Bab 5

Seusai mengganti seragam sekolah dengan kaus polos dan celana olahraga, Sherina baru bisa menarik napas lega.

Akhirnya ... akhirnya tiba juga waktu kebebasan Sherina. Waktu di mana ia benar-benar tidak melihat Arden, ataupun tugas-tugas pemberian laki-laki itu.

Waktu ekskul menjadi jadwal yang paling ia tunggu selama libur sekolah. Sherina menyambut waktu ini dengan senyuman ceria yang terukir jelas di wajah cantiknya yang makin berseri. Amelia bahkan sampai meledek Sherina, apakah gadis itu akhirnya mendapat pernyataan cinta dari pria idaman?

"Udah ah bercandanya," ucap Sherina yang masih tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia.

Tepat setelah itu, pelatih basket mereka meminta untuk duduk berkumpul di hadapannya.

"Seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan di hari pertama pada tahun ajaran baru hanya pemilihan pengurus inti baru, serta penugasan untuk tampil di demo ekskul," ujar Dimitri, pelatih tim basket SMA Althaia yang berusia akhir 20an.

Terlihat sekilas Sherina bertukar pandang dengan sang pelatih. Setelah mendapat firasat tidak enak, Sherina langsung berkata, "Kalau boleh, saya jangan jadi Ketua, Coach."

"Loh, kenapa malah ngajuin dirinya begitu, sih?" protes Amelia yang ada di sebelah Sherina.

"Selain tempramen saya buruk, saya sedang dituntut untuk memperbaiki nilai akademis, Coach. Jadi sepertinya lebih baik orang lain yang menjabat sebagai Ketua," jelas Sherina.

"Lalu, siapa yang mau kamu rekomendasikan sebagai Ketua untuk tim putri?" tanya Dimitri.

Sambil tersenyum lebar, Sherina menunjuk orang di sebelah, "Amelia, Coach." Saat itu juga, Sherina menerima pukulan keras dari orang yang namanya ia sebutkan.

Namun seolah tidak peduli dengan protes tersebut, Sherina tetap melanjutkan. "Selain penguasaan bolanya baik, Amelia cenderung tenang di lapangan, dia juga baik dalam mengambil keputusan di tengah-tengah pertandingan. Lebih utamanya lagi, Coach, nilai akademisnya cukup baik di kelas."

Melihat respon siswa lain tidak ada yang menyuarakan protes atas ucapan Sherina, Dimitri akhirnya berkata, "Angkat tanganmu jika kalian setuju Amelia menjadi Ketua tim basket putri!"

Saat itu juga, hampir semua orang mengangkat tangan. Satu-satunya yang tidak senang dengan keputusan ini hanyalah Amelia. Ia merasa tidak pantas memimpin tim putri, di saat ia sendiri masih banyak kekurangan. Bisa dibilang, ia bahkan tidak begitu fleksibel dalam posisi pemain.

"Baiklah, untuk tim putri, Amelia akan menjabat sebagai ketua baru," ucap Dimitri.

"Coach, kok gitu sih," protes Amelia.

"Kamu bisa keluar, jika tidak suka dengan keputusan saya." Senyum Dimitri merekah, membuat beberapa siswa bergidik melihatnya.

Amelia pun tak luput dari efek senyuman mengerikan itu. Ia sampai menggandeng lengan Sherina, "Tapi ... tapi Sherina yang jadi wakil ketuanya kan, Coach?"

Lirikan mata penuh protes dari Sherina langsung terarah pada Amelia.

Sialnya, Dimitri mengiyakan perkataan tersebut, membuat Sherina harus pintar membagi waktu antara belajar dan membantu Amelia dalam mengurus tim basket putri.

Setelah obrolan panjang mengenai kepengurusan inti tim basket putra dan putri. Sampailah mereka pada pembahasan demo ekskul.

"Ada yang mau memberi saran mengenai demo ekskul tahun ini?" tanya Dimitri yang kini tangannya sibuk melakukan dribbling kecil karena sudah merasa bosan berdiam diri saat duduk.

Sherina langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Ya, Sherina?" Dimitri memberi isyarat pada gadis itu untuk segera memaparkan idenya.

"Tahun kemarin kan anak basket lebih memamerkan kemampuan dengan gaya basket freestyle. Bagaimana kalau tahun ini lebih menonjolkan kemampuan dasar seorang pebasket, tapi tetap keren dan informatif karena ada seseorang yang memeragakan gerakan, dan ada yang menjelaskan."

"Semacam moderator gitu?" timpal Amelia yang disambut anggukan oleh Sherina.

Terdengar suara tawa kecil dari sudut kiri para perempuan. "Susah-susah angkatan gue kemaren promosiin basket di demo ekskul, angkatan sekarang malah kesannya gak kreatif," komentar Pricilla, ketua tim basket wanita sebelumnya.

"Tapi kalau harus tampil dengan koreo begitu, kayaknya susah sih Kak kalau cuma beberapa hari persiapan," jawab Amelia.

"Ya lagian, lo pada kemana aja, udah tahu tiap tahun ajaran baru ada demo ekskul. Bukannya disiapin dari jauh-jauh hari," ketus Pricilla.

