Bab 4
Mimpi buruk bagi Sherina di tahun ajaran baru adalah menempati kursi baris terdepan, tepat berhadapan langsung dengan papan tulis.
Jika bukan karena permintaan Arden yang sedikit mengancam, ia tidak akan mau duduk sedekat itu dengan papan tulis. Bahkan dari tempatnya duduk saat ini, yang bisa ia lihat hanya putihnya papan tulis, meja guru yang sudah tertata rapi, serta dinding kelas berwarna krem.
Pemandangan yang amat membosankan bagi Sherina.
"Wih, kesamber petir dari mana nih, seorang Sherina duduk sedepan ini?" goda gadis berambut sebahu yang baru saja tiba.
"Diem deh Amelia. Gue gak mood nanggepin candaan lo," gerutu Sherina yang kini sudah menyandarkan kepalanya ke atas meja.
"Sher, matahari belom tinggi, lo udah lemah, letih, lesu aja, kayak orang anemia," canda Amelia yang masih menertawakan Sherina.
Sherina tidak menanggapi itu, ia memilih memejamkan mata dan menggeser ranselnya ke kursi sebelah.
Amelia yang melihat hal itu memutuskan untuk meletakkan tasnya di kursi belakang Sherina dan langsung menduduki kursi sebelah gadis itu. Amelia pikir, Sherina sedang mengamankan tempat duduk seseorang, jadi ia akan membantunya dengan duduk di tempat itu sambil mengobrol.
"Tapi seriusan deh Sher. Lo kan anti banget duduk baris depan. Biasanya juga mojok di ujung sendiri," ucap Amelia sambil menunjuk posisi kursi yang sama dengan tempat Sherina saat kelas 1.
Amelia sangat mengetahui kebiasaan Sherina yang sering mengabaikan waktu pelajaran. Bahkan di hari pertama pun, walau mereka tiba paling awal, ia melihat Sherina memilih kursi di baris paling belakang ujung ruangan.
Merasa tergaggu dengan kebawelan sahabatnya, mau tidak mau Sherina menceritakan semua bencana yang ia alami. Berhubung kelas juga masih sepi, Sherina merasa lebih lega setelah meluapkan segala kekesalannya yang selama ini ia pendam.
Tawa pun terdengar menggelegar begitu Sherina selesai bercerita. Amelia bahkan meneteskan air mata di tengah tawa yang tak terkontrol.
"Bagus, sekarang lo sama aja kayak ibu gue," gerutu Sherina.
Amelia menepuk-nepuk bahu gadis itu. "Gak apa lah Sher ... hitung-hitung perbaikan masa depan. Masa mau jomplang terus akademis sama atletiknya? Udah, terima aja dengan lapang dada," ucap Amelia yang masih diselingi tawa.
Waktu berlalu. Beberapa anak mulai memasuki ruang kelas, sampai tiba saat sumber bencana Sherina meletakkan tasnya tepat di meja Sherina.
"Selama gue sibuk OSIS, pengenalan sekolah ke anak kelas 1, lo kerjain lembar soal yang ada di tas gue, di map biru. Sama taruh aja tugas kemarin di map itu. Biar gue gak ribet," tutur Arden yang langsung meninggalkan kelas tanpa memedulikan bagaimana siswa lain memandang ke arah mereka.
Selepas kepergian Arden, tidak sedikit siswa yang langsung saling berbisik melihat interaksi singkat Sherina dan Arden.
Mungkin itu disebabkan oleh jarangnya Arden berinteraksi di luar diskusi kerja kelompok atau rapat OSIS. Pria itu terkenal singkat dalam bicara di kehidupan sehari-hari.
Bahkan mereka yang ingin mendekati Arden biasanya berakhir bicara dengan satu-satunya sahabat pria itu yang ajaibnya setia menempel pada Arden yang sering terlihat tidak bersahabat oleh siapa pun.
"Heh! Gak usah pada norak deh! Masa orang tinggal tetanggaan gak boleh ngobrol!" bentak Amelia pada siswi kelas lain yang sibuk bergosip ria dengan teman sekelasnya hanya karena kejadian sekecil itu.
Sherina berusaha membekap mulut Amelia yang terkenal keras dalam menghadapi tindakan tidak menyenangkan. "Lagian kalau gue yang duduk sama Sherina, Arden juga gak bakal jadi temen sebangku lo! Jangan pada ngarep ketinggian deh!"
"Ssstt! Diem ah!" Berhasil. Akhirnya Sherina berhasil membekap mulut Amelia.
Suasana kelas langsung terasa aneh sejak saat itu. Padahal hanya karena Sherina jadi teman sebangkunya Arden. Bagaimana kalau mereka tahu Sherina menjalani kegiatan belajar intensif dengan laki-laki itu yang mengharuskan Sherina bolak-balik menemui Arden. Gadis-gadis itu pasti langsung kebakaran jenggot begitu melihatnya.
'Arden sih, pakai acara jadi cowok sok ganteng, sok dingin, sok paling misterius di dunia!' gerutu Sherina dalam hati.
Sherina pikir, ia harus benar-benar merahasiakan kedekatannya dengan Arden. Bisa repot urusannya kalau para fans nya tahu, Arden selau menemui satu perempuan yang sama-walau itu hanya untuk kepentingan belajar.
Syukurlah suasana canggung di kelas itu tidak bertahan lama karena XI - IPS 1 ini siswa laki-lakinya sebagian besar berasal dari ekskul olahraga, membuat mereka tidak begitu mempedulikan hal-hal semacam itu, selain itu, mereka juga berbakat dalam mencairkan suasana kelas.
