10. Dimas bunglon

Happy reading

Love yeahhh

***

Silva termenung di lorong kampusnya. Saat ini suasana kampus memang sedang sepi. Hari Sabtu, hari yang jarang dijadikan mahasiswa lain sebagai hari kuliah, namun Silva hari ini ada ujian susulan mengingat dia pernah meninggalkan ujian karena harus berada di rumah sakit.

Dia melirik ke sekeliling, dosennya masih belum datang. Ingin meninggalkan dia takut, ingin menunggu, dia sudah lelah. Belum lagi suasana hatinya yang belum membaik karena dia masih mendiamkan Dimas.

Dimas memang manja, egois dan pemaksa. Silva sudah tau itu. Hidup serumah dan sekamar dengan Dimas beberapa tahun sudah membuatnya tau banyak tentang Dimas.

Dulu, saat Dimas dan keluarganya mengantar Silva pulang, dan mengatakan tidak mungkin lagi bagi keluarga Silva menolak menikahkan Silva dan Dimas, keluarga Silva langsung setuju. Tidak bertanya, mereka langsung mengiyakan. Silva tau, meski dia korban di sini, tapi dia dipandang sebagai tersangka. Ada kekecewaan dari keluarganya kenapa dia tidak bisa mencegah dirinya diperkosa.

Silva menangis, tapi apa gunanya? Dia justru mendapat omelan karena dianggap memperkeruh suasana. Semua sudah terjadi dan jalani, itu kata mamanya saat itu.

"Aku nggak mau sekamar sama kamu, Mas!" ucap Silva lantang saat itu tapi Dimas hanya tersenyum. Sesuatu yang membuat Silva dulu menganggap Dimas anak baik-baik karena tidak pernah marah, selalu tersenyum, dan kemudian melihatnya sebagai orang gila tidak berperasaan.

"Aku nggak mau tidur di ranjang!" ucap Silva final saat mereka ternyata tetap satu kamar.

"Lo mau main-main sama gue, Va? Percaya sama gue, lo nggak akan suka kalau gue isengin. Buka baju lo," ucap Dimas membuka pakaiannya sendiri.

Silva menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan kata-kata Dimas. Dia hendak berjalan ke ranjang, mengambil selimut dan lebih memilih tidur di lantai. Sesuatu yang memang hanya rencana karena selanjutnya, Dimas menariknya, membuat tangannya yang sudah memegang selimut langsung menampar Dimas.

"Jangan brengsek, Mas!" teriak Silva.

"Gue suami lo. Gue berhak atas diri lo, Va. Nggak berhak aja gue berhasil nidurin lo, apalagi sekarang, saat lo udah jadi istri gue."

Dimas tampaknya marah besar karena tamparan Silva. Rahangnya mengeras lalu dia mencengkeram rahang Silva.

"Nggak pernah ada yang nampaar gue, Va. Nggak pernah ada!" geramnya. "Lo, kalau mau keluarga lo baik-baik aja, nurut sama gue. Lo mau keluarga lo tau kalau lo udah nampar gue di malam pertama kita? Kalau lo ngomong kasar ke gue?"

Silva menangis. "Tapi aku nggak mau tidur sama kamu, Mas. Aku benci kamu" lirihnya. Dia tau, jika Dimas mengadu maka dia yang akan disalahkan dan dia tidak mau membuat keluarganya lebih marah lagi.

"Gue nggak nanya lo cinta apa benci sama gue, yang gue mau, lo sopan sama gue. Lo sopan, gue pasti baik. Kalau lo lancang, gue bisa kasar, Va. Lo lupa lo tinggal di rumah gue? Ha? Lo pikir suara lo bentak gue nggak kedengeran keluar kamar?"

Silva terus menangis. Dia mengangguk. Dia kalah. Dia tidak berani melawan Dimas. Dan dia merasa, apa yang dikatakan Dimas ada benarnya.

Dimas melepaskan cengkaraman tangannya llalu menarik Silva ke pelukannya. "Lo ngapain coba, nangis? Buang-buang tenaga. Mana ada pengantin nangis di malam pengantin selain airmata bahagia," gerutu Dimas.

Silva menghapus airmatanya. Dia merasa memiliki harapan. Bahwa Dimas tidak sejahat yang dia pikirkan.

"Mas, kina nikah terpaksa dan mendadak. Usia kita masih muda. Jadi, sebaiknya kita nggak seranjang. Atau setidaknya, jangan melakukan hubungan suami istri dulu."

Dimas melepaskan pelukannya, lalu menatap Silva tepat di matanya. Silva gugup. Dia mengalihkan pandangannya. Dia merasa risih ditatap sedalam itu.

"Nanti gue pikirin. Sekarang, lo mandi dulu. Terus habis mandi, lo ambilin makan malam kita. Bawa ke kamar. Ngerti?"

