bisa jadi pemasukan tambahan sekolah ini. Mama sudah buat semuanya atas nama kamu. terus__"

Silva tertawa. "Udah Ma. Itu udah banyak" ucap silva. Menghapus airmatanya.

San san tersenyum. "Nah gitu. Mama kadang ngerasa tertekan ngelihat muka kamu yang terus-terusan masam. Anak-anak mama pada aneh semua, tapi biasanya menantu mama enggak. Jadi, kalau menantu mama ikut-ikutan aneh, masang muka masam terus, mama jadi terganggu."

Silva tersenyum sungkan dan San san tau kenapa. Silva bukan menantu, tapi mantan.

"Terima kasih, Ma" ucap silva tulus.

San san membalas senyuman Silva sama tulusnya. Dari dulu, sebenarnya, San san sangat menyukai anak perempuan. Satu anak dua anak perempuannya sudah pergi dan satu anak perempuannya sangat dingin. Dia merindukan Eve yang manja padanya, atau Ambar yang rapuh. Melihat Silva membuatnya ingin memanjakannya, sama seperti ia memanjakan Dimas.

***

"Kamu mau makan, Dy?" tanya Silva membawa nampan berisi makan malam Dimas.

Dimas menghentikan aktivitas membaca novelnya dan menatap Silva dengan kening berkerut. "Kamu mau suapin?" tanyanya berharap.

Silva tersenyum lalu mengangguk. "Makan yang cepat ya? Aku soalnya mau tidur cepat. Aku capek."

Dimas tidak menyangka, Silva seceria ini. "Iya-iya" jawab Dimas cepat, lalu membuka mulutnya. "Kamu capek ngapain Va? Aku pijit ya?"

Silva tertawa. "Nggak mau. Aku maunya tidur. Aku ngantuk juga soalnya."

"Memangnya kamu sama mama kemana? Kok kamu capek? Aku bilang mama ya, supaya jangan buat kamu capek. Kamu nggak kerja kan Va?"

Silva menatap Dimas lucu lalu menggelengkan kepalanya. "Kalau aku kerja memangnya kenapa?" tanya Silva penasaran, akankah mendapat jawaban yang sama.

"Nggak boleh, Va. Kamu jadi istri aku aja. Jangan kerja. Biar aku aja yang kerja."

Biar aku yang kasih kerjaan sama kamu, tugas sebagai istri yang baik, Va.

Silva menggelengkan kepalanya saat kata-kata Dimas masih saja menghantuinya.

"Iya-iya, nggak kerja."

Selesai menyuapkan Dimas makan malam, Silva yang sudah mengantuk langsung tidur. Dia tidak sadar saat Dimas memeluknya erat sambil mengecup wajahnya berkali-kali dengan gemas.

"Aku cinta kamu, Va. Kamu Cuma milik aku, Cuma aku" bisiknya lalu memejamkan mata. Jarak tubuh mereka lebih dekat dari biasanya, dan aroma tubuh silva membuat Dimas merasa begitu nyaman. Dia selalu merasa rindu pada Silva, mungkin karena mereka belum benar-benar menjadi suami istri sejati karena sejak Dimas sadar, mereka belum pernah bercinta lagi. sebentar lagi, Va. Sebentar lagi aku sembuh, batin dimas menjanjikan dengan penuh keyakinan.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top