***
Saat jam istirahat tiba, sepertinya orang-orang yang menyukai Arden sudah mengetahui di mana letak kelas laki-laki itu dan dengan siapa ia duduk. Hal itu terbukti saat Sherina dan kawan-kawannya berjalan ke kantin, pandangan mata yang terarah ke mereka didominasi oleh anak perempuan yang menatap penuh penasaran, disertai bisikan-bisikan penuh rasa ingin tahu.
"Gue tahu Arden itu populer, tapi gak nyangka responnya bakal selebay ini," ujar Amelia yang berhasil menempati spot meja kantin terbaik.
"Gue yang duduk semeja sama Amel aja gak ada yang heboh tuh," timpal Hadza yang sudah duduk di sebelah Sherina.
Mendengar hal itu, tentu Sherina melempar tatapan sinis pada Hadza.
Walau sama-sama populer di kalangan anak perempuan, tapi Hadza yang ramah dan hobi tebar pesona itu jelas memiliki daya tarik yang berbeda dengan Arden. Ibaratkan semua orang bisa bicara dan bercanda dengan Hadza, tapi tidak dengan Arden.
"Santai dong, Sher. Mata lo bisa-bisa jatuh tuh," canda Hadza.
"Lagian, lo tuh ...." Belum sempat Sherina menyelesaikan perkataannya, ia sudah dikejutkan dengan notifikasi pop up di ponselnya yang sekilas bisa terbaca kalau Arden menyuruh Sherina untuk ke lab IPS. Ia meminta Sherina untuk segera membawakan map birunya, serta lembar kerja yang sudah diisi Sherina saat di awal jam pelajaran.
Membaca pesan singkat itu tentu saja membuat ia menggerutu dalam hati.
Berhubung ini masih awal bel istirahat berbunyi, para murid pasti disibukkan untuk mengisi kekosongan perut mereka, dan semoga saja selama perjalanan Sherina menuju lab IPS, tidak ada siswi lain yang memperhatikan.
Setelah meyakinkan diri lorong lab yang tampak sepi, Sherina langsung memutar knop pintu dan bergegas masuk. Terlihat sosok menyebalkan yang sudah mengacaukan hari pertama Sherina sebagai siswa kelas XI.
"Kenapa sih hobi nyuruh-nyuruh gitu? Kan bisa ambil sendiri," omel Sherina yang langsung menyodorkan map itu ke Arden.
"Gak lihat gue ngapain sekarang?" Arden menunjuk setumpuk kertas di meja dengan lirikan mata, membuat Sherina ikut jengah memandang kumpulan laporan yang ia duga sebagai milik OSIS.
"Perasaan jabatan lo di OSIS cuma jadi sekertaris," ucap Sherina mencoba mengalihkan pandangan dari tumpukan kertas milik Arden.
"Bukannya sekertaris yang paling banyak kerja? Semua laporan, proposal, rangkuman rapat, siapa yang buat, kalau bukan sekertaris?" balas Arden.
"Terus, apa gunanya OSIS banyak anggota, tapi yang ngerjain sebanyak itu cuma lo?"
Arden mulai membuka map pemberian Sherina. "Kalau mereka yang kerjain tuh lama. Ujung-ujungnya Ketua suruh gue benerin lagi."
"Mending keluar gak sih, dari OSIS kalau cuma ujung-ujungnya diperbudak kakak kelas?"
Sorot mata tajam penuh ketidak sukaan itu terarah pada Sherina, membuat gadis itu langsung menelan ludah sendiri.
"Bisa diem aja gak?" ketus Arden.
"Ya ... kan ... gue cuma prihatin sama lo," gumam Sherina yang kini memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat karena sorot mata Arden makin menyiratkan kalau laki-laki itu bisa saja menjahit bibir Sherina saat itu juga.
"Lagian ..."
"Apa lagi sih, Sherina?" Kesal Arden yang mulai tampak lelah menghadapi perkataan Sherina.
"Maksud gue, kenapa gak ngasih soalnya tuh di rumah aja? Soalnya kalau di sekolah tuh ... fans-fans lo agak ngeremin," ucap Sherina. "Kan gak lucu, kalau sampai gue cedera, gak bisa ikut pertandingan hanya karena diserang seseorang yang menyukai Arden Nizar Rais."
Matanya masih terfokus memeriksa semua jawaban lembar soal Sherina, tapi Arden tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela napas panjang. "Jangan berlebihan seperti itu."
"Ih, gue serius, Arden. Lo sih, cueknya kebangetan."
Mau tidak mau, pada akhirnya Arden lah yang mengalah pada perdebatan ini, "Ya udah, mulai besok materi sama soalnya gue taruh di kolong meja lo. Kalau udah selesai, langsung taruh kolong meja gue."
"Tapi ...."
"Apa? Kenapa lagi?"
Saat Sherina mengembangkan senyum lebar, Arden malah kini tengah memasang wajah masam penuh kesalan. Tiap detik yang ia habiskan bersama Sherina rasanya terus mengikis batas kesabaran laki-laki itu.
"Gue gak boleh pindah tempat duduk, ya?"
"Lo mau gue telepon Tante Aisha?"
Mendengar satu kalimat itu saja, berhasil membuat Sherina menggeleng kuat.
"Kalo gak ada lagi yang mau lo omongin, keluar gih! Capek gue lihat lo lama-lama," ucap Arden sambil memberi isyarat tangan untuk mengusir Sherina.
"Siapa juga yang betah lama-lama sama lo," setelah membalas perkataan Arden, Sherina pun segera meninggalkan ruangan dengan perasaan kesal.
Tanpa disadari, ada sepasang mata yang menyaksikan Sherina keluar dari ruangan tersebut.
***
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top