Silva mengangguk semangat. Dia tersernyum ceria, mengejek dirinya sendiri karena berpikir berlebihan pada Dimas. Mungkin, saat Dimas memperkosanya kedua kalinya, dia sedang dipengaruhi obat.

Silva mengambil pakaian gantinya lalu melangkah ke kamar mandi.

Selesai Mandi, Silva langsung keluar kamar mengambilkan makan malam mereka dan membawanya dengan nampan.

Mereka makan malam bersama, dan selesai makan, Dimas memintanya membacakan novel koleksi Dimas. Silva merasa agak canggung saat melihat sampulnya tapi dia berusaha berpikiran positif.

"Udah Va, stop!" ucap Dimas.

Silva menghela nafas lega, merasa tidak sanggup melanjutkan membacakan bagian yang intim. Pantas saja Dimas hobi membaca ternyata novel bacaannya ini sekelas novel porno.

"Buka baju lo, Va."

Silva memucat. Dia tergagap. "Mas, kamu__kamu__"

"Ah, lama." Dimas mengambil novel dari tangan Silva lalu melemparnya sembarangan. Silva secara naluri beranjak dari duduknya. Silva sudah melangkah, menjauhi Dimas tapi Dimas mengikutinya dari belakang lalu menarik Silva lalu mendorongnya ke ranjang.

"Mas, tadi lo bilang___"

"Gue bilang gue pikirin, dan sebenarnya tanpa gue pikirin, gue nggak akan setuju sama usulan lo. Apaan," Dimas tertawa. "Gue tanya, gue jelek?" tanya Dimas yang sudah memerangkap Silva dengan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri Silva.

Silva yang punggungnya sudah menempel di ranjang namun kakinya masih menapak di lantai merasa pegal dan sesak nafas, Dimas sangat dekat dengannya, sudah setengah menindih.

Silva menggelengkan kepalanya.

"Terus kenapa lo takut banget tidur sama gue?"

Silva menundukkan pandangannya, lagi, menggelengkan kepalanya.

"Pertama itu sakit, biasa. Memang semua cewek gitu. Kedua juga. Masih sempit punya lo, Va. Dan akan selamanya sakit kalau lo terus nolak gue. Dua-duanya harus sama-sama mau. Lo nolak, lo yang sakit karena gue pasti tetap nidurin lo. Lo yang rugi kan?"

Silva kembali menangis. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku mohon, Mas. Aku nggak mau."

Dimas mendekatkan wajahnya ke leher Silva yang memang sedang menoleh ke samping. Dia menciumnya. Mengirimkan getaran aneh pada tubuh Silva. Dia ingin mendorong tapi tangannya seakan terpaku, tidak bisa digerakkan.

Dimas membuka mulutnya, mengulum leher Silva. Silva merasa dirinya semakin berdenyut aneh saat merasa lidah basah Dimas menyentuh kulit lehernya yang sensitif.

"Lo Cuma milik gue, Va. Takdir lo, Cuma jadi istri gue."

Dimas mengangkat kedua kaki silva yang tadi menginjak lantai dan menuntunnya melingkar di pinggang Dimas. Dimas menciumi leher Silva, bergerak ke rahangnya lalu mencium bibir Silva.

Silva berusaha memalingkan wajahnya lagi ke arah lain, dan Dimas terus mengejarnya.

"Mas, aku mohon" isak Silva.

"Gue mohon, Va" balas Dimas.

Silva terus menangis. Rasanya dia berbicara pada tembok yang tidak akan pernah bisa mendengarkannya.

Dimas mulai menggerakkan pinggulnya dan Silva bisa merasakan kejantanan Dimas yang membengkak dan menggesek kewanitaannya.

Dia hanya bisa pasrah, saat kemudian Dimas memaksakan haknya.

Silva tersadar dari lamunannya, mengerjapkan mata beberapa kali memulihkan kesadarannya sepenuhnya lalu kembali menatap lorong kiri dan kanan. Dosennya masih belum datang. Dia dipermainkan.

Hari sudah mulai sore dan Silva akhirnya menyerah. Dia memilih pulang. Dia sedang dalam suasana hati yang tidak baik dan malas jika harus mendengar ocehan Dimas lagi.

Sesampainya di rumah, Silva merasa tidak enak hati saat hendak memasuki kamar. Dia menggigit bibirnya lalu menarik nafas dalam. Dimas sedang sakit, meski Silva membenci Dimas tapi kondisi dimas yang sedang lemah membuatnya sedikit simpatik. Seandainya Dimas bisa bersikap baik, mungkin semua akan terasa lebih gampang.

Silva memutar knop pintu lalu melangkah masuk.

Dimas membuka matanya yang masih sayu. Dia terlihat mengantuk dan sepertinya belum lama tertidur.

