11. Teman Dimas

Happy reading

Love yeahhh

****

"Silva, ada tamu Nak. Tolong bukakan pintu" teriak San san dari dapur.

Silva yang sedang membaca buku di ruang tamu menghela nafas panjang lalu melangkah dengan wajahnya yang muram. Semalam dia kurang tidur karena muak melihat Dimas yang terus memaksanya untuk tidur bersamanya. Tadi selesai sarapan dia langsung ke ruang tamu. Dia malas mendengar suara Dimas. Biar saja San san ataupun anggota keluar lain kesal dengan pembangkangannya.

Silva membuka pintu, dan pasokan udara di parunya menipis saat melihat tamu yang berdiri di depan pintu. Begitu pula mereka yang tampaknya langsung menegang melihat Silva.

"Silva? Ngapain lo di sini? cari muka sama Dimas karena Dimas lagi sakit? Nggak punya harga diri lo?" bentak April.

Silva meradang mendengarnya lalu menundukkan pandangannya. Dia masih sakit hati dan bertambah sakit hati dengan wanita bernama April yang tidak pernah suka padanya ini.

"Silahkan masuk," ucap Silva beranjak masuk duluan ke ruang tamu. Dia tau semua tamu itu mengikutinya.

"Duduk," ucap Silva saat mereka sudah sampai di ruang tamu lalu meninggalkan mereka. Dia berjalan menuju dapur dengan pipi yang membasah karena airmata. Dia menghapusnya.

"Ma, ada April sama teman Dimas yang lain," ucap Silva dengan suara lirih.

San san menatap Silva dengan kening berkerut. "Kamu baik-baik aja?" tanya San san menggenggam lengan Silva.

Silva mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat mata San san. "Silva baik-baik aja. Silva juga nggak perduli. Kan Silva sama Dimas juga sudah bercerai."

San san menarik nafas panjang lalu mengangguk. "Ya sudah, biar mama suruh bibi buatkan minum. Kamu bisa ke ruang keluarga kalau kamu mau sendiri."

Silva tersenyum lalu mengangguk. Lebih baik begitu.

San san membawa nampan berisi minuman dingin untuk teman-teman Dimas yang sudah dibuatkan oleh pembantu. "Eh, kok baru datang?" tanya San san ramah.

Ke empat teman Dimas saling menyikut saling melempar tanggungjawab untuk memberi jawaban.

"Kami kuliahnya lagi padet, Ma." April angkat bicara. "Lagipula, April takut sama rumah sakit. April memang nunggu Dimas pulang ke rumah."

"Iya Tante," timpal Beny.

Gerby dan Egan saling mengangguk.

"Ya sudah, Tante tinggal dulu ya. Tante kasih tau ke Dimas kalau ada kalian."

Mereka mengangguk. San san beranjak menuju kamar Dimas.

Dimas terlihat murung. San san tau, Dimas masih kesal dengan sikap dingin Silva juga sedih karena merasa Silva tidak perduli padanya.

"Dimas sayang, ada tamu. Teman-teman kamu."

Dimas mengerutkan keningnya lalu memajukan bibirnya. "Dimas pikir mama mau ngomongin Silva!" ucapnya ketus.

"Silva kenapa memangnya? Udah ah sama istri sendiri malah suka bertengkar. Nggak baik. Kalau sudah menikah ya berubah, jangan egois. Silva kan pasti ingin juga kamu manja, kamu mengerti, kamu perhatikan."

"Ya Silva yang menghindar Ma. Dia nggak ngasih Dimas kesempatan."

"Kesempatan apa?" tanya April yang masuk ke kamar dibuntuti teman-temannya.

Dimas menatap April dengan kesal. "Lo masuk kamar gue nggak pakai permisi! Lancang lo!" bentak Dimas.

"Dimas!" tegur San san.

"Nggak apa-apa, Ma. April udah biasa kok."

April menarik kursi plastik di dekat ranjang Dimas dan mendudukinya sedang ketiga teman prianya berdiri.

"Tante tinggal ya," ucap San san lalu keluar dari kamar.

"Dimas, kok ada Silva sih?" tanya April sinis.