"Orang kita aja gak pernah dikabarin kan? Sebelum ujian kenaikan kelas aja kita masih ada pertandingan final," bisik Sherina pada Amelia yang tampaknya sudah sulit mengendalikan kekesalannya pada seniornya.

"Lo bego atau amnesia sih, Pricilla?" sahut Leo, mantan ketua tim basket pria. "Udah tahu sebelum ujian kenaikan kelas tim putra sama putri sibuk di pertandingan final, besoknya langsung ujian. Kalo mau marah tuh otaknya dipakai, kita sebagai ketua sebelumnya juga lalai infoin ke mereka buat mempersiapkan demo ekskul. Coach kan juga pasti sibuk harus gantian mendampingi 2 tim," cecar Leo yang sepertinya sudah mulai gatal mendengar omelan rekannya.

"Kok lo nyalahin gue sih, Leo?" ucap Pricilla tidak terima. "Lo kenapa sih, Sherina dibelain terus mati-matian kayak gitu?"

Leo berusaha melemaskan otot leher yang terasa tegang. "Eh, siapa sih yang nyalahin lo? Gue bilang, kita tuh juga lalai. Gak lo doang, jangan kepedean deh ... yang jadi ketua tim basket kemarin bukan lo doang," balas Leo. "Gue juga gak bakal bela Sherina kalau omongan lo gak mengganggu rasionalitas gue."

Belum sempat Pricilla membalas perkataan tajam Leo, Dimitri sudah mengancam, "Kalian mau diam atau bola ini akan melayang ke salah satu dari kalian?"

Suasana langsung hening seketika. Walau begitu, bola itu tetap melayang ke kepala Leo.

"Coach, kok saya masih kena lempar sih," keluh Leo sambil mengelus kepala yang terasa sedikit sakit.

"Kamu tuh laki-laki. Setidaknya perhalus sedikit bicaramu pada wanita," ujar Dimitri.

"Kalau wanitanya macam Pricilla, Coach, gak bisa banget dilembutin. Dia aja kalau ngomong gak pernah pakai filter," protes Leo yang langsung mendapat pelototan dari sang pelatih, membuat anak itu langsung menundukkan pandangan.

"Karena waktunya sudah sedikit, Sherina silahkan diskusikan masalah demo ekskul ini sama teman-teman angkatanmu. Coach cuma pesan, salah satu moderatornya harus kamu, ya."

"Saya?" Dengan raut wajah penuh tanya, Sherina menunjuk dirinya sendiri yang dijawab sebuah anggukan dari Dimitri.

"Kan kamu yang menyarankan." Sebuah perkataan singkat dari Dimitri yang sanggup membuat Sherina menghela napas panjang.

"Baik, Coach," jawab Sherina yang kini sudah mulai memposisikan diri untuk duduk melingkar bersama Amelia, Hadza, dan teman 1 angkatannya yang lain.

***

Sherina baru tiba di rumah saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Padahal hari ini tidak ada latihan intensif, tapi tubuhnya sudah terasa pegal hanya karena merancang apa yang akan mereka tampilkan di demo ekskul nanti.

Setidaknya ia bersyukur, Hadza yang kini menjabat sebagai ketua tim basket putra, juga rekan moderatornya di demo ekskul cukup pandai menyusun kalimat, mereka bisa menyelesaikan naskah moderator dalam sehari, tinggal memindahkannya pada media yang lebih enak dilihat.

Semua pembagian tugas dalam demo ekskul dapat terselesaikan hari ini berkat kejelian Leo dalam mengenali talenta junior-juniornya. Walau tahun ini kelas 3 dilarang untuk ikut dalam kegiatan ekskul, tapi kehadiran Leo hari ini sangat membantu para pengurus inti yang baru, terutama bagi Amelia dan Hadza.

"Ya ampun anak Ibu kok kucel sekali sih ..." ucap Aisha begitu melihat anaknya tiba.

"Bu, bisa gak sih, sambutannya lebih manis? Masa Sherina pulang langsung dikatain begitu?" keluh Sherina, "Ibu mah ...."

Bukannya merasa bersalah, Aisha malah tertawa. "Sudah, mandi sana! Sebentar lagi Ayah pulang loh."

"Iya Bu ... iya ...." Sherina berusaha sekuat tenaga melangkahkan kakinya yang sudah terasa lemas menuju kamar.

Sebelum jauh melewati sang ibu, Sherina memutar badannya dan berkata. "Memang malam ini kita makan apa, Bu? Kok Sherina gak nyium bau masakan apa pun?"

"Mana Ibu tahu, ayahmu bilang dia yang mau beli makanannya."

Seperti mendapat buff, tubuh yang semula terasa lemas, kini mendadak segar. Sherina pun langsung berlari menuju kamar mandi di kamar.

"Makan malam kali ini pasti pizza dan ayam," gumam Sherina yang ingat betul sudah beberapa hari mengeluhkan pada sang ayah kalau ia ingin makan dua hal itu karena akhir-akhir ini kepalanya terasa hampir meledak. Efek terlalu banyak belajar disertai paksaan dan ancaman.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top