"Maaf, tadi dosen__"

"Nggak apa-apa, Va. Sini," panggil Dimas.

Silva mengerutkan keningnya. Tumben Dimas tidak marah-marah. Dia melangkah mendekati Dimas dan duduk di kursi plastik yang letaknya sejajar dengan kepala Dimas.

"Kamu capek?" tanya Dimas.

Silva mengangguk pelan. Merasa canggung dengan suasana ini.

"Aku minta maaf, Va. Aku Cuma kesal waktu aku sakit kamu malah keluar rumah. Aku maunya kamu sama aku terus. Aku maunya kamu manjain aku, soalnya aku lagi sakit. Tapi aku sadar, kamu juga pasti bosan nemenin aku terus kan? Maaf ya va. Jangan marah sama aku. Aku sedih kalau diam-diaman sama kamu."

Silva merasa telinganya sedang bermasalah. Dia menatap Dimas mayakinkan pendengarannya. Tapi wajah Dimas juga sedang sendu. Ini Dimas yang tidak pernah Silva lihat sebelumnya.

"Va, maaf" ulang Dimas lagi berusaha menggerakkan tangannya.

"Mas, udah udah, jangan. Iya, aku maafin." Silva mengangkat tangannya seolah menahan tangan Dimas tapi tidak benar-benar sampai menyentuhnya.

"Kalau udah maafin, panggilnya Dy, bukan Dimas."

Silva tersenyum. "Iya Dy, sudah dimaafkan. Oke?"

Dimas tersenyum lebar lalu mengangguk. "Aku belum makan. Suap ya?"

Terbatuk. Dia memandang Dimas tidak percaya. "Belum makan malam?" tanyanya menepis dugaannya.

"Belum makan siang. Aku nggak selera makan sebelum baikan sama kamu. sekarang udah baikan aku jadi lapar. Suap ya Va?"

Silva menyesali sambutannya yang baik atas perubahan sikap Dimas. Harusnya dia tau pasti Dimas sedang ada maunya. Dimas itu bunglon, bisa mendadak berubah baik bisa mendadak berubah jahat. Dia seperti pria berkepribadian ganda.

Silva membuang nafasnya lelah. Dia sendiri belum makan juga. Dia tadi sibuk belajar karena akan ujian lalu saat sadar waktu sudah mendekati jam yang dijanjikan dosennya, dia langsung pergi ke kampus.

"Kamu sama mama aja ya?" bujuk Silva.

Dimas menggelengkan kepalanya. "Mama tadi katanya lagi sakit kepala Va. Jangan repotin mama ya? Mama lagi sedih mikirin tante Ambar, rindu juga sama Aska. Kasihan mama."

Silva merasa terenyuh. Dia terjebak diantara rasa lelah, kesal, dan iba. Dia mengusap wajahnya frustasi. Tidak perduli Dimas akan tersinggung dengan itu. Dia merasa ingin berteriak sekencang-kencngnya agar beban yang menempel dipundaknya terangkat.

"Kalau kamu nggak mau__"

"Iya-iya! Sebentar!" Silva berdiri dengan gerakan kasar lalu keluar kamar.

Dimas menatap punggung Silva dengan perasaan pedih. Dia mencintai Silva, dan hanya ingin semakin dekat dengan Silva. Seandainya Silva tau, Dimas tidak pernah ingin menjadi lemah seperti ini. Dia juga ingin menjadi tempat Dinda bersandar. Dia ingin menjadi suami yang bisa diandalkan.

Silva kembali membawa nampan berisi dua buah piring. Dimas mengerutkan keningnya. "Kamu juga belum makan?" tanya Dimas.

Silva mengangguk setengah tidak perduli tanpa menoleh.

"Kamu jangan gitu, Va."

"Dy, kalau kamu mau aku suapin tolong diam. Aku capek, kamu ngoceh terus aku tambah capek. Kamu lagi sakit kan? Simpan tenaga kamu supaya cepat sembuh jangan ngomong terus."

Dimas menutup mulutnya. Dadanya nyeri, dan rasanya semua lukanya seakan tersiram cuka. Tubuhnya berdenyut sakit karena sikap Silvanya yang selalu lembut jadi sedingin ini.

"Aku Cuma___cinta kamu, Va" lirih Dimas.

Silva diam saja seolah tidak mendengarnya. Tapi Dimas tau Silva mendengarnya. Tubuh Silva sempat menegang sejenak tadi, namun dia langsung menarik nafas menenangkan dirinya.

'terus saja tolak, Va. Aku akan terus bilang sampai kamu hapal, terus percaya, kalau aku cinta kamu.'

Dimas menguatkan tekadnya memperjuangkan cinta Silva. Besok dia akan mendapatkan pengobatan dari dukun patah tulang. Semoga saja dia lekas sembuh agar berhenti terlihat menyedihkan dimata Silva.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top