"Kenapa memangnya? Dia istri gue! Wajar dong di rumah gue!"

Keempat teman Dimas itu saling melempar tatapan bingung. April tertawa. "Istri? Ngigau lo?" ejeknya.

Dimas mengerutkan keningnya lalu menggeram kesal. "Lo mending diam deh Pril. Lo buat gue kesal mulu! Pergi lo sana!"

April malah tertawa. "Segitunya lo. Santai aja bro. Cepat sembuh lo, biar bisa have fun lagi sama kita. Lo sakit gini jangankan mau ikutan dugem, buat garap Silva juga lo nggak mampu!"

Ketiga teman Dimas tertawa.

"Pril, mulut lo apaan sih! Kasihan tuh Dimas. Lagi sakit dia," timpal Egan berusaha menahan tawanya.

"Ya bener gue dong. Silva gunanya jadi istri Dimas kan bagian ranjang doang, kalau sakit gini mana bisa. Mending lo usir deh tuh Silva. Kalau lo sembuh, gue siap gantiin." April menaik turunkan alisnya menggoda Dimas dan semua tertawa lagi.

Dimas merasa kesal sekali. Emosinya memuncak dengan penghinaan April. Ucapannya merendahkan Silva. Dimas mencintai Silva, bukan hanya karena urusan ranjang. Rasanya, ditemani Silva saat sakit saja sudah sangat menentramkan jiwa Dimas. Ingin rasanya Dimas turun dari ranjang dan menyeret mereka keluar. Tapi dia sedang sakit.

"Mas, diem aja lo?" tanya Egan.

"Gue malas sama kalian semua!" ucap Dimas kesal.

"Eh, btw. Debora nyariin lo. Kangen dia" ucap Gerby.

Dimas mendadak pucat pasi mendengar nama itu. Firasat buruk menguasai dirinya dan dia ketakutan. Dia menoleh ke pintu memastikan Silva tidak mendengar.

"Debora? Siapa?" tanyanya dengan suara yang agak meninggi.

April tertawa kencang. "Lo amnesia ya? Silva istriku, Debora siapa? Nggak lucu tau nggak!"

"Pergi! Keluar kalian dari rumah gue! Gue benci sama kalian!" teriak Dimas.

San san dan pembantu datang ke kamar itu berlari karena takut terjadi sesuatu saat mendengar teriakan Dimas.

"Dimas, kenapa?" tanya San san panik. Pandangannya menyapu teman Dimas satu persatu.

Semua teman Dimas menundukkan wajahnya ketakutan. Mereka memang nakal tapi tau batasannya. Mereka tau seberapa jahat keluarga Dimas pada orang-orang yang bermasalah dengan mereka.

"Ma, usir mereka Ma. Dimas mau istirahat."

"Loh kok gitu?"

"Dimas nggak suka mereka di sini! usir mereka ma! Mereka Cuma buat Dimas jadi kesal!"

San san menarik nafas panjang lalu menatap teman-teman Dimas. "Kalian sudah dengar kan? Tante harap kalian mengerti. Silahkan pulang. Mungkin Dimas masih belum siap menerima tamu sekarang," jelas San san.

Mereka semua mengangguk lalu menyalami San san. San san menyuruh pembantu mengantar teman-teman Dimas itu ke pintu sedang San san bertahan di kamar Dimas.

"Kamu kenapa? Mau cerita?" tanya San san.

Dimas menggelengkan kepalanya. "Silva mana Ma? Dimas mau ketemu Silva. Panggilin Ma."

"Silva lagi di ruang keluarga, sayang. Dia lagi belajar. Biarin aja dulu ya?"

Dimas menggelengkan kepalanya. "Panggilin Ma. Dimas mau Silva. Kalau mama nggak panggilin Silva, biar Dimas yang ke sana." Dimas menggerakkan tubuhnya dan langsung mengaduh.

"Sudah sudah. Biar mama panggilin Silva. Kamu di sini aja ya."

Dimas mengangguk. Dia gelisah. Ucapan teman-temannya yang begitu jahat membuatnya merasa bersalah pada Silva. Jika Silva mendengar ucapan mereka, pasti Silva akan sedih sekali.

San san menghampiri Silva dan merasa tidak enak saat melihat menantunya itu sedang menonton dengan tatapan kosong. Dia tau, kedatangan teman-teman Dimas tadi pasti menyakiti hati Silva karena sejak awal pernikahan Dimas dan Silva, teman-teman Dimas tidak pernah menyukai Silva.

"Silva, sayang, kamu dipanggil Dimas, Nak. Kamu ke kamar ya?"

Silva menoleh lalu menarik nafas panjang lagi. berusaha mencari kekuatan sekedar dari tambahan pasokan oksigen di parunya.

"Kan ada teman-teman Dimas, Ma" tolak Silva halus.

"Mereka sudah pulang. Tadi Dimas teriak. Kamu sih pasang TV kencang sekali suaranya. Dimas tadi suruh mama usir mereka. Dimas sepertinya tidak suka dengan jengukan teman-temannya."

Silva terkekeh geli. "Dia memang gitu Ma. Sebentar-sebentar benci besoknya gabung lagi. Dimas cara bertemannya memang begitu."

San san duduk di sebelah Silva lalu meremas tangan silva lembut. "Mama tau masa lalu kalian buruk. Mama juga sadar sekali kalau kamu tidak nyaman bersama Dimas. Kita sama-sama berdoa ya supaya Dimas cepat sembuh. Mama sudah mengobati Dimas dengan bantuan medis dan non medis. Begitu Dimas sembuh, mama akan pastikan Dimas tidak akan mengganggu hidup kamu lagi. ya?"

Silva mengurut keningnya, dan lagi, menghembuskan nafas lelah. Dia tau ini janji palsu. San san tidak pernah bisa tegas pada Dimas. Dimas itu anak emas di rumah ini. Bahkan kemauan Dimas lebih penting daripada Fahrani padahal Fahrani itu anak yang paling kecil.

"Silva ke kamar dulu, Ma." Tak mau berlama-lama berbincang yang hanya semakin membuat Silva muak, dia langsung meninggalkan San san.

Silva masuk ke kamar Dimas dan menyilangkan tangannya di dada. Dia bertambah muak pada Dimas.

"Kenapa?" tanya Silva sinis.

Dimas menatap Silva dengan tatapan terluka. Setiap penolakan Silva akan dirinya seolah menusuknya, membuat luka di tubuhnya bertambah nyeri dan Dimas ingin menyerah. Bagusnya saat kecelakaan dia mati saja. Hidup dengan kebencian Silva hanya membuatnya tersiksa.

"Dy, aku nanya, kenapa?" tanya silva lagi.

"Va, kamu sini dong" ucap Dimas menunjuk kursi plastik di sebelah ranjang Dimas. "Aku nggak tenang kalau kamu nggak ada. Kamu belajarnya di sini aja. Aku mau kamu di sini aja, di sebelah aku Va."

Silva mendecak kesal lalu duduk di kursi plastik itu. Dia menarik nafas panjang berusaha meredam rasa muaknya dan perasaan ingin menekan semua luka Dimas agar sebanding dengan yang dia rasakan saat mendengar ucapan April tadi. Tapi dia harus meredamnya karena semua itu hanya akan menambah berat tugasnya di rumah ini.

"Iya. Aku di sini. udah ya, jangan ribut lagi. aku mau tidur sebentar. Aku ngantuk."

"Tidur di sini, Va. Di ranjang. Sama aku, ya?"

Silva menggelengkan kepalanya. "Aku di sofa aja" ucap Silva berjalan ke sofa, dan tidur dalam posisi meringkuk.

'Lo jangan pernah berani-beraninya ngejelekin teman-teman gue, Va. Kalau lo ulangin, gue kerjain lo terus. Ngerti lo?'

Ucapan Dimas itu masih terekam jelas dikepala Silva. Bagaimana sejak kuliah, Dimas lebih mengutamakan teman-temannya. Dimas tidak akan bisa berubah. Masih Dimas yang keras kepala, dan semena-mena. Silva hanya bisa bersabar menunggu ingatan dimas kembali atau Dimas sembuh dari sakitnya. Sesuatu yang diduganya akan lama terjadi.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top